Karol Wojtyla, Paus Yohanes Paulus
II:
Seorang dari Slavia,
Pembuka Batas- Batas Kehidupan Demi
Kedamaian Dunia
Jejak
Awal Kehidupan
Wadowice, sebuah kota
kecil di Polandia bagian selatan, di kaki Pegunungan Karpatia, Prvinsi Galacia.
Empat perlima dari 6.000 penduduk beragama Katolik, dan 700- an orang beragama
Yahudi. Di lantai dua flat kelas menengah di Jln. Rynek di tengah Kota Wadwice,
pasangan Karol Wojtyla (senior) veteran tentara dengan Emilia Kaczorowska
tinggal. Flat itu disewa dari orang Yahudi bernama Balamuth Chaim. Memang dari
awal hidup Yohanes Paulus II, ia telah dekat dengan kaum Yahudi, kaum pada
zaman Perang Dunia II adalah kaum yang ingin dimusnahkan Adolf Hitler.
Edmund (selanjutnya
disebut Mundek), kakak tertua Yohanes Paulus II, lahir pada 1906. Olga yang
lahir setelah delapan tahun lahirnya Mundek harus meninggalkan keluarganya
untuk selamanya karena kesulitan nutrisi akibat situasi perang.
Tepat pada 18 Mei 1920,
Yohanes Paulus II lahir dengan nama Karol Jozef Wojtyla. Saat kecil ia
dipanggil Lolek, varian dari Lolus kependekan dari Carolus. Pastor Franciszek
Zak yang membaptisnya pada 20 juni 1920 dengan mengenakan nama baptis Jozef.
Jozef juga disandangkan untuk menghormati Marsekal Jozef Pilsudski,tokoh
militer yang memimpin perlawanan terhadap Tentara Merah Republik Sovyet hingga kemerdekaan
Polandia.
Kelahirannya memberikan
semangat baru bagi Emilia yang telah kehilangan Olga. Dengan bangga, Emilia
memamerkan Karol kecil ke para tetangga. Emilia ingin ia menjadi pastor.
Pancaran yang dimiliki Lolek membuat terkagum-kagum orang lain, banyak yang
mengatakan bahwa ia akan menjadi orang besar. Ia dianugerahi kepintaran dan
mendapatkan predikat summa cum laude.
Sejak tahun kedua di SD, ibunya sakit keras dan mengidap myocarditis nephiritis. Sayang, Karol kecil tidak dapat melihat
ibunya yang sakit itu meninggalkannya,Emilia meninggal13 April 1929 saat ia di
sekolah. Selama hidupnya Karol menggambarkan ibunya dengan penuh perasaan
bahagia. Setelah kehilangan ibunya ia mencoba untuk ceria lagi, apalagi Mundek
yang berbeda 14 tahun dengannyamau diajak bermain bersama. Ia pun bangga saat
Mundek lulus menjadi dokter dengan yudisium magna
cum laude. Namun, geledek menyambar dengan dahsyat disebabkan kematian
Edmund Wojtyla pada 5 Desember 1932 karena penyakit jengkering.
Kesedihan tak
menyurutkan bakat yang dimiliki oleh Karol. Bahkan dengan bakatnya, ia dapat
menghibur dirinya. Sebelum kematian Mundek, ia dikenalkan dnegan Mieczyslaw
Kotlarczyk yang berkecimpung dalam teater. Ayah Mieczyslaw yang membawanya ke
dunia teater dengan ketampanan dan mata birunya, ia didaulat menjadi tokoh pria
utama dalam setiap pementasan. Banyak nama- nama gadis yang dihubungkan dengan
Karol, Halina Krolikiewicz, Regina, dan Kasia Zak. Regina yang biasa dipanggil
Ginka, tetangganya yang merupakan orang Yahudi disukai Karol. Hal ini
ditunjukkan dengan muka merahnya pertanda suka saat Wojtyla harus berpisah
dengan keluarga Ginka akibat politik yang memanas. Ginka pun terkesan dengan
keluarga Wojtyla yang menerima keluarganya walau Yahudi. Pada 1980- an mereka
kembali bertemu di Lapangan Santo Petrus, saat Karol menjadi paus. Walau ia
dekat dengan banayak gadis, hidup rohaninya tetap terjaga bahkan dalam
menjalankan tugas kelompok, iamenyempatkan diri berdoa.
Mulai
Menyerahkan Diri untuk Kerajaan Allah
Begitu terpukul
hatinya saat ia harus kehilangan semua orang yang dicintai dan menjadi sebatang
kara. Karol Wojtyla (senior) meniggal karena serangan jantung pada 18 Februari
1941. Ia sedih karena tak dapat menemaninya saat terakhir hidup Wojtyla. Ia
merasa Tuhan telah mempunyai rencana bagi hidupnya yaitu menjadi imam.
Ia masuk seminari “bawah tanah” karena tak
direstui pemerintahan komunis dengan tinggal menumpang di bawah Uskup Agung
Sapieha. Menjelang lulus, Karol berminat masuk Ordo Karmelit karena mengagumi
Pastor Leonard Kowalowska. Namun ia diberi pertimbangan oleh Mgr. Sapieha agar
menjadi pastor paroki untuk mendukung karya pastoral. Tahbisan imamatnya pada 1
November 1946 oleh Kardinal Sapieha.
Kardinal memiliki
rencana lain yaitu mengirimnya untuk ke Roma pada 15 November 1946 untuk studi.
Karol masuk ke Universitas Angelicum dan lulus dengan gelar master
dengan yuridisium summa cum laude
pada 3 Juli 1947. Ia menyandang gelar doctor dalam Teologi Suci dan Etika. Pada
masa- masa itulah produktivitasnya sebagai penulis mencapai puncaknya. Ia
menulis puluhan naskah drama, ratusan puisi, artikel di jurnal maupun media
umum Tygodnik Powszechny dengan nama samara Andrej Jawein.
Ia masih berumur 38
tahun saat diangkat Paus Pius XII menjadi uskup pembantu di Krakow pada tanggal
8 Juli 1958. Pada kepemimpinan Paus Yohanes XXIII, pengganti Pius XII yang
terpilih 28 Oktober 1958, Karol ikut ambil bagian dalam Konsili Vatikan II yang
diadakan pada 11 Oktober 1962. Saat itu ia menjabat uskup pembantu dan posisi
tempat duduknya dalam konsili terletak di bangku paling belakang. Selama
berlangsungnya Konsili, ia terus berbagi dengan seluruh keuskupan tentang
dokumen dan pokok- pokok maslaahyang dibahas. Baginya, Konsili merupakan
kesempatan untuk salingberbagi pengalaman pastoral dan sosial secara terus-
menerus, untuk mengenal trend- trend baru dalam ilmu teologi. Setelah sesi
pertama selesai dan ia kembali ke Krakow, iamendapatkan kabar pada tanggal 3
Oktober 1963: Paus Yohanes XXIII wafat.
Penggantinyaadalah
Kardinal Montini, yang pernah menjadi diplomat Vatikan di Polandia. Setelah
dipilih 21 Juni 1963, ia menyandangnama Paus Paulus VI. Oleh Paus Paulus VI
pada tahun 1965 Karol ditahbiskan menjadi
Uskup Agung Metropolitan Krakow. Ia
(Paus Paulus VI) terkesan dengan gagasan Karol dalam pidato di Basilika pada 21
Oktober 1963. Fase perubahan ini membawa titik balik bagi Karol. Ia dapat
berpartisipasi aktif dan berbicara tentang gagasannya karena statusnya sebagai
uskup agung merubah posisinya tempat duduknya yang semakin mendekati altar.
Inilah dua pokok perubahan yang dibawa ke dalam Konsili oleh Mgr. Wojtyla:
penegasankembali sentralitas pribadi manusia dalam visi Kristosentris yang
kuat; dan melibatkan diri – dengan Injil – pada dunia, melibatkan diri dalam
pembelaan hak- hak asasi manusia, khususnya hak akan kebebasan hati nurani dna
kebebasan beragama. Ia tidak hanya gencar dalam perkembangan Gereja tapi ia
juga peduli denganpemuda- pemuda serta prihatin dnegan pemerintahan komunis
Polandia. Ia mengkritisi menuntut keadilan dan membuktikan bahwa Marxisme tidak
sesuai dnegan Polandia dan dunia.
“.
. . Seorang Slav Akan Menjadi Paus”
Setelah
kematian Paus Paulus VI, yang bagi Karol seperti ayahnya sendiri, ia mengikuti
konklaf. Ia bertemu dengan Uskup Venezia, Albino Luciani, yang kelak akan
menjadi Paus Yohanes Paulus I. Mereka berteman dan saling akrab. Tiga puluh
hari setelah pelantikan Paus Yohanes Paulus I, 29 September 1978, Wojtyla yang
sedang menikmati teh, terkejut oleh pesan sopirnya, Mucha. Bahwa sahabatnya,
Paus Yohanes Paulus I, telah wafat. Wojtyla berdoa sejenak dan mungkin
berbicara dengan Tuhanm ia tidak mempercayai ini semua. Ia tak pernah berbicara
siapa calon pengganti Luciani.
Malam
hari sebelum konklaf dia member salam kepada semua iam di Kolese Polandia. Ia
merasa gelisah karena namanya sering disebut- sebut dalam pertemuan para
kardinal oleh orang yang berpengaruh, Franz Konig, uskup agung Viena. Konklaf
dimulai pada tanggal 14 Oktober 1978, pada moment ini persaingan terjadi antara
Uskup Agung Genova, Giuseppe Siri, dengan Uskup Agung Florence, Giovani
Benelli. Pada putaran kedua, 16 Oktober, terjadi titik balik bahwa Wojtyla
semakin unggul. Atas prakarsa Konig, Wysznski, primat Wojtyla semakin mendukung
Wojtyla. Pada sore harinya yaitu pemungutan suara putaran yang kedelapan,
Wojtyla terpilih dengan – tampaknya – 94 suara. Ia memilih nama yang sama
dengan pendahulunya, Papa Luciani. Hal ini diminta oleh Kardinal Wyszynski,
primatnya, untuk menghormati umat Italia yang telah terlanjur mencintai
almarhum Sri Paus. Asap putih keluar dari corong Kapel Sistina. Pada pukul
18.44, Kardinal Felici muncul di jendela balkon Loggia di hadapan 200.000
orang. “Saya umumkan kabar suka cita ini. . . Kita telah memiliki Paus baru!- Habemus Papam!”, lalu ia menerangkan
identitas Paus baru tersebut, “Carolum
Sanctae Romanae Ecclesiae Cardinalem Wojtyla. . .Ioannem Paulum Secundum!” Setelah Sri Paus yang baru itu siap, ia
keluar dengan jubah barunya dan berkata, “ Terpujilah Yesus Kristus”. Dan orang-
orang menjawab, “Sekarang dan selama- lamanya.” Dan ia memulai pidato
pertamanya, Urbi et Orbi.
Wojtyla
dalam karya kepausannya melaksanakan semangat apostolik, yaitu semangat
merasul. Ia melakukan perjalanan ke
seluruh dunia dan total perjalanan: 1,2 juta km. Ia menyerukan semangat “Jangan
takut,” untuk membuka batas- batas kehidupan demi damai Kristus. Tanpa beliau
“Tirai Besi Soviet” tidak akan pernah runtuh, kenang Mikhail Gorbachev,
pemimpin komunis Soviet.
Namun penolakan dan kebencian
terhadapnya tidak dapatdipungkiri. Saat audiensi Rabu, 13 Mei 1981, baru saja
ia mengembalikan seorang anak kecil ke orang tuanya, dua tembakan pistol
terlontar mengguncang lapangan Basilika St. Petrus, menembus lambung dan usus
Paus. Tapi, apa yang terjadi sesaat setelah ia sembuh, ia mengunjungi
penembaknya, Ali Mehmet Agca, pria Turki yang diduga sebagai agen KGB yang
disuruh oleh pihak komunis yang terusik oleh sikap Paus. Wojtyla telah
memaafkannya dan menyimpan dalam hatinya bahwa seharusnya peluru itu telah
menghabisi nyawanya. Mehmet sampai sekarang belum pernah meminta maaf dan hanya
tertarik dengan rahasia ketiga Fatima. Pada Februari 2004, Paus Yohanes Paulus
II dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian untuk menghargai karya
kehidupannya melawan penindasan Komunis dan bantuannya mengubah tatanan
dunia.Presiden George W. Bush memberikan Medali Kebebasan Presidensial, sebuah
penghargaan tertinggi Amerika kepada Paus Yohanes Paulus II ketika berlangsung
upacara di Istana Apostolik Vatikan 4 Juni 2004.Dia menulis 14 ensiklik Paus
dan mengajarkan tentang "Teologi Tubuh", dan terpenting Ut Omnes Unum
Sint, walau banyak menerima kritikan, ia tetap berjuang untuk mempersatukan Kristen.
Ia adalah Paus pertama yang meminta maaf atas kesalahan Kristen terhadap umat
Yahudi, mengunjungi sinagoga dan Mesjid di Damaskus yang merupakan makam
Yohanes Pembaptis.
Akhir Hayatnya
Paus
yang dicintai dunia itu harus meninggalkan dunia yang dicintainya pada 2 April
2005 pukul 21.37. Orang yang ada di
sekitarnya menyanyikan Te Deum,
bukan Requiem karena anugerah yang
diberikan Tuhan yaitu anugerah Karol Wojtyla. Sampai akhir hayatnya pun ia
member teladan kerendahan hatinya. Peti sederhana tanpa hiasan hanya dilengkapi
lambing M yang berarti Bunda Maria. Ia meneladan Bunda Maria sampai akhir
hidupnya dan mempercayakan dunia lewat perantara Bunda Allah. Pemakamannya
dihadiri lima raja, enam ratu, 3 putra mahkota, 59 kepala Negara, 17 kepala
pemerintahan, 8 wakil kepala Negara, 24 duta besar, dan 169 delegasi Negara dan
157 kardinal, 700 uskup dan uskup agung, ribuan biarawati, 3.000 pastor, dan
300 pembagi komuni.
Refleksi
Begitu
besar kasih Allah yang Nampak dalam diri Karol Wojtyla, ia miskin dan sebatang
kara namun kaya akan iman dan saudaranya se- dunia. Ia berani membuka batas-
batas kehidupan untuk perdamaian, menyerukan persatuan, dan penghargaan atas
hak asasi manusia dan kehidupan.
Kerendahan hatinya diserahkan pelayanannya dan setia sampai akhir terhadap
tugas yang diberikan Allah sampai akhir hidupnya. Ia pun mengatakan :
Totus
Tuus, Segalanya Milik-Nya.
Daftar Pustaka
Dziwisz,
Stanislaw. (2010). Lebih Jauh Bersama
Karol Wojtyla terj. Sr. Paula CP.
PENERBIT DIOMA (Anggota IKAPI) : Malang.
Witdarmono,
H, dkk. (2005). Dari Wadowice Sampai
Worldwide. PT Intisari Mediatama: Jakarta.