Selasa, 27 Desember 2011

Biografi Karol Wojtyla


Karol Wojtyla, Paus Yohanes Paulus II:
     Seorang dari Slavia,
Pembuka Batas- Batas Kehidupan Demi Kedamaian Dunia

Jejak Awal Kehidupan
Wadowice, sebuah kota kecil di Polandia bagian selatan, di kaki Pegunungan Karpatia, Prvinsi Galacia. Empat perlima dari 6.000 penduduk beragama Katolik, dan 700- an orang beragama Yahudi. Di lantai dua flat kelas menengah di Jln. Rynek di tengah Kota Wadwice, pasangan Karol Wojtyla (senior) veteran tentara dengan Emilia Kaczorowska tinggal. Flat itu disewa dari orang Yahudi bernama Balamuth Chaim. Memang dari awal hidup Yohanes Paulus II, ia telah dekat dengan kaum Yahudi, kaum pada zaman Perang Dunia II adalah kaum yang ingin dimusnahkan Adolf Hitler.
Edmund (selanjutnya disebut Mundek), kakak tertua Yohanes Paulus II, lahir pada 1906. Olga yang lahir setelah delapan tahun lahirnya Mundek harus meninggalkan keluarganya untuk selamanya karena kesulitan nutrisi akibat situasi perang.
Tepat pada 18 Mei 1920, Yohanes Paulus II lahir dengan nama Karol Jozef Wojtyla. Saat kecil ia dipanggil Lolek, varian dari Lolus kependekan dari Carolus. Pastor Franciszek Zak yang membaptisnya pada 20 juni 1920 dengan mengenakan nama baptis Jozef. Jozef juga disandangkan untuk menghormati Marsekal Jozef Pilsudski,tokoh militer yang memimpin perlawanan terhadap Tentara Merah Republik Sovyet hingga kemerdekaan Polandia.  
Kelahirannya memberikan semangat baru bagi Emilia yang telah kehilangan Olga. Dengan bangga, Emilia memamerkan Karol kecil ke para tetangga. Emilia ingin ia menjadi pastor. Pancaran yang dimiliki Lolek membuat terkagum-kagum orang lain, banyak yang mengatakan bahwa ia akan menjadi orang besar. Ia dianugerahi kepintaran dan mendapatkan predikat summa cum laude. Sejak tahun kedua di SD, ibunya sakit keras dan mengidap myocarditis nephiritis. Sayang, Karol kecil tidak dapat melihat ibunya yang sakit itu meninggalkannya,Emilia meninggal13 April 1929 saat ia di sekolah. Selama hidupnya Karol menggambarkan ibunya dengan penuh perasaan bahagia. Setelah kehilangan ibunya ia mencoba untuk ceria lagi, apalagi Mundek yang berbeda 14 tahun dengannyamau diajak bermain bersama. Ia pun bangga saat Mundek lulus menjadi dokter dengan yudisium magna cum laude. Namun, geledek menyambar dengan dahsyat disebabkan kematian Edmund Wojtyla pada 5 Desember 1932 karena penyakit jengkering.
Kesedihan tak menyurutkan bakat yang dimiliki oleh Karol. Bahkan dengan bakatnya, ia dapat menghibur dirinya. Sebelum kematian Mundek, ia dikenalkan dnegan Mieczyslaw Kotlarczyk yang berkecimpung dalam teater. Ayah Mieczyslaw yang membawanya ke dunia teater dengan ketampanan dan mata birunya, ia didaulat menjadi tokoh pria utama dalam setiap pementasan. Banyak nama- nama gadis yang dihubungkan dengan Karol, Halina Krolikiewicz, Regina, dan Kasia Zak. Regina yang biasa dipanggil Ginka, tetangganya yang merupakan orang Yahudi disukai Karol. Hal ini ditunjukkan dengan muka merahnya pertanda suka saat Wojtyla harus berpisah dengan keluarga Ginka akibat politik yang memanas. Ginka pun terkesan dengan keluarga Wojtyla yang menerima keluarganya walau Yahudi. Pada 1980- an mereka kembali bertemu di Lapangan Santo Petrus, saat Karol menjadi paus. Walau ia dekat dengan banayak gadis, hidup rohaninya tetap terjaga bahkan dalam menjalankan tugas kelompok, iamenyempatkan diri berdoa.
Mulai Menyerahkan Diri untuk Kerajaan Allah
            Begitu terpukul hatinya saat ia harus kehilangan semua orang yang dicintai dan menjadi sebatang kara. Karol Wojtyla (senior) meniggal karena serangan jantung pada 18 Februari 1941. Ia sedih karena tak dapat menemaninya saat terakhir hidup Wojtyla. Ia merasa Tuhan telah mempunyai rencana bagi hidupnya yaitu menjadi imam.
 Ia masuk seminari “bawah tanah” karena tak direstui pemerintahan komunis dengan tinggal menumpang di bawah Uskup Agung Sapieha. Menjelang lulus, Karol berminat masuk Ordo Karmelit karena mengagumi Pastor Leonard Kowalowska. Namun ia diberi pertimbangan oleh Mgr. Sapieha agar menjadi pastor paroki untuk mendukung karya pastoral. Tahbisan imamatnya pada 1 November 1946 oleh Kardinal Sapieha.
Kardinal memiliki rencana lain yaitu mengirimnya untuk ke Roma pada 15 November 1946  untuk studi.  Karol masuk ke Universitas Angelicum dan lulus dengan gelar master dengan yuridisium summa cum laude pada 3 Juli 1947. Ia menyandang gelar doctor dalam Teologi Suci dan Etika. Pada masa- masa itulah produktivitasnya sebagai penulis mencapai puncaknya. Ia menulis puluhan naskah drama, ratusan puisi, artikel di jurnal maupun media umum Tygodnik Powszechny dengan nama samara Andrej Jawein.
Ia masih berumur 38 tahun saat diangkat Paus Pius XII menjadi uskup pembantu di Krakow pada tanggal 8 Juli 1958. Pada kepemimpinan Paus Yohanes XXIII, pengganti Pius XII yang terpilih 28 Oktober 1958, Karol ikut ambil bagian dalam Konsili Vatikan II yang diadakan pada 11 Oktober 1962. Saat itu ia menjabat uskup pembantu dan posisi tempat duduknya dalam konsili terletak di bangku paling belakang. Selama berlangsungnya Konsili, ia terus berbagi dengan seluruh keuskupan tentang dokumen dan pokok- pokok maslaahyang dibahas. Baginya, Konsili merupakan kesempatan untuk salingberbagi pengalaman pastoral dan sosial secara terus- menerus, untuk mengenal trend- trend baru dalam ilmu teologi. Setelah sesi pertama selesai dan ia kembali ke Krakow, iamendapatkan kabar pada tanggal 3 Oktober 1963: Paus Yohanes XXIII wafat.
Penggantinyaadalah Kardinal Montini, yang pernah menjadi diplomat Vatikan di Polandia. Setelah dipilih 21 Juni 1963, ia menyandangnama Paus Paulus VI. Oleh Paus Paulus VI pada tahun 1965 Karol ditahbiskan  menjadi  Uskup Agung Metropolitan Krakow. Ia (Paus Paulus VI) terkesan dengan gagasan Karol dalam pidato di Basilika pada 21 Oktober 1963. Fase perubahan ini membawa titik balik bagi Karol. Ia dapat berpartisipasi aktif dan berbicara tentang gagasannya karena statusnya sebagai uskup agung merubah posisinya tempat duduknya yang semakin mendekati altar. Inilah dua pokok perubahan yang dibawa ke dalam Konsili oleh Mgr. Wojtyla: penegasankembali sentralitas pribadi manusia dalam visi Kristosentris yang kuat; dan melibatkan diri – dengan Injil – pada dunia, melibatkan diri dalam pembelaan hak- hak asasi manusia, khususnya hak akan kebebasan hati nurani dna kebebasan beragama. Ia tidak hanya gencar dalam perkembangan Gereja tapi ia juga peduli denganpemuda- pemuda serta prihatin dnegan pemerintahan komunis Polandia. Ia mengkritisi menuntut keadilan dan membuktikan bahwa Marxisme tidak sesuai dnegan Polandia dan dunia.
“. . . Seorang Slav Akan Menjadi Paus”
            Setelah kematian Paus Paulus VI, yang bagi Karol seperti ayahnya sendiri, ia mengikuti konklaf. Ia bertemu dengan Uskup Venezia, Albino Luciani, yang kelak akan menjadi Paus Yohanes Paulus I. Mereka berteman dan saling akrab. Tiga puluh hari setelah pelantikan Paus Yohanes Paulus I, 29 September 1978, Wojtyla yang sedang menikmati teh, terkejut oleh pesan sopirnya, Mucha. Bahwa sahabatnya, Paus Yohanes Paulus I, telah wafat. Wojtyla berdoa sejenak dan mungkin berbicara dengan Tuhanm ia tidak mempercayai ini semua. Ia tak pernah berbicara siapa calon pengganti Luciani.
            Malam hari sebelum konklaf dia member salam kepada semua iam di Kolese Polandia. Ia merasa gelisah karena namanya sering disebut- sebut dalam pertemuan para kardinal oleh orang yang berpengaruh, Franz Konig, uskup agung Viena. Konklaf dimulai pada tanggal 14 Oktober 1978, pada moment ini persaingan terjadi antara Uskup Agung Genova, Giuseppe Siri, dengan Uskup Agung Florence, Giovani Benelli. Pada putaran kedua, 16 Oktober, terjadi titik balik bahwa Wojtyla semakin unggul. Atas prakarsa Konig, Wysznski, primat Wojtyla semakin mendukung Wojtyla. Pada sore harinya yaitu pemungutan suara putaran yang kedelapan, Wojtyla terpilih dengan – tampaknya – 94 suara. Ia memilih nama yang sama dengan pendahulunya, Papa Luciani. Hal ini diminta oleh Kardinal Wyszynski, primatnya, untuk menghormati umat Italia yang telah terlanjur mencintai almarhum Sri Paus. Asap putih keluar dari corong Kapel Sistina. Pada pukul 18.44, Kardinal Felici muncul di jendela balkon Loggia di hadapan 200.000 orang. “Saya umumkan kabar suka cita ini. . . Kita telah memiliki Paus baru!- Habemus Papam!”, lalu ia menerangkan identitas Paus baru tersebut, “Carolum Sanctae Romanae Ecclesiae Cardinalem Wojtyla. . .Ioannem Paulum Secundum!”  Setelah Sri Paus yang baru itu siap, ia keluar dengan jubah barunya dan berkata, “ Terpujilah Yesus Kristus”. Dan orang- orang menjawab, “Sekarang dan selama- lamanya.” Dan ia memulai pidato pertamanya, Urbi et Orbi.
            Wojtyla dalam karya kepausannya melaksanakan semangat apostolik, yaitu semangat merasul.  Ia melakukan perjalanan ke seluruh dunia dan total perjalanan: 1,2 juta km. Ia menyerukan semangat “Jangan takut,” untuk membuka batas- batas kehidupan demi damai Kristus. Tanpa beliau “Tirai Besi Soviet” tidak akan pernah runtuh, kenang Mikhail Gorbachev, pemimpin komunis Soviet.
            Namun penolakan dan kebencian terhadapnya tidak dapatdipungkiri. Saat audiensi Rabu, 13 Mei 1981, baru saja ia mengembalikan seorang anak kecil ke orang tuanya, dua tembakan pistol terlontar mengguncang lapangan Basilika St. Petrus, menembus lambung dan usus Paus. Tapi, apa yang terjadi sesaat setelah ia sembuh, ia mengunjungi penembaknya, Ali Mehmet Agca, pria Turki yang diduga sebagai agen KGB yang disuruh oleh pihak komunis yang terusik oleh sikap Paus. Wojtyla telah memaafkannya dan menyimpan dalam hatinya bahwa seharusnya peluru itu telah menghabisi nyawanya. Mehmet sampai sekarang belum pernah meminta maaf dan hanya tertarik dengan rahasia ketiga Fatima. Pada Februari 2004, Paus Yohanes Paulus II dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian untuk menghargai karya kehidupannya melawan penindasan Komunis dan bantuannya mengubah tatanan dunia.Presiden George W. Bush memberikan Medali Kebebasan Presidensial, sebuah penghargaan tertinggi Amerika kepada Paus Yohanes Paulus II ketika berlangsung upacara di Istana Apostolik Vatikan 4 Juni 2004.Dia menulis 14 ensiklik Paus dan mengajarkan tentang "Teologi Tubuh", dan terpenting Ut Omnes Unum Sint, walau banyak menerima kritikan, ia tetap berjuang untuk mempersatukan Kristen. Ia adalah Paus pertama yang meminta maaf atas kesalahan Kristen terhadap umat Yahudi, mengunjungi sinagoga dan Mesjid di Damaskus yang merupakan makam Yohanes Pembaptis. 
Akhir Hayatnya
Paus yang dicintai dunia itu harus meninggalkan dunia yang dicintainya pada 2 April 2005 pukul 21.37. Orang yang ada di  sekitarnya menyanyikan Te Deum, bukan Requiem karena anugerah yang diberikan Tuhan yaitu anugerah Karol Wojtyla. Sampai akhir hayatnya pun ia member teladan kerendahan hatinya. Peti sederhana tanpa hiasan hanya dilengkapi lambing M yang berarti Bunda Maria. Ia meneladan Bunda Maria sampai akhir hidupnya dan mempercayakan dunia lewat perantara Bunda Allah. Pemakamannya dihadiri lima raja, enam ratu, 3 putra mahkota, 59 kepala Negara, 17 kepala pemerintahan, 8 wakil kepala Negara, 24 duta besar, dan 169 delegasi Negara dan 157 kardinal, 700 uskup dan uskup agung, ribuan biarawati, 3.000 pastor, dan 300 pembagi komuni.
Refleksi
Begitu besar kasih Allah yang Nampak dalam diri Karol Wojtyla, ia miskin dan sebatang kara namun kaya akan iman dan saudaranya se- dunia. Ia berani membuka batas- batas kehidupan untuk perdamaian, menyerukan persatuan, dan penghargaan atas hak asasi manusia  dan kehidupan. Kerendahan hatinya diserahkan pelayanannya dan setia sampai akhir terhadap tugas yang diberikan Allah sampai akhir hidupnya. Ia pun mengatakan :
Totus Tuus, Segalanya Milik-Nya.



Daftar Pustaka

Dziwisz, Stanislaw. (2010). Lebih Jauh Bersama Karol Wojtyla  terj. Sr. Paula CP. PENERBIT DIOMA (Anggota IKAPI) : Malang.  

Witdarmono, H, dkk. (2005). Dari Wadowice Sampai Worldwide. PT Intisari Mediatama: Jakarta.

0 komentar:

 
;