Kamis, 29 Agustus 2013 0 komentar

Review Buku "The Catholic Way- Mgr. Ignatius Suharyo"

Gereja adalah Komunitas Pengharapan

Dari awal penciptaan, manusia menyadari atas kekuatan di luar dirinya yang melampaui kemampuannya dan mempengaruhi kehidupannya. Kesadran tersebut mengalami perkembangan berabad- abad sehingga manusia mencapai kesimpulan bahwa terdapat realitas tertinggi yang berkuasa atas segala sesuatu di dunia yang sering disebut sebagai Tuhan, Allah, God, Deus, Theos, dsb.
Agama pun terus berkembang melintasi dimensi ruang dan waktu beriringan dengan manusia. Agama saling bersentuhan dan berdialog dalam kehidupan sehari- hari manusia, persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, mulai dari masalah ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kesehatan, kejahatan, perang, hingga kesejahteraan. Agama pun hadir secara ‘merakyat’ melalui para pemuka agama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam masyarakat paternalistik, segala pencerahan dan arahan umat dewasa ini berasal dari para pemimpin agama.
Berangkat dari pemikiran tersebut buku The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita diterbitkan dan diharapkan menjadi arahan bagi umat Katolik untuk menjalani hidup masa kini berpijak pada pendapat, pandangan, sikap, dan pemikiran Gereja Katolik. Maka dipilihlah Mgr. Ignatius Suharyo yang pada masa tersebut menjabat sebagai Uskup di Keuskupan Agung Semarang. Beliau konsisten memberikan sumbangan pemikiran dan perhatian terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan.
Pada umumnya umat Katolik belum memahami secara mendalam mengenai keyakinan pada Allah Tritunggal, inti ajaran Gereja Katolik, Gereja dengan sifat- sifatnya, Kitab Suci, dosa, dan penghormatan terhadap Orang Kudus. Mgr. Suharyo menjelaskan bahwa segala pembicaraan mengenai imam akan mengandung ketidakjelasan. Banyak buku yang membahas Tritunggal Yang Mahakudus namun tidak pernah dijelaskan secara tuntas karena berhadapan dengan Tritunggal Yang Mahakudus berarti berhadapan dengan rahasia karya penyelamatan Allah. Sumber KS pun memberikan pernyataan mengenai pendamaian dunia melalui Kristus dan kasih- Nya dicurahkan dalam Roh Kudus. Pokok iman akan Allah Tritunggal Yang Mahakudus adalah Allah Bapa yang menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.
Bahwa ajaran Katolik- iman, kesusilaan, dan institusinya- merupakan buah dari pekembangan wahyu yang termuat dalam KS dalam bimbingan Roh Kudus berupa Tradisi dan Wewenang Mengajar Gereja (Magisterium). Lalu, sifat Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik bukanlah sifat yang sudah “jadi”. Namun, sifat- sifat Gereja inilah bersifat dinami, artinya diharpkan selalu berkembang menuju ksempurnaannya. Dosa dapat didefinisikan sebagai segala tindakan melawan Allah. Namun manusi atidak pernah putus asa karena dosa- dosanya karena yakin akan karya penyelamatan- Nya. Maka, dibutuhkan suatu pertobatan dalam diri manusia untuk memperoleh pengampunan dan pendamaian dari Alah melalui Sakramen Tobat.

Dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, KWI memberikan beberap aetika politik yaitu hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, dan tanggung jawab. Politik Katolik adalah perjuangan bagi kesejahteraan bersama, bonum commune. Itulah visi dasar yang harus dipegang teguh bagi setiap umat Katolik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan agama lain, sejak Konsili Vatikan II terlihat bahwa Gereja Katolik membuka diri sepenuhnya terhadap pluralisme dan multikulturalisme karena Gereja meyakini hanya dengan memberikan penghormatan satu sama lain maka kebaikan bersama akan dapat diwujudkan.
Dalam menyikapi globalisasi bagi kita orang Katolik, globalisasi itu bukan baik atau buruk. Melainkan apakah kinerja globalisasi mewujudkan kesejahteraan bersama atau tidak. Bila tidak maka kit aharus menemukan dengan cerdik apa yang menyebabkan malapetaka itu. Salah satu pesan Paus Yohanes Paulus II pada hari Perdamaian Sedunia tahun 1998, tepatnya 1 Januari 1998. Beliau menyampaikan pesan yang sangat kaya makna dan perlu ditafsirkan dan dijabarkan. Beliau mengatakan menolak globalisasi yang meminggirkan, tetapi ingin membangun globalisasi solidaritas. Globalisasi meminggirkan itu tidak dikehendaki oleh Gereja. Globalisasi solidaritas berlandaskan iman bahwa Allah itu Bapa semua orang, semua orang dicintai oleh Bapa dengan kasih yang sama. Karena Allahnya satu, Bapanysa satu, maka diharapkan semua orang menjadi saudara.
Pada bagian akhir, Mgr. Suharyo menjawab  suatu pertanyaan sikap apa yang diharapkan dari orang Kristiani, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga Gereja yang berhadapandengan kenyataan dunia dewasa ini.
Seharusnya seorang beriman tetap teguh dalam pengharapan Dengan landasan pengharapan ini, orang beriman, baik sendiri- sendiri maupun sebagai warga Gereja bisa melibatkan diri untuk terus berjuang membangun kehidupan yang lebih baik. Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme bisa dengan mudah hilang kalau perhitungan- perhitungan yang melandasi optimisme itu salah.Harapan tidak pernah akan hilang karenadilandaskan pada janji Allah sendiri, yaitu bahwa Ia yang telah memluai kaya yang baik ini akan menyelesaikannya juga (bdk. Flp 1:6). Dengan landasan itu, kita bisa bekerja keras tanpa putus asa.





0 komentar

Refleksi Misa Tahbisan Imam 2013

“ Melayani Dengan Gembira dan Tulus Hati ( Kis 2: 46)”
 (Sebuah Refleksi Mengikuti Tahbisan Imam)
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo, III/07
Misa pentahbisan selalu ditunggu oleh umat karena membuka harapan baru bagi umat mengenai para gembalanya. Bersama para umat yang terus menerus berdoa bagi panggilan calon imam, Allah menghadirkan rahmat- Nya sebagai wujud cinta kepada umat- Nya yaitu melalui upacara pentahbisan. Pada hari Kamis, 22/8, diadakan upaca pentahbisan 9 imam yang terdiri dari 8 imam diosesan dan satu imam tarekat CICM di Gereja St. Arnoldus Janssen, Bekasi. Kami, komunitas Seminari Menengah Wacana Bhakti, ikut ambil bagian dalam misa pentahbisan menjadi umat yang mendoakan.
Adapun para tertahbis mengambil tema “ Melayani Dengan Gembira dan Tulus Hati ( Kis 2: 46)”. Terdapat empat orang lulusan Wacana Bhakti diantara para tertahbis yaitu RD. Alberus Yogo Prasetianto, RD. Rafael Yohanes Kristianto, RD. Reynaldo Antoni Haryanto, dan RD. Yohanes Angga Sri Prasetyo. Terdapat tiga orang tahbisan yang pernah berkarya di Wacana Bhati yaitu RD. Antonius Yakin Ciptamulya, RD. Paulus Dwi Hardianto, dan RD. Antonius Prmanono Wahyu Nugroho. Misa tahbisan dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo, RD. Tunjung Kesuma- Rektor SeminariTinggi Yohanes Paulus II KAJ, RP. Kaitanus Saleky, CICM- Superior Distrik CICM Indonesia- Singapura, RD. Yohanes Subagyo- Vikaris Jendral  KAJ, RD. Hadi Sulistyo- Ketua UNIO KAJ, RP. Yakobus Rudiyanto, SJ- Pastor Dekenat Bekasi, dan RP. Anselmus Selvus, SVD- Pastor Kepala Paroki St. Arnoldus Janssen.
Selama perjalanan perasaan yang muncul adalah perasaan bingung karena saya baru saja pulang dari sekolah dengan penuh beban tugas dan ulangan dan besok akan menghadapi ulangan yang sulit. Perjalanan ke gereja menghabiskan waktu satu jam sehingga saat sampai di sana saya merasa agak capek dan letih. Di depan gereja saya bertemu dengan Br. Ignatius Ulrig, SJ.
Selama perayaan ekaristi saya agak terganggu dengan sound system dan lampu yang kurang bagus. Namun secara keseluruhan yang saya rasakan adalah haru, bangga, ada perasaan tertantang, dan bahagia. Mengapa haru? Karena dengan ditahbiskannya 9 imam saya merasakan Kasih Allah di tengah manusia dengan memanggil para pekerja- Nya. Bangga pastinya karena 4 imam tertahbis merupakan lulusan Seminari Menengah Wacana Bhakti. Ada perasaan tertantang untuk melanjutkan masa formatio di Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ dan apabila Allah berkenan ikut ditahbiskan. Saya merasa bahagia karena mendapatkan banyak dukungan untuk melanjutkan masa formatio di Diosesan KAJ dari RD. Vincentius Adi Prasojo, RD. Yustinus Kesaryanto,  RD. Yohanes Angga Sri Prasetyo, RD. Antonius Yakin Ciptamulya, dan RD. Antonius Prmanono Wahyu Nugroho.
Saya pun merasa senang dapat bertemu dengan teman orang tua saya yaitu RP. Ignatius Sudaryanto, CICM- mantan Rektor Skolastikat Tunas Verbist. Perjumpaan dengan beliau sungguh menyenangkan dan menguatkan karena beliaulah yang menjadi salah satu imam teladan saya. Beliau pun mendukung saya untuk menjadi imam diosesan walalu dulu dia berharap saya menjadi imam misionaris sepertinya.
Nilai yang saya dapatkan dari pengalaman ini adalah kesetiaan, kerendahan hati, kepasrahan, dan pengorbanan. Tanpa ada kesetiaan para tertahbis dan yang menahbiskan tidak akan menjadi pekerja- Nya karena panggilan imamat menuntut adanya kesetiaan yang mendalam karena harus mengarahkan hati secara utuh kepada Allah. Kerendahan hati harus dimiliki oleh para terpanggil karena selama masa formatio para terpanggil akan dipimpin dibawah para formator agar sampai kepada pembentukan panggilan yang murni. Mereka yang menjalankan masa formatio pun harus rendah hati karena di dalam kerendahan hati dapat mendengarkan kehendak Allah apakah ini memang jalan panggilannya atau bukan.
Kepasrahan, para terpanggil yang berpasrah kepada kehendak Allah pasti akan menjalankan masa formatio maupun masa pelayanannya dengan penuh suka cita. Pengorbanan, karena menjadi imam begitu banyak yang harus dikorbankan. Bayangan akan tahbisan ada di dalam pikiran saya dan saya merasa agak tidak pantas juga karena sebagai manusia saya begitu berdosa. Namun biarlah itu menjadi rahasia Ilahi. Kalau di kemudian hari saya ditahbiskan saya berkeinginan untuk ditahbsikan di Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang- yang merupakan paroki asal saya.
Saya merasakan kehadiran Allah melalui pengalaman pertemuan dengan para imam yang mendukung saya dalam panggilan. Saya merasakan pertemuan dengan Allah Yang Memanggil, dan Menguatkan. Makna keseluruhan pengalaman saya sebagai calon imam adalah semakin mendorong saya untuk melanjtukan masa formatio di seminari tinggi dan apabila Allah berkenan maka saya akan ditahbiskan. Sebagai calon imam saya ingin mengembangkan kemampuan saya dalam mempelajari dokumen Gereja, pelayanan kepada orang yang tersingkir dan menderita serta secara utuh memberikan diri saya kepada keuskupan.






0 komentar

Refleksi Perayaan HUT RI ke- 68 Seminari Wacana Bhakti

100 % Seminaris dan 100% Indonesia
(Sebuah Refleksi dalam Mengisi Kemerdekaan)
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo

Perayaan HUT Republik Indonesia ke- 68 dirayakan dengan penuh gegap gempita di seluruh pelosok tanah air. Tidak ketinggalan, para seminaris Wacana Bhakti pun mengisi perayaan HUT RI dengan mengadakan acara komunitas. Acara komunitas ini dikoordinasi oleh Ofisi Seminari. Acara 17- an ini dilaksanakan selama dua hari yaitu Jumat- Sabtu, 16/8- 17/8. Pada Jumat sore kami melaksanakan perlombaan dijiwai semangat kemerdekaan dengan diawali upacara pembukaan oleh Pras, Bidel Umum.
Lomba- lomba yang diadakan yaitu estafet sarung, joget balon, eatbulaga, panko mata, dan tarik tambang. Pada awal perlombaan pun kami dituntut untuk kreatif dengan mengirimkan de ville setiap angkatan dengan kostum dan gaya yang unik. Pada hari Sabtu kami menutup rangkaian acara dengan pesta makan malam komunitas.
Selama menjalani rangkaian perayaan HUT RI ini saya merasakan senang sekaligus haru. Mengapa saya dapat merasa senang karena selama menjalani rangkaian acara kami semua menjalankannya dengan penuh semangat yang membara, semangat berkompetisi, dan semangat melebur menjadi komunitas yang solid. Haru karena rasa nasionalisme yang selama ini tidak berkobar- kobar kembali berkobar apalagi setelah kembali mengenang jasa- jasa para pahlawan. Hal yang begitu mengharukan adalah saat kami bersama- sama menyanyikan lagu kebangsaan yaitu “ Indonesia Raya” setelah perayaan ekaristi pada hari Sabtu.
Sesuai dengan judul refleksi saya “100% Seminaris dan 100% Indonesia” ada beberapa nilai yang saya dapatkan yang berguna bagi kehidupan saya sebagai seminaris dan warga negara. Nilai cinta tanah air menjadi nilai yang sangat terasa dalam merayakan HUT RI ini. Cinta tanah air memang tidak mudah dijalani dalam kehidupan sehari- hari namun sangat penting bagi kita utnuk menanamkannya dalam diri. Kita harus cinta tanah air karena di sinilah kita mengukir sejarah hidup kita.
Kita harus membalas segala jasa para pahlawan yang telah membantu memerdekakan Indonesia karena tanpa mereka mungkin sampai sekarang kita masih menjadi bangsa yang terjajah.
Persatuan, melalui perlombaan- perlombaan yang ada saya memaknai tujuannya yaitu untuk mempersatukan semua orang. Semangat perstuan dalam perlombaan tersebut untuk menyadarkan kita bahwa dalam memerdekakan bangsa Indonesia tidak akan berhasil bila berusaha sendirian melainkan harus bersatu padu untuk merdeka. Setelah kita bersatu maka kita membutuhkan semangat untuk bekerja sama. Dalam bekerja sama dibutuhkan keselarasan dna kesatuan niat dan tujuan yang jelas seperti dalam permainan tarik tambang. Dengan bekerja sama maka permasalahan yang besar dapat ditangani bersama.
Apabila dikaitkan dengan 4 pilar seminari, dalam menjalaninya saya merasakan kedalaman dan penghayatan yang cukup baik. Saya pun semakin diingatkan mengenai nilai sejarah dan nilai moral yang didapatkan dari berbagai perlombaan. Perlombaan yang ada membantu kita untuk semakin sehat karena terdapat unsur olah raga. Dalam hidup berkomunitas kita pun dituntut untuk dapat bersatu, bekerja sama, dan berkreasi- berinovasi.
Selama merayakan HUT RI saya  diingatkan akan Penyelenggaran Allah dalam kemerdekaan Indonesia. Tanpa penyelenggaraan- Nya maka para pahlawan tidak akan berhasil memerdekakan bangsa ini. Karena berkat dan perlindungan Allah, para pahlawan dihindarkan dari mara bahaya dan semakin diarahkan kepada tujuan yang mulia yaitu bebas dari penjajahan. Saya merasa Indonesia yang dapat mencapai umur 68 tahun merupakan bentuk kasih dari Allah karena Indonesia terus diberi kesempatan untuk berkembang dan bertobat dari segala kelaliman dan ketidak adilan di seluruh Indonesia.
Ada dorongan bagi saya untuk terus mengisi kemerdekaan Indonesia dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Saya yakin dengan mencerdaskan bangsa Indonesia maka seluruh rakyat dapat merasakan kemerdekaan, kesejahteraan, dan keadilan. Sehingga tidak ada lagi orang- orang yang merasakan ketidak adilan.
Sebagai calon imam, makna keseluruhan dari kegiatan ini adalah bahwa kita disadarkan untuk juga berbakti terhadap negara dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai warga negara. Kegiatan ini memantapkan panggilan saya karena salah satu tugas imam adalah melayani agar semua manusia dapat merasakan kasih Allah dan memerdekakan dari segala bentuk penjajahan. Yang ingin saya kembangkan sebagai calon imam adalah semangat nasionalisme seperti Mgr. Soegija.






 
;