Jumat, 18 November 2011 0 komentar

Naskah Lomba Artikel Politik Kementerian Hukum dan HAM 2011


Bullying: Selubung yang Harus Disingkap
(Antara Pendidikan, Pemerintah dan Hak Asasi Manusia)
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo
Dilema Bullying dalam Pendidikan Indonesia
Akhir- akhir ini, bullying kerap kali terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Bullying dalam dunia pendidikan Indonesia tidak hanya dilakukan oleh sesama peserta didik, namun juga meluas sampai ke pemerintah. Kekerasan yang terjadi dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dan telah merenggut hak atas pendidikan. Peserta didik ditindas dan diintimidasi  dalam Masa Orientasasi Peserta Didik (MOPD) oleh senior dan kebiasaan turun- temurun yang tidak memiliki maksud memberikan wawasan tentang sekolah. Tawuran antar pelajar sekolah menengah yang akhir- akhir ini kembali hangat telah mencoreng dunia pendidikan.
Keputusan drop out (selanjutnya disingkat DO) maupun tidak naik kelas diputuskan oleh sekolah secara tidak adil. Dasar keputusan sekolah adalah peraturan bersama. Padahal, sekolah terkesan hanya  menjaga gengsi, eksistensi dan melindungi nama baik sekolah tanpa memerhatikan hak atas pendidikan siswa . Pelanggaran asusila yang dilakukan pendidik merusak martabat peserta didik yang telah dilecehkan. Dampak psikis yang ada membuat korban menjadi trauma, tidak mau pergi ke sekolah dan hilang hak atas pendidikannya.
Pemerintah pun ikut ambil peran melakukan bullying secara tidak langsung  dengan melakukan penyetaraan standar pendidikan nasional dengan melaksanakan Ujian Nasional (selanjutnya disingkat UN) dan kurikulum yang membebani peserta didik. Presentase kelulusan menurun karena penetapan UN sebagai syarat kelulusan. Terjadi manipulasi dan kecurangan dari pengambilan naskah soal sampai pemeriksaan. Peserta didik pun terbebani secara psikis dan jiwa karena harus mengejar target UN yang tidak merata. Pengetahuan tidak lagi bernilai penting melainkan mengejar nilai dalam ijazah, dan tak bisa dipungkiri apakah itu berasal dari intelektual atau kecurangan. Generasi penerus bangsa yang memiliki potensi tinggi dan berintelektual  memilih mengakhiri hidupnya karena dinyatakan tidak lulus UN. Kurikulum pun membebani peserta didik karena tidak lagi memanusiakan peserta didik. Bertitik-tolak dari problematika dan fenomena bullying dalam dunia pendidikan Indonesia inilah yang menunjukkan secara jelas kemana tulisan ini ingin berangkat.
Menelusuri Makna Bullying, Pendidikan, dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Bullying berasal dari kata bully, yang dalam bahasa Inggris kb. (j.- lies) penggertak, orang yang mengganggu orang lemah, -kkt (bullied) menggertak, mengganggu (Echols dan Hassan, 1992:87). Kata bullying sulit dicari padanan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, bullying dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk menyakiti orang lain yang dilakukan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah secara berulang- ulang, sehingga korban merasa tertekan.
Apabila kita berbicara mengenai pendidikan, kita  sadar bahwa pendidikan itu ada karena hak asasi manusia (HAM). Lalu, apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia? Dengan paham ini dimaksud hak- hak yang dimiliki manusia bukan karena pemberian oleh masyarakat, yang bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan martabatnya sebagai manusia.
Hak asasi manusia tidak dapat dinyatakan tidak berlaku bahkan dihilangkan oleh negara. Apabila tidak mengakui hak- hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, itu menunjukkan bahwa dalam negara tersebut martabat manusia belum diakui sepenuhnya. Maka dari itu, hak asasi manusia bersifat universal dan absolut.         Menurut sifat dan arahnya masing- masing, hak- hak asasi biasasnya dibagi dalam empat kelompok yang dapat dihubungkan dengan salah satu aliran ideologis.Empat kelompok itu ialah hak asasi negatif atau Liberal, hak asasi aktif atau Demokratis, hak asasi positif, dan hak asasi sosial. Hak asasi manusia dalam hubungannya dengan pelayanan negara sangat penting dihubungkan dengan hak asasi positif. Hak asasi positif (hak yang menuntut prestasi dan pelayanan negara) dapat ditampung dalam suatu kerangka yang mengoperasionalisasikan tuntutan- tuntutan martabat manusia dalam dua bentuk: sebagai  hak hukum atau sebagai kewajiban politik. Hak asasi atas pendidikan lantas berarti kewajiban (politik) negara untuk mengusahakan segala daya upaya untuk menjamin sarana yang memadai bagi segenap anggota masyarakat.
Pendidikan, menurut Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ dalam buku Karya Lengkap Driyarkara, secara filosofis adalah hidup bersama dalam kesatuan tri- tunggal bapak- ibu- anak, di mana terjadi pemanusiaan anak, dengan mana dia berproses untuk akhirnya memanusia sendiri sebagai purnawan. Pemanusiaan yang dimaksud adalah proses. Selain itu terdapat rumusan bahwa pendidikan berarti pemasukan anak ke dalam alam budaya, dan terjadinya pelaksanaan nilai. Pelaksanaan di sini adalah perjumpaan antara aktivitas pendidik dan aktivitas anak didik.
Hubungan Pendidikan dengan  Hak dan Kewajiban
Pendidikan memiliki model humanisasi dan dehumanisasi. Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata dari proses alienasi dan dominasi. Pendidikan ini menjalankan praktik- praktik yag digunakan orang untuk ‘menjinakkan’ kesadaran manusia, mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Sedangkan, dalam pendidikan yang humanis, ketika kita sudah menindaklanjuti rasa keingintahuan kita sebagai peneliti dan penyelidik, dan ketika sudah berhasil mengakses ilmu pengetahuan, kita otomatis mengetahui dengan pasti kapasitas kita untuk dapat mengenali atau menciptakan ilmu pengetahuan baru.
Seperti penjelasan bab sebelumnya, hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia karena martabat sebagai manusia. Hak atas pendidikan tercantum dan dijamin oleh dunia internasional dan diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Pasal 26 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan, Pendidikan dasar harus bersifat wajib dan menjadi tanggung jawab negara. Pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan diri sehingga terjamin kebebasannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Pendidikan menjadi sarana manusia untuk berekpresi dan mengungkapkan pendapat. Hak asasi tidak dapat berdiri sendiri maka hak atas pendidikan dapat ditunjang oleh Pasal I dan 2 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan tanpa adanya diskriminasi.
Pendidikan pada sekolah lanjutan ialah membantu manusia muda dalam menyelami dunianya dan dengan demikian membantu dalam menjadi manusia. Dalil X, naskah Capita Selecta Filsafat Pendidikan, oleh Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ menjelaskan bahwa manusia muda itu manusia yang masih harus menjadi manusia. Maka pertumbuhan yang berlangsung harus dibimbing agar memenuhi aspek kesusilaan sehingga disebut mendidik. Memang, sudah menjadi hak dan kewajiban bapak- ibu untuk mendidik, namun orang tua berhak mempercayakan pendidikan terhadap negara, dan negara menanggapi dengan pelaksanaan pendidikan dengan struktur yang jelas.
Bullying, Kekerasan yang Nyata dan Terselubung dalam Pendidikan Indonesia
Bullying dalam pelaksanaannya mempunyai motivasi yang kuat. Kekerasan dilakukan untuk mengintimidasi hak yang dimiliki korban bahkan melecehkan martabat korban sebagai manusia. Praktek bullying dalam dunia pendidikan Indonesia mencakup hal yang  luas. Mencakup hal yang luas diartikan bahwa bullying dilakukan dalam berbagai segi, pelaku yang beragam, dan dampak yang luas walau intinya merenggut hak atas pendidikan.
Pemerintah sebagai badan atau lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat turut melakukan bullying dengan berbagai kebijakannya. Pelaksanaan UN dimaksudkan pemerintah untuk pemerataan standar pendidikan dalam skala nasional. Pemerataan standar pendidikan yang dimaksud digunakan untuk mencari perbandingan dengan negara lain dari segi ‘nilai eksak’ bukan dari nilai pengetahuan yang dapat diambil. Dalam UN dapat terjadi pemutarbalikan fakta, siswa yang baik secara akademik dapat tidak lulus sedangkan siswa yang kurang dalam akademik dapat lulus dengan mudah. Ketidaklulusan menyebabkan peniadaan hak atas pendidikan siswa. Ketidaklulusan membayang- banyangi masa depan pendidikan siswa,  begitu juga dalam persiapan UN, sekolah menekan siswa- siswi untuk mencapai target materi maupun kelulusan.
Kurikulum yang ditetapkan pemerintah membebani peserta didik dan proses pembangunan pengetahuan tidak berjalan. Inilah yang dimaksud mengintimidasi hak atas pendidikan yaitu, peserta didik tidak dapat mengembangkan pengetahuannya. Pengadaan buku ajar baik di sekolah negeri maupun swasta menjadi salah satu aspek penting dalam pengajaran yang mendukung pendidikan. Harga yang ditetapkan seharusnya murah namun tetap berkualitas tinggi.
Bullying juga dilakukan oleh sekolah, sebagai pihak pengontrol sosial peserta didik. Keputusan drop out maupun tinggal kelas yang dijatuhkan sekolah dapat dilihat kurang adil karena hak seorang siswa dikurangi. Paradigma yang melekat bagi siswa DO maupun tinggal kelas adalah siswa yang bodoh, nakal, dan memalukan. Sanksi negatif inilah yang menjadi beban psikis siswa DO dan membuatnya stress, trauma bahkan tidak mau melanjutkan sekolah. Bila disimak ke belakang banyak terjadi kasus DO karena tawuran antar pelajar.
Tawuran yang terjadi di DKI Jakarta ini dilihat oleh sekolah sebagai aib, merusak gengsi, integritas, dan citra. Memang benar, sebagai siswa harus menjaga nama baik instansi pendidikan tempat dia menuntut ilmu. Namun, sekolah seharusnya lebih bijak dalam memberikan keputusan. Tawuran terjadi karena doktrinisasi senior dan juga berangkat dari solidaritas sebagai sesama siswa. Tawuran dapat terjadi karena pemalakan maupun perampasan siswa sekolah lain yang mungkin bila ditelusuri berasal dari faktor keluarga tidak harmonis, ekonomi,dan lingkungan sosial. Bila sekolah men- drop out siswanya maka konflik tidak akan pernah selesai. Seharusnya sekolah memberikan pendidikan sosial dengan menanamkan moral dan pendidikan kewarganegaraan yang baik dan fungsi bimbingan konseling sekolah dijalankan dengan baik.
Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Pada akhir bab ini, saya ingin memberikan opini bagi pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia harus melakukan refleksi. Refleksi dilakukan dengan melihat ke masa lalu pendidikan di Indonesia, refleksi tidak hanya melihat ke masa lalu namun refleksi yang baik adalah dapat memberikan buah- buah perubahan yang lebih baik di kemudian hari. Buah refleksi itu diwujudkan dalam perbuatan konkret. Semua aspek pendidikan yaitu, pemerintah sebagai pengatur kehidupan negara, sekolah sebagai instansi yang dipercaya oleh orang tua dalam mendidik anaknya, dan juga peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang dididik untuk berkembang. Bila semua aspek berefleksi maka tidak akan ada bullying dalam sistem pendidikan  Indonesia, dan pendidikan akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan pendidikan sendiri yaitu memanusiakan manusia.





Daftar Pustaka

Magnis- Suseno, Franz. (1986). Etika Poltik. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Freire, Paulo. (1999). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyantono. REäD (Research, Education and Dialogue) bekerja sama dengan Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Nickel, James W. (1996). Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terj. Titis Eddy Arini. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia. (2011). Perlakuan Bullying dan Konsep Diri (on- line) http://repository.upi.edu/operator/upload/s_psi_0606087_chapter2.pdf. (diunduh 16 November 2011).

Sudiarjo, A, dkk. (2006). Karya Lengkap Driyarkara: Esai- Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT Gramedia Pustaka Utama atas kerja sama: PT Kompas Media Nusantara, Penerbit- Percetakan Kanisius, Ordo Sarikat Jesus Provinsi Indonesia: Jakarta.







      
Jumat, 04 November 2011 0 komentar

Gonzaga Education Fair 2011


Gonzaga Education Fair 2011

Demi memberikan yang terbaik bagi pendidikan Indonesia, SMA Kolese Gonzaga, Jakarta mengadakan Gonzaga Education Fair 2011, pada hari Sabtu- Minggu, 29/10- 30/ 10.

Pembukaan Gonzaga Education Fair 2011 diadakan di Sport Hall. Kata sambutan dibawakan oleh Bp. R. Himawan Santanu, selaku Ketua Panitia Gonzaga Education Fair 2011, Pastor Leonardus E. B. Winandoko, SJ, M. Ed, Direktur SMA Kolese Gonzaga dan Drs. H. Suharyanto, M. M, Kepala Sudin Jakarta Selatan. Siswa- siswi Kolese Gonzaga mengisi acara pembukaan Gonzaga Education Fair 2011 dengan menampilkan tari- tarian tradisional sebagai penyambutan, musikalisasi puisi. Seminaris dari Seminari Wacana Bhakti pun berpartisipasi dengan menampilkan drama musikal bertajuk kepemimpinan dan kebudayaan denganjudul “ Cerdas dan Kurdas ( Kurang Cerdas) Season II”.

Pameran pendidikan ini dihadiri oleh perguruan tinggi negeri ( PTN), perguruan tinggi swasta, institusi pendidikan dan ordo religious. Perwakilan dari perguruan- perguruan tinggi tersebut menempati stan- stan di setiap ruang kelas. Para siswa- siswi beserta orang tua mengunjungi setiap stan untuk mencari informasi selengkap- lengkapnya yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Para siswa- siswi pun dapat melakukan simulasi TOEFL dan SAT utnuk perguruan tinggi.

Pengunjung juga ramai melihat stan dari Sarekat Jesus ( SJ), Ordo Saxerian ( SX), DIosesan Keuskupan Agung Jakarta, Ordo Frater Minorum ( OFM), Suster- Suster St. Carolus Borromeus ( CB), dan Frater Konggregasi SMM.

Diharapkan pameran pendidikan ini menjadi pelopor bagi sekolah lain dalam mengembangkan pemimpin masa depan yang lebih baik sesuai dengan tema Gonzaga Education Fair 2011 yaitu “ Preparing The Future Leaders”.

Carolus Budhi Prasetyo

 
;