Minggu, 24 November 2013 0 komentar

Seminari Menengah Wacana Bhakti - KAJ





Kamis, 07 November 2013 0 komentar

Semarak Gonzaga Day 2013

Dalam rangka merayakan ulang tahun yang ke- 26, Seminari Wacana Bhakti dan SMA Kolese Gonzaga mengadakan Gonzaga Day 2013, Minggu, 3/11, di Sport Hall SMA Kolese Gonzaga, Pejaten Barat.
Gonzaga Day tahun ini merupakan acara yang diadakan pertama kali dalam rangka ulang tahun Seminari Wacana Bhakti- SMA Kolese Gonzaga selain rangkaian acara Lustrum. Gonzaga Day 2013 mengambil tema “Kebangsaan”.

Acara ini diawali dengan misa konselebrasi yang dipimpin oleh selebran utama RP. Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ, Rektor Seminari Wacana Bhakti, dan para konselebran yaitu RP. Leonardus E. B. Winandoko, SJ, Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga, RP. Antonius Vico, SJ, Moderator SMA Kolese Gonzaga, RP. Heru Hendarto, SJ, Kepala Sekolah SMA Kolese Kanisius, Menteng, RD. Charles Agustino C. J, Pamong Umum Seminari SWB, RD. A. Ary Dianto, Pamong ad extra SWB, dan RP. Adrian Adiredjo, OP, alumnus Seminari Wacana Bhakti- SMA Kolese Gonzaga.

Dalam homilinya, RP. Sarjumunarsa, SJ, menyampaikan agar para seminaris maupun para murid dapat menjadi pemimpin masa depan yang cerdas, jujur, rendah hati, dan kreatif. Sebelum berkat penutup, panitia memberikan penghargaan terhadap para guru maupun karyawan yang telah mengabdikan diri pada Yayasan Wacana Bhakti selama 25 tahun, 15 tahun dan 10 tahun.

Setelah misa syukur, para tamu yang hadir diajak untuk menyaksikan pentas drama kolaborasi yang terdiri dari pertunjukkan drama, tarian, permainan angkulung, permainan gitar, paduan suara, dan diiringi oleh orkestra Seminari Wacana Bhakti, Wacana Bhakti Symphony Orchestra (WBSO). Drama tersebut mengisahkan seorang kakek, veteran perang kemerdekaan RI, yang terus hidup sampai zaman sekarang. Perjuangan, dan penghargaan atas makna kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan merupakan nilai- nilai yang ingin disampaikan Ireneus Mario, sutradara sekaligus siswa SMA Kolese Gonzaga, dalam drama ini.

Akhirnya, rangkaian acara Gonzaga Day 2013 diakhiri dengan menyanyikan lagu Mars Seminari Wacana Bhakti dan SMA Kolese Gonzaga.

“ Sungguh acara yang menarik, namun sebagai seminaris saya merasa wujud syukur atas berdirinya seminari ini kurang mendapatkan apresiasi“, tutur Henrikus Prasojo, Bidel Umum Seminari Wacana Bhakti, saat diwawancarai setelah acara Gonzaga Day 2013 usai.


Carolus Budhi Prasetyo
Kamis, 29 Agustus 2013 0 komentar

Review Buku "The Catholic Way- Mgr. Ignatius Suharyo"

Gereja adalah Komunitas Pengharapan

Dari awal penciptaan, manusia menyadari atas kekuatan di luar dirinya yang melampaui kemampuannya dan mempengaruhi kehidupannya. Kesadran tersebut mengalami perkembangan berabad- abad sehingga manusia mencapai kesimpulan bahwa terdapat realitas tertinggi yang berkuasa atas segala sesuatu di dunia yang sering disebut sebagai Tuhan, Allah, God, Deus, Theos, dsb.
Agama pun terus berkembang melintasi dimensi ruang dan waktu beriringan dengan manusia. Agama saling bersentuhan dan berdialog dalam kehidupan sehari- hari manusia, persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, mulai dari masalah ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kesehatan, kejahatan, perang, hingga kesejahteraan. Agama pun hadir secara ‘merakyat’ melalui para pemuka agama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam masyarakat paternalistik, segala pencerahan dan arahan umat dewasa ini berasal dari para pemimpin agama.
Berangkat dari pemikiran tersebut buku The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita diterbitkan dan diharapkan menjadi arahan bagi umat Katolik untuk menjalani hidup masa kini berpijak pada pendapat, pandangan, sikap, dan pemikiran Gereja Katolik. Maka dipilihlah Mgr. Ignatius Suharyo yang pada masa tersebut menjabat sebagai Uskup di Keuskupan Agung Semarang. Beliau konsisten memberikan sumbangan pemikiran dan perhatian terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan.
Pada umumnya umat Katolik belum memahami secara mendalam mengenai keyakinan pada Allah Tritunggal, inti ajaran Gereja Katolik, Gereja dengan sifat- sifatnya, Kitab Suci, dosa, dan penghormatan terhadap Orang Kudus. Mgr. Suharyo menjelaskan bahwa segala pembicaraan mengenai imam akan mengandung ketidakjelasan. Banyak buku yang membahas Tritunggal Yang Mahakudus namun tidak pernah dijelaskan secara tuntas karena berhadapan dengan Tritunggal Yang Mahakudus berarti berhadapan dengan rahasia karya penyelamatan Allah. Sumber KS pun memberikan pernyataan mengenai pendamaian dunia melalui Kristus dan kasih- Nya dicurahkan dalam Roh Kudus. Pokok iman akan Allah Tritunggal Yang Mahakudus adalah Allah Bapa yang menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.
Bahwa ajaran Katolik- iman, kesusilaan, dan institusinya- merupakan buah dari pekembangan wahyu yang termuat dalam KS dalam bimbingan Roh Kudus berupa Tradisi dan Wewenang Mengajar Gereja (Magisterium). Lalu, sifat Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik bukanlah sifat yang sudah “jadi”. Namun, sifat- sifat Gereja inilah bersifat dinami, artinya diharpkan selalu berkembang menuju ksempurnaannya. Dosa dapat didefinisikan sebagai segala tindakan melawan Allah. Namun manusi atidak pernah putus asa karena dosa- dosanya karena yakin akan karya penyelamatan- Nya. Maka, dibutuhkan suatu pertobatan dalam diri manusia untuk memperoleh pengampunan dan pendamaian dari Alah melalui Sakramen Tobat.

Dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, KWI memberikan beberap aetika politik yaitu hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, dan tanggung jawab. Politik Katolik adalah perjuangan bagi kesejahteraan bersama, bonum commune. Itulah visi dasar yang harus dipegang teguh bagi setiap umat Katolik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan agama lain, sejak Konsili Vatikan II terlihat bahwa Gereja Katolik membuka diri sepenuhnya terhadap pluralisme dan multikulturalisme karena Gereja meyakini hanya dengan memberikan penghormatan satu sama lain maka kebaikan bersama akan dapat diwujudkan.
Dalam menyikapi globalisasi bagi kita orang Katolik, globalisasi itu bukan baik atau buruk. Melainkan apakah kinerja globalisasi mewujudkan kesejahteraan bersama atau tidak. Bila tidak maka kit aharus menemukan dengan cerdik apa yang menyebabkan malapetaka itu. Salah satu pesan Paus Yohanes Paulus II pada hari Perdamaian Sedunia tahun 1998, tepatnya 1 Januari 1998. Beliau menyampaikan pesan yang sangat kaya makna dan perlu ditafsirkan dan dijabarkan. Beliau mengatakan menolak globalisasi yang meminggirkan, tetapi ingin membangun globalisasi solidaritas. Globalisasi meminggirkan itu tidak dikehendaki oleh Gereja. Globalisasi solidaritas berlandaskan iman bahwa Allah itu Bapa semua orang, semua orang dicintai oleh Bapa dengan kasih yang sama. Karena Allahnya satu, Bapanysa satu, maka diharapkan semua orang menjadi saudara.
Pada bagian akhir, Mgr. Suharyo menjawab  suatu pertanyaan sikap apa yang diharapkan dari orang Kristiani, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga Gereja yang berhadapandengan kenyataan dunia dewasa ini.
Seharusnya seorang beriman tetap teguh dalam pengharapan Dengan landasan pengharapan ini, orang beriman, baik sendiri- sendiri maupun sebagai warga Gereja bisa melibatkan diri untuk terus berjuang membangun kehidupan yang lebih baik. Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme bisa dengan mudah hilang kalau perhitungan- perhitungan yang melandasi optimisme itu salah.Harapan tidak pernah akan hilang karenadilandaskan pada janji Allah sendiri, yaitu bahwa Ia yang telah memluai kaya yang baik ini akan menyelesaikannya juga (bdk. Flp 1:6). Dengan landasan itu, kita bisa bekerja keras tanpa putus asa.





0 komentar

Refleksi Misa Tahbisan Imam 2013

“ Melayani Dengan Gembira dan Tulus Hati ( Kis 2: 46)”
 (Sebuah Refleksi Mengikuti Tahbisan Imam)
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo, III/07
Misa pentahbisan selalu ditunggu oleh umat karena membuka harapan baru bagi umat mengenai para gembalanya. Bersama para umat yang terus menerus berdoa bagi panggilan calon imam, Allah menghadirkan rahmat- Nya sebagai wujud cinta kepada umat- Nya yaitu melalui upacara pentahbisan. Pada hari Kamis, 22/8, diadakan upaca pentahbisan 9 imam yang terdiri dari 8 imam diosesan dan satu imam tarekat CICM di Gereja St. Arnoldus Janssen, Bekasi. Kami, komunitas Seminari Menengah Wacana Bhakti, ikut ambil bagian dalam misa pentahbisan menjadi umat yang mendoakan.
Adapun para tertahbis mengambil tema “ Melayani Dengan Gembira dan Tulus Hati ( Kis 2: 46)”. Terdapat empat orang lulusan Wacana Bhakti diantara para tertahbis yaitu RD. Alberus Yogo Prasetianto, RD. Rafael Yohanes Kristianto, RD. Reynaldo Antoni Haryanto, dan RD. Yohanes Angga Sri Prasetyo. Terdapat tiga orang tahbisan yang pernah berkarya di Wacana Bhati yaitu RD. Antonius Yakin Ciptamulya, RD. Paulus Dwi Hardianto, dan RD. Antonius Prmanono Wahyu Nugroho. Misa tahbisan dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo, RD. Tunjung Kesuma- Rektor SeminariTinggi Yohanes Paulus II KAJ, RP. Kaitanus Saleky, CICM- Superior Distrik CICM Indonesia- Singapura, RD. Yohanes Subagyo- Vikaris Jendral  KAJ, RD. Hadi Sulistyo- Ketua UNIO KAJ, RP. Yakobus Rudiyanto, SJ- Pastor Dekenat Bekasi, dan RP. Anselmus Selvus, SVD- Pastor Kepala Paroki St. Arnoldus Janssen.
Selama perjalanan perasaan yang muncul adalah perasaan bingung karena saya baru saja pulang dari sekolah dengan penuh beban tugas dan ulangan dan besok akan menghadapi ulangan yang sulit. Perjalanan ke gereja menghabiskan waktu satu jam sehingga saat sampai di sana saya merasa agak capek dan letih. Di depan gereja saya bertemu dengan Br. Ignatius Ulrig, SJ.
Selama perayaan ekaristi saya agak terganggu dengan sound system dan lampu yang kurang bagus. Namun secara keseluruhan yang saya rasakan adalah haru, bangga, ada perasaan tertantang, dan bahagia. Mengapa haru? Karena dengan ditahbiskannya 9 imam saya merasakan Kasih Allah di tengah manusia dengan memanggil para pekerja- Nya. Bangga pastinya karena 4 imam tertahbis merupakan lulusan Seminari Menengah Wacana Bhakti. Ada perasaan tertantang untuk melanjutkan masa formatio di Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ dan apabila Allah berkenan ikut ditahbiskan. Saya merasa bahagia karena mendapatkan banyak dukungan untuk melanjutkan masa formatio di Diosesan KAJ dari RD. Vincentius Adi Prasojo, RD. Yustinus Kesaryanto,  RD. Yohanes Angga Sri Prasetyo, RD. Antonius Yakin Ciptamulya, dan RD. Antonius Prmanono Wahyu Nugroho.
Saya pun merasa senang dapat bertemu dengan teman orang tua saya yaitu RP. Ignatius Sudaryanto, CICM- mantan Rektor Skolastikat Tunas Verbist. Perjumpaan dengan beliau sungguh menyenangkan dan menguatkan karena beliaulah yang menjadi salah satu imam teladan saya. Beliau pun mendukung saya untuk menjadi imam diosesan walalu dulu dia berharap saya menjadi imam misionaris sepertinya.
Nilai yang saya dapatkan dari pengalaman ini adalah kesetiaan, kerendahan hati, kepasrahan, dan pengorbanan. Tanpa ada kesetiaan para tertahbis dan yang menahbiskan tidak akan menjadi pekerja- Nya karena panggilan imamat menuntut adanya kesetiaan yang mendalam karena harus mengarahkan hati secara utuh kepada Allah. Kerendahan hati harus dimiliki oleh para terpanggil karena selama masa formatio para terpanggil akan dipimpin dibawah para formator agar sampai kepada pembentukan panggilan yang murni. Mereka yang menjalankan masa formatio pun harus rendah hati karena di dalam kerendahan hati dapat mendengarkan kehendak Allah apakah ini memang jalan panggilannya atau bukan.
Kepasrahan, para terpanggil yang berpasrah kepada kehendak Allah pasti akan menjalankan masa formatio maupun masa pelayanannya dengan penuh suka cita. Pengorbanan, karena menjadi imam begitu banyak yang harus dikorbankan. Bayangan akan tahbisan ada di dalam pikiran saya dan saya merasa agak tidak pantas juga karena sebagai manusia saya begitu berdosa. Namun biarlah itu menjadi rahasia Ilahi. Kalau di kemudian hari saya ditahbiskan saya berkeinginan untuk ditahbsikan di Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang- yang merupakan paroki asal saya.
Saya merasakan kehadiran Allah melalui pengalaman pertemuan dengan para imam yang mendukung saya dalam panggilan. Saya merasakan pertemuan dengan Allah Yang Memanggil, dan Menguatkan. Makna keseluruhan pengalaman saya sebagai calon imam adalah semakin mendorong saya untuk melanjtukan masa formatio di seminari tinggi dan apabila Allah berkenan maka saya akan ditahbiskan. Sebagai calon imam saya ingin mengembangkan kemampuan saya dalam mempelajari dokumen Gereja, pelayanan kepada orang yang tersingkir dan menderita serta secara utuh memberikan diri saya kepada keuskupan.






0 komentar

Refleksi Perayaan HUT RI ke- 68 Seminari Wacana Bhakti

100 % Seminaris dan 100% Indonesia
(Sebuah Refleksi dalam Mengisi Kemerdekaan)
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo

Perayaan HUT Republik Indonesia ke- 68 dirayakan dengan penuh gegap gempita di seluruh pelosok tanah air. Tidak ketinggalan, para seminaris Wacana Bhakti pun mengisi perayaan HUT RI dengan mengadakan acara komunitas. Acara komunitas ini dikoordinasi oleh Ofisi Seminari. Acara 17- an ini dilaksanakan selama dua hari yaitu Jumat- Sabtu, 16/8- 17/8. Pada Jumat sore kami melaksanakan perlombaan dijiwai semangat kemerdekaan dengan diawali upacara pembukaan oleh Pras, Bidel Umum.
Lomba- lomba yang diadakan yaitu estafet sarung, joget balon, eatbulaga, panko mata, dan tarik tambang. Pada awal perlombaan pun kami dituntut untuk kreatif dengan mengirimkan de ville setiap angkatan dengan kostum dan gaya yang unik. Pada hari Sabtu kami menutup rangkaian acara dengan pesta makan malam komunitas.
Selama menjalani rangkaian perayaan HUT RI ini saya merasakan senang sekaligus haru. Mengapa saya dapat merasa senang karena selama menjalani rangkaian acara kami semua menjalankannya dengan penuh semangat yang membara, semangat berkompetisi, dan semangat melebur menjadi komunitas yang solid. Haru karena rasa nasionalisme yang selama ini tidak berkobar- kobar kembali berkobar apalagi setelah kembali mengenang jasa- jasa para pahlawan. Hal yang begitu mengharukan adalah saat kami bersama- sama menyanyikan lagu kebangsaan yaitu “ Indonesia Raya” setelah perayaan ekaristi pada hari Sabtu.
Sesuai dengan judul refleksi saya “100% Seminaris dan 100% Indonesia” ada beberapa nilai yang saya dapatkan yang berguna bagi kehidupan saya sebagai seminaris dan warga negara. Nilai cinta tanah air menjadi nilai yang sangat terasa dalam merayakan HUT RI ini. Cinta tanah air memang tidak mudah dijalani dalam kehidupan sehari- hari namun sangat penting bagi kita utnuk menanamkannya dalam diri. Kita harus cinta tanah air karena di sinilah kita mengukir sejarah hidup kita.
Kita harus membalas segala jasa para pahlawan yang telah membantu memerdekakan Indonesia karena tanpa mereka mungkin sampai sekarang kita masih menjadi bangsa yang terjajah.
Persatuan, melalui perlombaan- perlombaan yang ada saya memaknai tujuannya yaitu untuk mempersatukan semua orang. Semangat perstuan dalam perlombaan tersebut untuk menyadarkan kita bahwa dalam memerdekakan bangsa Indonesia tidak akan berhasil bila berusaha sendirian melainkan harus bersatu padu untuk merdeka. Setelah kita bersatu maka kita membutuhkan semangat untuk bekerja sama. Dalam bekerja sama dibutuhkan keselarasan dna kesatuan niat dan tujuan yang jelas seperti dalam permainan tarik tambang. Dengan bekerja sama maka permasalahan yang besar dapat ditangani bersama.
Apabila dikaitkan dengan 4 pilar seminari, dalam menjalaninya saya merasakan kedalaman dan penghayatan yang cukup baik. Saya pun semakin diingatkan mengenai nilai sejarah dan nilai moral yang didapatkan dari berbagai perlombaan. Perlombaan yang ada membantu kita untuk semakin sehat karena terdapat unsur olah raga. Dalam hidup berkomunitas kita pun dituntut untuk dapat bersatu, bekerja sama, dan berkreasi- berinovasi.
Selama merayakan HUT RI saya  diingatkan akan Penyelenggaran Allah dalam kemerdekaan Indonesia. Tanpa penyelenggaraan- Nya maka para pahlawan tidak akan berhasil memerdekakan bangsa ini. Karena berkat dan perlindungan Allah, para pahlawan dihindarkan dari mara bahaya dan semakin diarahkan kepada tujuan yang mulia yaitu bebas dari penjajahan. Saya merasa Indonesia yang dapat mencapai umur 68 tahun merupakan bentuk kasih dari Allah karena Indonesia terus diberi kesempatan untuk berkembang dan bertobat dari segala kelaliman dan ketidak adilan di seluruh Indonesia.
Ada dorongan bagi saya untuk terus mengisi kemerdekaan Indonesia dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Saya yakin dengan mencerdaskan bangsa Indonesia maka seluruh rakyat dapat merasakan kemerdekaan, kesejahteraan, dan keadilan. Sehingga tidak ada lagi orang- orang yang merasakan ketidak adilan.
Sebagai calon imam, makna keseluruhan dari kegiatan ini adalah bahwa kita disadarkan untuk juga berbakti terhadap negara dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai warga negara. Kegiatan ini memantapkan panggilan saya karena salah satu tugas imam adalah melayani agar semua manusia dapat merasakan kasih Allah dan memerdekakan dari segala bentuk penjajahan. Yang ingin saya kembangkan sebagai calon imam adalah semangat nasionalisme seperti Mgr. Soegija.






Rabu, 12 Juni 2013 0 komentar

John Paul II Cup


Pagi yang cerah pada hari Minggu, 9/6, telah membakar semangat 900- an misdinar untuk mengikuti perlombaan misdinar Keuskupan Agung Jakarta di Seminari Menengah Wacana Bhakti, Jakarta.

Lomba misdinar tersebut dikemas dalam John Paul II Cup 2013. Lomba ini merupakan lomba yang pertama kali diadakan bagi para misdinar se-KAJ atas kerjasama dengan Seminari Tinggi Yohanes Paulus II, Seminari Menengah Wacana Bhakti, dan UNIO KAJ. JPII Cup ini diketuai oleh Fr. Diakon Angga Sri Prasetyo. JPII Cup 2013 mengambil tema “ Menjadi Imam Siapa Takut?”. Frater Pius Novrin dan Frater Andreas Subekti memandu acara ini. Para misdinar dengan tingkat umur SD s.d. SMP yang terlibat berasal dari 27 paroki di KAJ.

Setelah ice-breaking dan pengenalan theme song JPII Cup, RP. Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ dan Fr. Diakon Angga Sri Prasetyo memberikan sambutan lalu perlombaan dimulai. John Paul II Cup memiliki 7 jenis lomba yaitu Free Throw, Free Kick, Cooking Adventure, Misdinar Pintar, Mo’cil (Romo Cilik), Tata Gerak Liturgi, dan MMB ( Misdinar Mencari Bakat). Tujuan  John Paul II Cup menjadi ajang kreatifitas dan persahabatan antar misdinar se-KAJ dan mengenalkan panggilan hidup menjadi imam.

Setelah perlombaan selesai dilaksanakan, para misdinar berkumpul di Aula Seminari Wacana Bhakti untuk mengikuti talk show bersama RD. Bambang Wiryo, RD. Charles Agustino, dan RD. Yustinus Ardianto. Talk Show membicarakan mengenai misdinar yang baik dan pengalaman terpanggil menjadi imam oleh para narasumber.

John Paul II Cup ditutup dengan misa akbar yang dipimpin oleh Mgr. Ignatius Suharyo bersama para imam  paroki, seminari tinggi, seminari menengah, dan Komisi  KAJ.

Sebelum berkat penutup diadakan penyerahan piala dan medali bagi para pemenang. Misdinar dari Paroki Bunda Teresa, Cikarang keluar sebagai Juara Umum I dan berhak membawa Piala Bergilir John Paul II Cup.

         RP. Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ sedang memberikan sambutan dalam John Paul II Cup 2013 di Aula Seminari WB.

         Panitia sedang memberikan pengarahan free kick di lapangan mini soccer seminari.

         Talk show dalam John Paul II Cup 2013 di Aula Seminari WB (ki- ka: RD. Bambang Wiryo, RD. Charles Agustino, Aris (seminaris), RD. Yustinus Ardianto).

         Tim MMB (Misdinar Mencari Bakat) dari Paroki Santo Matias, Kosambi.

Carolus Budhi Prasetyo.  


Selasa, 26 Maret 2013 0 komentar

Refleksi Live- In 2013


Belajar Arti Hidup dari Sebuah Kederhanaan Pedesaan
(Refleksi Live- in 2013 di Baturetno, Wonogiri)

Kehidupan remaja di Jakarta semakin individualis dan tidak memiliki kepekaan dengan sesamanya. Setiap kolese menanamkan nilai compassion yang merupakan perwujudan nilai- nilai untuk mengasah kepekaan para murid. Sebagai wujud menjalankan nilai compassion, Kolese Gonzaga mengadakan kegiatan live- in bagi para murid kelas 11 setiap tahunnya. Oleh sebab itu, para murid Kolese Gonzaga angkatan XXV mengikuti kegiatan live- in di Baturetno, Wonogiri, Minggu s.d. Jumat, 10/3- 15/3- 2013.
            Para murid dibagi ke dalam 5 lingkungan yaitu Ngawu, Boto, Kedung Ombo, Sendangrejo, dan Duren. Para seminaris Wacana Bhakti angkatan XXIV pada tahun ini mengikuti live- in menempati lingkungan Duren. Lingkungan Duren yang ditempati para seminaris pun dibagi menjadi Dusun Pringjowo dan Dusun Duren Kidul.
            Para penduduk Desa Duren bermatapencaharian sebagai petani sawah tadah hujan, buruh, wiraswasta, dan guru. Namun yang pekerjaan yang paling dominan adalah petani. Mayoritas penduduk telah berumur di atas 50 tahunan dengan anak- anaknya yang merantau ke kota- kota besar setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA. Adapun para penduduk tersebut merawat pula cucu- cucu mereka. Sebagian besar mereka yang menitipkan anak- anak mereka kepada orang tuanya bekerja sebagai buruh maupun guru di daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Serang, maupun kota- kota besar lainnya di Jawa Tengah.
            Setelah mengikuti briefing dari guru pendamping, saya dan teman- teman seminaris diberangkatkan menuju desa Duren. Selama perjalanan pun saya merasa deg- degan karena ini adalah kali pertamanya saya menjalankan live- in. Saya takut kalau keluarga angkat saya nantinya adalah keluarga yang mapan dan saya tidak akan mendapatkan nilai- nilai kerja keras seperti yang didengung- dengungkan banyak orang selama ini. Terlebih saya mendengar banyak cerita dari kakak kelas saya. Walau berbeda dengan live- in yang dialami angkatan XXII Wacana Bhakti, namun saya masih merasa tertantang untuk menjalankan live- in.
            Saat teman saya, Donmas, turun untuk pertama kalinya saya merasa terkejut karena begitu cepat kami akan dipisahkan. Lalu saat mobil yang mengantar kami kembali berhetni ternyata saya dan Endjiang harus berpisah dengan teman- teman yang lain. Dengan diantarkan oleh Pak Katijo, kami pun sampai ke rumah Bp. Paulus Tumino. Kami pun bertemu dengan Bu Sutini, isteri Bp. Paulus Tumino. Awal kegiatan live- in pun dimulai.
            Bapak Tumino, 58, adalah pensiunan PT. KAI dan memiliki isteri yaitu Bu Sutini, 49, yang berprofesi sebagai petani. Beliau memiliki 2 anak yaitu Mas Ary, 30, yang sekarang bekerja di Solo sebagai pegawai PT. KAI dan Mbak Purwati, 23, yang bekerja di Bogor sebagai karyawan konveksi. Sejenak saya pun merasa senang karena mendapatkan sambutan yang hangat dari keluarga. Keluarga ini sangat ramah sekali dengan kami bahkan cenderung memanjakan kami. Situasi ekonomi keluarga dapat dibilang mampu dan keluarga ini cukup terpandang.
            Bapak Tumino pun mengisi hari tuanya dengan bertani dan berladang. Ia rutin pergi ke sawah pada pukul 06.00 dan baru pulang pukul 16.00. Selama live- in pun saya dan Endjiang tidak diperbolehkan untuk ikut bekerja di sawah dan lading padahal kami sudah sangat antusias untuk terlibat dalam kegiatan bertani. Setelah saya refleksikan, ternyata alasan Bapak Tumino tidak memperbolehkan kami karena beliau telah memperkerjakan orang lain untuk menggarap lahannya yang baru saja panen.
            Secara lebih lanjut saya dan Endjiang pun membantu keluarga dengan mengoprek jagung dan memberi pakan ternak. Kami pun berusaha untuk terlibat dalam masyarakat. Kami berkunjung ke Dusun Duren Kidul untuk mengetahui masyarakat luas dan berniat membantu masyarakat.
            Dusun Duren Kidul dan Dusun Pringjowo terpisahkan jarak sejauh 500 meter dan saya setiap hari menempuhnya untuk sekedar melihat masyarakat, membantu teman, dan pergi ke Kapel Santa Maria. Selama kami live- in, kami pun mengikuti kegiatan lingkungan yaitu Novena Santo Yusuf. Kegiatan ini dilakukan di Kapel Santa Maria pada pukul 19.30 dan dibawakan dalam bahasa Jawa. Terbayang seberapa jauhnya utnuk menempuh perjalanan ke kapel dengan medan yang cukup jelek karena jalanan berbatu dan tidak terdapat penerangan yang memadai.
            Saya pun tidak terkendala dengan makanan karena makanan di sana lebih enak daripada di seminari. Namun, yang cukup saya kagumi adalah suasana kekeluargaan yang sangat dalam dan budaya toleransi yang baik. Hasil panenan dibagi- bagikan kepada keluarga lain yang membutuhkan baik itu padi, jagung, maupun sayur- mayor. Tidak ada harapan balas jasa karena semua saling mensyukuri dan mau saling berbagi .
            Bagaimana dengan nilai- nilai yang saya dapatkan selama live- in? Setelah merefleksikan lebih dalam pengalaman yang telah saya alami. Saya pun mengambil nilai perjuangan. Penduduk pedesaan dari sebuah kesederhanaannya dapat mengambil suatu sikap yang tulus yaitu perjuangan.
            Perjuangan yang saya maksud bukanlah perjuangan karena haknya dirampas orang lain. Perjuangan yang dimiliki oleh penduduk desa merupakan wujud imannya. Karena saya melihat dengan perjuangan yang dilakukan oleh penduduk desa, mereka dapat lebih menghargai dan mensyukuri berkat dari Gusti Allah dan mengimaninya bahwa setiap pemberiaan dari Allah adalah tanggung jawab dan bukan beban. Penduduk desa berusaha untuk merawat sawahnyadan terus berbagi dengan sesamanya.
            Penduduk desa pun berjuang untuk menyirami iman mereka dengan mengiktui kegiatan peribadatan maupun Ekaristi walau menempuh jarak 500 meter lebih. Dapat dilihat penduduk desa mau berjuang demi kehidupan religious mereka. Padahal jarak yang ditempuh tidak diimbangi dengan jalan yang mulus dan penerangan yang memadai. Saya pun melihat buah dari perjuangan mereka bahwa mereka semakin dikuatkan dalam iman dan tindakan mereka sehari – hari. Perjuang tersebut membuahkan nilai keramahan, kejujuran, kerja keras, toleransi, dan kekeluargaan.
            Sebagai siswa kolese saya pun dapat menilai makna compassion yaitu bagaimana seorang pribadi manusia menghayati hidupnya sehari- hari dengan penuh ketulusan hati dan kerja keras yang diimbangi dengan kepedulian dengan sesama dan lingkungan sekitar.
            Hal ini sangat baik untuk saya petik karena hal ini dapat memperkaya iman saya dan menguatkan saya kelak untuk menjadi imam nanti, bahwa dalam hidup mengikuti Yesus selalu saja ada perjuangan untuk mencapai kebahagiaan dengan memuji, menghormati, dan mengabdi kepada Allah Tuhan kita.


Sabtu, 19 Januari 2013 1 komentar

Kebebasan Beragama


Kebebasan Beragama: Hak Universal yang Harus Diperjuangkan
(Antara Manusia, Negara, dan Gereja Katolik)
Dilema Kebebasan Beragama di Indonesia
Manusia tidak dapat lepas dari Sang Pencipta. Oleh karena itu, banyak manusia yang memeluk agama atau kepercayaan untuk semakin mendekatkan diri kepada Ilahi. Negara pun diharapkan dapat memberikan kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Hal ini dikarenakan kebebasan beragama adalah hak universal bagi setiap insan manusia.
Indonesia yang telah memasuki usia 67 tahun ternyata masih dilanda dilema kebebasan beragama. Konstitusi Internasional maupun Undang- Undang Dasar 1945 telah memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia. Kenyataan berkata lain, konstitusi tidak dapat melindungi warga Negara yang memeluk agama tertentu dari kekerasan yang terjadi. Agama- agama  berbeda namun, tetap  membawa pesan perdamaian dan wahyu dari Allah tidak lagi dipandang sebagai keberagaman yang patut dijaga melainkan dimanfaatkan oleh golongan- golongan tertentu sebagai lawan yang seharusnya dimusnahkan.
Padahal, sikap- sikap dan tindakan- tindakan keagamaan lahiriah seperti mengungkapkan pengakuan iman menurut agamanya, ikut dalam ritus dan ibadat tertentu, menjalankan kewajiban- kewajiban lahiriah agamanya, secara masuk akal dan wajar diterima sebagai pengakuan imannya. Tanpa iman semua sikap dan tindakan kepercayaan itu tidak bernilai sama sekali.
Pertanyaan mendasar yang dimiliki setiap manusia dewasa ini  yaitu: Apakah makna kebebasan dewasa ini? Apakah kebebasan beragama itu? Bagaimana Gereja Katolik memandang kebebasan beragama menurut Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja (selanjutnya disingkat ASG), Katekismus Gereja Katolik, dan Dokumen Konsili Vatikan II? Masih relevankah kebebasan Beragama tersebut dengan situasi hidup keagamaan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Tanah Air tercinta ini.
Bertitik- tolak dari problematika dan pertanyaan mendasar terhadap kebebasan beragama inilah yang menunjukkan secara jelas kemana tulisan ini berangkat.
Menelusuri Makna Kebebasan
            Kebebasan menjadi dasar bagi setiap tindakan manusia untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan. Menurut kami, kebebasan berarti keadaan yang lepas dari paksaan dan manusia dapat mengurus dirinya tanpa ada pembatasan yang merugikan haknya. Menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam filsafat hukumnya, hukum secara hakiki melindungi kebebasan mereka yang ada di bawahnya.
            Apa yang menjadi inti universal nilai kebebasan itu? Dalam buku Etika Politik, Pater Franz Magnis- Suseno, SJ  menjelaskan inti universal nilai kebebasan yaitu hak setiap orang dan kelompok untuk mengurus diri sendiri lepas dari paksaan.
            Bagi kami makna kebebasan yang dipapar- jabarkan oleh Pater Franz Magnis- Suseno, SJ merupakan hak asasi universal manusia di segala zaman dan dalam segala kebudayaan. Maksudnya, sejak manusia dilahirkan ke dunia maka manusia memiliki kebebasan sebagai hak universalnya tanpa melihat zaman dan kebudayaan yang dianutnya. Dengan perkecualian manusia tersebut menolak, dengan kemungkinan adanya paksaan maupun kekuatan di luar dirinya mengancam yang mencampuri. Namun, loyalitas kepada kelompok kita atau karena tuntutan hukum atau adat- istiadat yang mencampuri otonomi kita yang tidak kita akui itulah yang selalu tidak wajar. Hukum justru diadakan untuk melindungi kebebasan kita ini.
            Gereja telah hadir di tengah dunia sejak jemaat perdana yang dihimpun Yesus dan para rasul- Nya pun mendukung adanya kebebasan manusia. Sebagai umat beriman, kita tahu bahwa Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak diri sendiri dan menguasai segala perbuatannya (Katekismus Gereja Katolik no. 1730).“ Allah bermaksud ‘menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri’ (Sir 15:14), supaya ia (manusia) dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada- Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan” ( Gaudium et Spes 17).      
Dengan penjelasan tersebut kita dapat memahami bahwa dari awal manusia diciptakan, Allah telah memberikan kebebasan dan tanpa paksaan agar manusia mampu mencari Penciptanya dan secara tulus mengabdi demi mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan manusia tersebut.
            Berdasarkan dasar biblis tersebut maka Katekismus Gereja Katolik pun memberikan arti kebebasan yaitu kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar (Katekismus Gereja Katolik no. 1731).Kebebasan berlaku dalam hubungan antar manusia tanpa terkecuali. Secara kodrati, manusia memiliki hak untuk diakui sebagai makhluk yang bebas dan bertanggungjawab, karena ia telah diciptakan menurut citra Allah (Katekismus Gereja Katolik no. 1738). Maka, antara martabat manusia dan hak untuk melaksanakan kebebasan diikat secara tidak terpisahkan dalam masalah kesusilaan dan agama (menurut Konsili Vatikan II, Dignitas Humanae art. 2). Hak ini harus diakui oleh hukum Negara, dan dilindungi dalam batas- batas kepentingan bersama dan tata tertib umum (menurut Konsili Vatikan II, Dignitas Humanae art. 7).
Memahami Makna Kebebasan Beragama
          Manusia sebagai ciptaan Allah dianugerahi akal budi dan suara hati.Secara singkat, suara hati merupakan suara dalam setiap diri manusia yang mengarahkan manusia kepada kebaikan. Suara hati pun akan memperingatkan apabila tindakan yang akan kita lakukan itu salah. Manusia memiliki kebebasan suara hati, yang berarti manusia bebas mencari dan memilih kebenaran berdasarkan suara hatinya. Setiap manusia wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja- Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya.
            Kebebasan beragama secara mudah dipahami sebagai suatu hak yang dimiliki setiap manusia untuk menentukan agama yang dianutnya, terlepas dari paksaan apapun dalam menjalankan praktik- praktik keagamaannya, baik dalam menunjukkan imannya, terlibat dalam tradisi, dan melaksanakan ibadah . Dalam menjalankan kebebasan beragama dijamin dan dijaga oleh para warganegara, kelompok- kelompok sosial, pemerintah- pemerintah, Gereja dan jemaat- jemaat keagamaan lainnya.
Kebebasan beragama termuat langsung dalam kebebasan suara hati. Sebagai makhluk yang berakal budi manusia tidak dihormati dalam martabatnya apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu sebagai benar yang dianggapnya tidak benar atau untuk tidak mengakui sesuatu yang disadarinya sebagai benar. Percaya secara sesungguhnya merupakan sikap hati yang mengandaikan kesadaran bahwa yang dipercayai itu ada, nyata dan pantas untuk dipercayai.
            Menurut Pater Franz Magnis- Suseno, SJ, kebebasan beragama mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menentukan sendiri apakah dan bagaimanakah ia beragama atau tidak, untuk hidup sesuai dengan keyakinan keagamaannya sendiri, untuk mengamalkan dan mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain yang ingin menerima komunikasi itu, untuk meninggalkan agamanya yang lama dan memeluk agama baru yang diyakininya, untuk tidak didiskriminasikan karena agama atau keyakinannya.
            Dalam Konsili Vatikan II menyatakan bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dengan akal budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi hak sipil.
Kebebasan Beragama dan Gereja Katolik
            Dalam hidup manusia dianugerahi suara hati yang mengarahkan kepada kebenaran. Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Manusia menangkap dan mengakui ketentuan- ketentuan hukum Ilahi melalui suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh kegiatannya, untuk mencapai tujuannya, yakni Allah.
Manusia yang memiliki kodrat sosial manusia menuntut supaya ia mengungkapkan tindakan- tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama dalam  hal keagamaan, dan menyatakan agamanya secara bersama- sama.
            Menurut Ensiklik Paus Yohanes XXIII, Pacem In Terris (Perdamaian Dunia) art. 14, mengenai usaha mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan, manusia memiliki hak untuk dapat beribadat kepada Allah mengikuti dorongan yang tepat suarahatinya sendiri, dan mengakui agamanya secara privatmaupun di muka umum.
            Laktansius jelas mengajarkan: “Inilah persyaratan kelahiran kita sendiri, bahwa kepada Allah yang menciptakan kita, kita lambungkan hormat- pujian yang layak bagi- Nya, bahwa Ia kita akui sebagai Allah yang Esa, dan kita patuhi. Dari ikatan ketakwaaan yang mengikat kita dan menambat kita pada Allah itulah dijabarkan istilah ‘religio’” (agama).
      Setelah mempelajari dokumen- dokumen ajaran Gereja Katolik, kami pun mendapatkan tiga alasan pokok kebebasan beragama:
·         Kodrat manusia: Manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak bebas dan oleh karenanya mempunyai tanggung jawab pribadi yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
Maksudnya, manusia tidak dapat menolak kewajiban- kewajiban yang telah diberikan Allah karena kita memiliki akal budi dan berkehendak bebas. Manusia pun dituntut agar mencari kebenaran sejati yaitu Allah sendiri dengan menggunakan akal budi dan kehendak bebas. Seperti yang telah dipapar- jabarkan sebelumnya, suara hati manusia akan menuntun manusia untuk mencari kebenaran sejati, memahami dan mengamalkannya.
·         Sifat iman sejati: Iman sejati bukanlah sekedar sikap menerima beberapa ajaran, tidak pula terbatas pada upacara- upacara ibadah dan tidak cukup hanya melaksanakan perintah- perintah Tuhan secara lahiriahatau legalistis tanpa menyetujuinya dalam batin.
Yesus sendiri menghendaki umat manusia agar menunjukkan imannya dalam perbuatan sehari- hari ( Yak 2:17). Kita tidak dapat melihat secara kasat mata iman seseorang, manusia menunjukkan imannya secara lahiriah. Namun bukanlah perbuatan lahiriah saja yang dilihat sebagai perwujudan iman, namun bagaimana kita melakukan perbuatan tersebut, apakah didasari bahwa perbuatan menunjukkan kualitas sebagai ciptaan Allah yang memenuhi kodrat manusia. Biarlah suara hati kita menuntun kita dan menyetujuinya dalam batin.
·         Di dalam bidang kenegaraan: Negara didirikan untuk memenuhi kesejahteraan seluruh rakyat.
Tampak jelas bahwa pemerintah maupun negara didirikan atas amanat dan kedaulatan rakyat agar pemerintah tersebut mencerminkan suara dan kehendak rakyat yang mengarah kepada kesejahteraan rakyat. Di dalam praktek hidup kenegaraan, masyarakat akan merasa bahagia dan sejahtera apabila tidak mendapatkan paksaan yang mengekang dirinya. Sebenarnya hukum diadakan bukan untuk mengekang kebebasan melainkan untuk membatasi, melindungi, dan menjamin kebebasan itu sendiri. Hukum yang diberikan oleh negara bukanlah hukum yang memaksa dan mendorong warganegara untuk menganut agama tertentu melainkan untuk menjamin dan melindungi kebebasan warga negara untuk melakukan praktek keagamaan.
            Dalam praktek hidup kenegaraan, hendaklah pemerintah yang berkuasa memperhatikan praktek kebebasan beragama. Dalam Konsili Vatikan, Dignitas Humanae art. 4, pemerintah dihimbau memberikan kebebasan terhadap pelaksanaan hak- hak jemaat- jemaat keagamaan dalam berkativitas baik dalam pewartaan dan menjalankan ibadahnya. Para Bapa Konsili pun mengingatkan jemaat- jemaat keagamaan agar tidak menyalahgunakan hak- hak kebebasan yang diberikan dalam pewartaan dengan memberikan seolah- olah paksaan, dan dorongan yang tidak pantas terutama terhadap sesama yang kurang berpendidikan dan kurang mampu.
            Kebebasan beragama ini pun harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya kesejahteraan maka manusia semakin mencapai kesempurnaan secara utuh dan mudah, terutama terletak pada penegakkan hak- hak serta tugas- tugas pribadi manusia. Setiap elemen dalam masyarakat baik sipil maupun keagamaan berperan aktif dalam pertanggungjawaban kebebasan beragama ini demi memelihara kesejahteraan umum.
            Seperti makna kebebasan yang telah diberikan Allah kepada kita yaitu kebebasan yang tidak mutlak, maka kebebasan beragama baik adanya untuk melihat batas- batasan kaidah yang ada. Setiap orang atau jemaat tidak boleh egois. Karena, setiap orang dan jemaat baiklah mempertimbangkan hak- hak orang lain maupun kesejahteraan umum yang telah diatur hukum moral dalam diri manusia. Semua orang harus diperlakukan sama dalam keadilan dan peri kemanusiaan.
Gereja Katolik Memandang Agama Islam
          Sebelum membahas situasi konkret kebebasan beragama di Indonesia, kami akan membahas pandangan Gereja Katolik terhadap agama Islam. Karena, agama Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh seluruh warga negara Indonesia. Dengan mengetahui pandangan Gereja Katolik maka kita akan memahami dasar tindakan saling menghargai dengan agama lain yang non-kristiani.
            Gereja menghargai kaum Muslim , yang menyembah Allah yang tunggal, hidup dan ada, rahim dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Gereja pun menghargai mereka (kaum Muslim) yang berusaha dengan segenap hati tunduk kepada keputusannya yang tersembunyi, seperti Abraham tunduk kepada Allah, seperti yang suka diacu iman Islam (Konsili Vatikan II, Nostra Aetate, art. 4). Adanya keyakinan yang sama akan Allah yang akan memberikan hari pengadilan memberikan ruang yang baik untuk berdialog mengenai iman.
            Gereja pun menghimbau umat Katolik agar menghargai umat Islam yang menghargai hidup moral dan Allah  mereka hormati terutama dalam doa, sedekah, dan puasa. Walau pada zaman ini sering sekali adanya gesekan- gesekan yang memperpanas iklim hidup keagamaan, Gereja Katolik mengajak semua untuk melupakan masa lalu, sejarah yang buruk di antara keduanya, dengan tulus melaksanalan pengertian timbal- balik,dan bersama melindungi dan memajukan keadlian sosial, nilai- nilai moral, perdamaian dan kemerdekaan.
Situasi Konkret Kebebasan Beragama di Indonesia
            Indonesia telah berdiri sejak 67 tahun yang lalu dengan berabad- abad membangun kesadaran akan kemerdekaan dan kesatuan. Para bapa pendiri bangsa yang notabene tidak berasal dari satu golongan saja berhasil menyatukan hati untuk mendirikan suatu negara yang merdeka.
            Indonesia memiliki keberagaman yang baik  dalam suku, budaya, dan agama. Semuanya saling memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang menganut demokrasi, Indonesia telah memberikan kebebasan bagi seluruh warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Hal ini telah dilandaskan atas hukum yaitu Undang- Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2.
            Namun pada tahun 2012, Indonesia mendapat sorotan tajam dari dunia internasional. Indonesia yang merupakan negara demokrasi mengantongi banyak kasus kekerasan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Seharusnya, Indonesia yang berada dalam era reformasi ini dapat memberikan jaminan bagi berkembangnya iklim kebebasan beragama. Pada sejarah yang lalu yaitu  zaman Orde Baru, secara jelas bahwa negara tidak memberikan hak- hak warga negara untuk memeluk agama tertentu bahkan adanya diskriminasi. Secara jelas, hal ini nampak terjadi bagi warga negara yang beretnis Tionghoa.
            Dalam penelitian dan pencatatan kasus serta pamantauan,The Wahid Institute melaporkan terjadinya 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama.  The Wahid Institute merupakan yayasan yang didirikan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kini The Wahid Institute dipimpin Zanubah Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, putri almarhum Gus Dur.
            Laporan The Wahid Institute itu juga membuat kategorisasi pelanggaran, yakni pelanggaran oleh aparatus negara dan oleh non-negara. Hasilnya, pelanggaran yang dilakukan aparatus negara dicatat sebanyak 166 tindakan, sedangkan non-negara sebanyak 197 tindakan.
Dalam kategori pelanggaran oleh aparatus negara, aparat Kepolisian yang berada di garda depan penjaga keamanan dan ketertiban justru menempati posisi tertinggi, yakni 57 tindakan. Disusul aparat Satpol PP sebanyak 34 tindakan, lalu pemerintah kabupaten/kota sebanyak 32 tindakan, tentara 10 tindakan, bupati/wali kota 6 tindakan, dan aparat lainnya.Pemerintah Indonesia kurang cermat dalam memberikan ruang bagi kebebasan beragama karena pemerintah selama ini melakukan metode pengolahan hak- hak kebebasan beragama melalui pembatasan bukan penjaminan (lihat Bab “Kebebasan Beragama dan Gereja Katolik, sebagai referensi).
Kasus yang cukup mendapatkan perhatian besar pada tahun 2012 adalah kasus pengrusakkan dan penganiyayaan umat Muslim Syiah, dan Ahmadiyah. Pelarangan beribadah terhadap umat Gereja GKI Yasmin, Bogor dan Gereja HKBP, Bekasi. Dalam kasus tersebut pemerintah melalui aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan yaitu polisi menjadi penonton dan tidak dapat berbuat apa- apa saat terjadi pengrusakkan dan penganiyayaan. Pemerintah daerah pun tidak dapat menghimbau masyarakat setempat untuk saling menghargai kebebasan beragama.
Bahkan terdapat kasus yang mleibatkan peran pemerintah daerah yaitu Pemerintah Daerah Bogor yang tidak memberikan izin untuk beribadah bagi umat Gereja GKI Yasmin padahal telah mendapat putusan untuk memberikan izin beribadah.
Kekerasan kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia merupakan andil dari beberapa organisasi masyarakat yang berlandaskan agama maupun massa yang diprovokasi. Mudah saja kita mengetahui dalang dari beberapa kasus kebebasan beragama yang mencolok dari tahun 2008 sampai 2012 yaitu FPI ( Front Pembela Islam). Pada tahun 2008, AKKBB ( Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang mengalami penganiyayaan oleh FPI saat menyampaikan pendapat di Monumen Nasional, Jakarta. Korban yang terluka kebanyakan perempuan dan anak- anak.
Tampaknya, pemerintah lemah, lenje, dan mudah dibawa oleh kepentingan- kepentingan. Beberapa ormas yang berniat mengadili masyarakat menurut syariah Islam menjadi menodai agama Islam sendiri. Padahal, Indonesia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Pemerintah lemah dan lambat untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama. Pemerintah tidak dapat memberikan jaminan yang berarti. Pemerintah hanya menjadi penonton dan tidak dapat bertindak apa- apa untuk melindungi hak- hak kebebasan beragama.
Secara hukum, pemerintah seharusnya tegas terhadap siapa saja  yang melanggar kebebasan beragama dan menjatuhi hukuman pidana. Namun pemerintah tampaknya takut untuk bertindak tegas dan hanya banyak bicara mengenai penyelesaian permasalahan. Pemerintah tidak pernah serius untuk memberikan jaminan. Pemerintah belum memahami bahwa dengan memberikan jaminan kebebasan beragama maka akan memberikan pondasi yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu menjunjung persatuan.
Pemerintah tidak dapat berefleksi dari pengalaman yang telah berlalu. Apabila disadari secara baik dan benar, dengan adanya pelanggaran kebebasan beragama maka pemerintah tidak menjalani tugas perutusan Allah yaitu memberikan kesejahteraan umum bagi seluruh warganegara.
Pemerintah telah melanggar Pancasila sila ke- 5 karena tidak dapat memberikan keadilan bagi seluruh warga negara. Apakah pemerintah mau terus- menerus melanggar hak- hak warga negara yaitu kebebasan beragama? Bagaimana solusi terhadap permasalah tersebut? Pertanyaan mendasar tersebut yang mendasari pembahsan berikutnya.
Solusi Atas Situasi Konkret Kebebasan Beragama di Indonesia
          Semua masalah pastilah memiliki solusi. Menurut kami, yang harus dibenahi adalah dalam pribadi setiap pemeluk agama sendiri. Di dalam  hal ini, pemimpin agama memiliki peranan yang cukup besar. Pemimpin agama menghimbau agar setiap jemaat memperdalam imannya dan memahami secara baik dan benar serta konteks zaman akan ajaran- ajaran agamanya. Karena dengan memiliki iman yang kuat maka manusia akan memahami bahwa dala hidup ini kita diciptakan untuk saling mengasihi. Dengan sadar agar mengasihi sesama maka kita dapat menghargai kebebasan beragama lain.
            Pemimpin agama pun  menyadarkan umatnya bahwa manusia diciptakan secara kodrati sama atau sederajat. Sehingga tidak menimbulkan suatu persepsi miring bahwa agama tertentu lebih tinggi. Dengan paham bahwa setiap manusia memiliki derajat  dan martabat yang sama maka manusia dapat saling menghargai satu sama lain. Pemimpin agama juga harus menanamkan sikap rendah hati, rendah hati untuk memaafkan sejarah lampau dalam konflik antar agama, dan rendah hati untuk saling menerima perbedaan.
            Dalam memperjuangkan kebebasan beragama diperlukan adanya dialog. Dialog dimaksudkan agar tercipta kehidupan kebebasan beragama yang baik dan tercipta pula suasana pluralisme.
            Sebuah dialog yang bermakna, tulus dan memperkaya semua pihak yang terlibat di dalam dialog, mengandaikan adanya suatu bentuk kedekatan, keterbukaan, saling percaya dan saling menghargai satu sama lain- terutama menghargai perbedaan yang ada- serta adanya kesiapan untuk mau berbagi. Sehingga terciptalah suasana pluralisme yang ideal.
            Namun dialog yang lebih luas harus didahului dengan dialog internal dalam agama, sehingga para hardliners dan the confronted dapat diajak bersama- sama untuk menentukan sikap yang terbuka. Adanya keteladanan dari tokoh pun tidak dapat dihilangkan karena keberanian merekalah maka para penganut akan meneladani. Seperti Almarhum Paus Yohanes Paulus II yang sangat disegani dan dihormati oleh pemimpin umat antar agama.Dialog yang bijaksana dan dewasa adalah dialog yang yang sepakat untuk menolak segala bentuk kekerasan dalam kehidupan beragama. Sehingga semua agama dapat menjamin penghargaan satu sama lain atas kebebasan beragama.
Dibutuhkan kerendahan hati dalam hidup beranekaragam dalam keyakinan dan iman.Untuk menghentikan kekerasan dalam praktek kebebasan beragama, setiap pemimpin agama harus duduk bersama dalam dialog dan saling memiliki iklim saling percaya. Konsekuensinya adalah (a) setiap umat harus memiliki tekad untuk arif dalam mendengarkan pandangan setiap agama; (b) harus memiliki tekad untuk beradab dan membicarakan secara kekeluargaan;dan (c) setiap umat dan pemimpinnya harus memiliki tekad untuk bersikap toleran karena toleransi adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Menjadi tugas para pendidik pula untuk menciptakan situasi yang baik bagi kebebasan beragama. Dengan adanya pendidikan kebebasan beragama dalam pendidikan formal akan memberikan wawasan yang baik bagi para murid yang juga calon pemimpin masa depan.
Adanya peninjauan kembali terhadap kasus kekerasan kebebasan beragama harus dilakukan pemerintah agar pemerintah dapat memberikan keadilan bagi warga negara untuk menjalankan praktek kebebasan beragama. Pemerintah menjadi fasilitator dalam penyelasaian konflik kebebasan beragama yang melibatkan pihak- pihak jemaat keagamaan. Para penegak hukum memberikan jaminan dan berkomitmen menjaga kebebasan bergama dan bukan menjadi penonton saat terjadi aksi anarkis.
Pemerintah harus dibimbing oleh warga negara agar pemerintah dapat menjamin kebebasan beragama. Warga negara dapat beraspirasi baik melalui pers, petisi, dialog, kritik, dan demonstrasi agar pemerintah dapat memperbaiki kesalahan dalam pengolahan hak- hak kebebasan beragama.

Kesimpulan
          Kebebasan merupakan hak universal yang telah dimiliki manusia sejak manusia dilahirkan ke dunia bahwa manusia terlepas dari paksaan untuk mengurus dirinya sendiri. Menurut ajaran Gereja Katolik, kita mengimani sebagai manusia Allah telah menganugerahkan akal budi dan suara hati kepada kita dan kita diberi kehendak bebas sesuai kehendak dirinya dan mempertanggungjawabkannya. Manusia diberikan kebebasan agar ia dapat secara sukarela mencari Penciptanya dan memperoleh kesempurnaan.
            Kebebasan beragama merupakan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk mengatur hal keagamaannya termasuk di dalamnya hal mengenai jemaat keagamaan, ajaran, ritus dan ibadah. Menurut Gereja Katolik, dengan dianugerahi suara hati maka  manusia akan dituntun menuju pencarian kebenaran sejati. Setelah memahami kebenaran tersebut maka akan diamalkan dalam kehidupan sehari- hari. Kebenaran tersebut bersumber dari Allah. Kebenaran tersebut dinyatakan dalam istilah agama.
            Kebebasan beragama harus diperjuangkan karena tiga alasan pokok yaitu (a) kodrat manusia, setelah kita memahami kodrat manusia maka kita akan mencari kebenaran menurut suara hati dan akan terarah kepada (b) sifat iman sejati, lalu dipraktekkan dalam (c) kehidupan kenegaraan. Negara sebagai perwakilan kekuasaan Allah di dunia dan wakil warganegara seharusnya dapat memberikan kesejahteraan umum. Dengan memberikan kebebasan beragama, maka warganegara akan merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan spiritualnya.
            Situasi konkret kebebasan beragama di Indonesia memang mengalami kemunduran karena banyak sekali terjadi pelanggaran kebebasan beragama. Namun semua pihak bertanggungjawab dalam menjaga kebebasan beragama. Kami yakin dengan duduk bersama dalam dialog antar agama, pemerintah, dan dengan hati yang terbuka dan rendah hati maka suasana kebebasan beragama akan tercipta. Sebagai warganegara Indonesia kita sepatutnya menanamkan sikap toleransi karena toleransi adalah sikap luhur yang dimiliki bangsa Indonesia.



Daftar Pustaka
Departemen Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2012. Dokumen Konsili Vatikan I Iterj. R. Hardawiryana, SJ . Jakarta: Penerbit Obor.

Departemen Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2007. Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan terj. Piet Go O.Carm. Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia.

Departemen Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2005. Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891- 1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus terj. R. Hardawiryana, SJ. Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara. 2007. Katekismus Gereja Katolik terj. Herman Embuiru, SVD. Ende: Penerbit Nusa Indah.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2007. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.

Magnis- Suseno, Franz. 1986. Etika Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Walker, D. F. 1994. Konkordansi Alkitab. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Majalah Mingguan Katolik Hidup, Minggu, 13 Januari 2013.



                      
 
;