Rabu, 06 Juni 2012 0 komentar

Agama- Agama Abrahamik yang Bertanggung Jawab : Mampukah Bersinergi Secara Positif Bagi Perdamaian Dunia?


Agama- Agama Abrahamik yang Bertanggung Jawab :
Mampukah Bersinergi Secara Positif Bagi Perdamaian Dunia?
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo
Pengantar
            Dapatkah agama- agama dunia memberi nilai positif bagi perdamaian dunia dan mengakhiri konflik yang terjadi di seluruh belahan dunia? Mungkin dengan tanpa berpikir panjang, spontanitas, enteng, dan normative seperti  berikut: “Kenapa tidak? Bukankah semua agama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih?”  Namun pandangan tersebut tidak akan  spontan, enteng, dan normative apabila konflik yang dimaksud adalah konflik yangterjadi di Maluku, Poso, Palestina atau di berbagai belahan bumi lainnya. Siapakah yang dapat mendamaikan dunia ini? Kemanakah Allah akan berpihak di saat seluruh agama menyatakan perang untuk dan atas nama Allah.
            Pada esei yang memiliki tema: Agama dan Perdamaian Dunia ini saya akan membahas agama Abhramik yang merupakan tiga agama monoteisme terbesar di dunia. Agama Abrahamik adalah agama- agama yangberasal dari keturunan Abraham dan merupakan agama wahyu Allah. Agama Abrahamik yang dimaksud adalah Yahudi, Kristianitas, dan Islam. Realita yang ada Kristianitas dan Islam yang memiliki penganut terbanyak di dunia yang tersebar di semua benua walau pada nyatanya iman mereka (penganut pasif dan cenderung mengarah pada sekuler) wajib dipertanyakan. Namun diam- diam Yahudi pun kembali membangun agamanya dengan sekitar 600 juta penganut Yahudi.
            Apabila melihat keadaan di Indonesia banyak sekali terror- terror yang mengancam agama dan menyatakan perang kepada agama tersebut dan menyatakan berperang atas nama Allah. Banyak sekali ancaman yang ditebarkan oleh kelompok- kelompok yang ekstrimis dan radikalisme. Terkadang di dalam internal agama tersebut mereka saling menyerang dan menyatakan agama di luar agamanya murtad, kafir, dan tidak akan diselamatkan Allah. Padahal di antara ketiga agama monoteisme tersebut sama- sama mempunyai klaim yang kuat mengenai Penyelamatan Allah.
            Tak jarang para kelompok garis keras dan ekstrem dalam melakukan tindakannya menyatakan berdasarkan Kitab Suci. Kitab Suci tidak diyakini sebagai sumber kebenaran lagi melainkan sumber pembenaran.


Sejarah yang Buruk
            Agama- agama Yahudi, Kristianitas dan Islam – sebagai tiga agama yang merujuk kepada iman monetistik agama Abraham dari dahulu telah memiliki sejarah kebersamaan yang buruk. Apabila kita mau menerima kenyataan yang pahit yaitu sejarah awal yang buruk tersebut maka kita dapat saling menghargai dan menghormati semua agama Abrahamik. Kristen dan Islam yang dari awal telah memiliki sikap missioner yang tinggi sedangkan Yahudi sudah tidak missioner lagi setelah zaman  raja Romawi Titus.
Agama Yahudi
            Agama yahudi sejak tercerai- berai mampu bertahan dan menunjukan identitasnya. Mereka yang tersebar di beberapa negara sekuler Eropa tetap menunjukan Yahudi. Walau dewasa ini mereka tidak banyak menimbulkan konflik dan mustahil mereka nekat melakukan apalagi sebagai agama  minoritas. Namun sejarah buruk dengan Islam terutama Palestina 3.000 tahun yang lalu banyak sekali teks- teks dan kitab- kitab menceriterakan peristiwa berdarah akan perebutan Palestina.
            Sekarang ini, bangsa Israel (Yahudi) yang memiliki permasalahan dengan Palestina didasari oleh trauma shoa- yaitu persepsi yang datang mengenai adanya ancaman dari dunia Arab atas eksistensi Israel. Karen ahal tersebut Israel tidak hanya bertindak keras namun tidak dapat menerima realitas politik.
Kristianitas
            Antara Kristen dan Yahudi  pada 1000 tahun  pertama tidak mengalami permasalahan yang berarti hanya saja sempat beberapa kali terjadi permusuhan orang Yahudi terhadap jemaat Kristen Perdana. Setelah terjadi perang salib Yahudi hanya terusir dan terdiskriminasi. Yahudi pun menyingkir ke Polandia dan Uni Sovyet ( Rusia). Pada abad ke- 18 memang praktek diskriminasi menghilang namun langsung digantikan oleh diskriminasi yang lebih jahat yaitu rasisme. Praktek rasisme yang paling terlihat adalah sikap anti- semitisme: suatu sikap yang menganggap ras Yahudi adalah sebuah ras yang paling rendah dan jahat sehingga menyebabkan berbagai permasalahan di masyarakat.  Puncak anti- semitisme adalah shoa: usaha sistematis rezim Nazi, Jerman untuk meniadakan ( memusnahkan) semua orang Yahudi. Dari 13 juta orang Yahudi di dunia, Nazi berhasil memusnahkan 6 juta orang- yang berlangsung selama 3 tahun (1942- 1945).
            Namun Kristianitas merasa melakukan kesalahan yang besar yaitu tidak melakukan protes yang berarti bagi tindakan tersebut karena Nazi juga menganggap bahwa Yahudi adalah ras pembunuh Tuhan, Yesus Kristus. Usaha rekonsiliasi terjadi pada Konsili Vatikan II (1965) menegaskan bahwa bangsa Yahudi bukanlah ras pembunuh Tuhan namun menyebutkan sebagai “saudara- saudara tua”. Maka dari itu di teologi Kristen menyebutkan bahwa semua manusia- sebagai makhluk yang berdosa adalah pembunuh Allah.
            Sedangkan antara Kristianitas dengan Islam mengalami sejarah yang buruk dan sampai sekarang masih diusahakan penyelesaian  dari kedua belah pihak. Reconqista yang dilakukan untuk mengusir dan meniadakan Islam dari Portugal dan Spanyol telah meluputkan peran Islam yang telah membangun kebudayaan yang tinggi dan toleran. Perang salib telah menciptakan persepsi yang buruk bagi kedua belah pihak . Situasi diperburuk  dengan  persepsi mengenai bahaya Turki dan serangan Sarazen ( Sarazen adalah kaum yang disebut terbuang oleh Sarah, isteri Abraham, atau keturunan Hagar). Konsili Vatikan II ( Nostra Aetate, 1965) kepicikan teologis yaitu menjelek- jelekan Islam  karena dianggap masih muncul agama Abrahamik yang besar diatasi sebagai dasar dialog teologi yang positif dan konstruktif.
Islam
Antara Islam dan Yahudi hanya mengalami gesekan pada zaman Piagam Madina yaitu tiga suku Yahudi di Madina dilenyapkan. Lalu dewasa ini sejak 1948 yaitu pengakuan eksistensi Israel sebagai negara  di wilayah Palestina dan sejuta penduduk Arab diusir dari tanah airnya. Hal itu berimbas pada Perang Tujuh Hari pada 1967.  Yang menjadi dasar permasalahan antara Islam dan Kristianitas adalah trauma atas Perang Salib yang terjadi pada abad ke- 11 sampai dengan abad ke- 13. Invansi dan kolonialisme yang dilakukan Napoleon ke Mesir pada abad ke- 17 juga menjadi sumber permasalahan konflik.
Perang Salib telah menimbulkan  luka yang tidak mudah dilupakan oleh tiga agama tersebut baik Yahudi, Kristianitas, dan Islam. Sampai hari ini permasalahan Palestina yang belum terselesaikan masih menjadi polemic di antara ketiga agama tersebut. Namun apabila orang dengan lapang dada mampu menerima dan mengakui sejarah hitam tersebut maka terpenuhilah syarat perdamaian. Memang penyelesaian masalah tersbut tidak cukup hanya menyangkut teologis dan historis namun dari sisi politis maka permasalahan akan diselesaikan dengan efektif.


Sikap Rendah Hati
Sebagai umat beriman seharusnya kita sadar bahwa kita berada di bawah Allah, maka sebagai konsekuensinya kita harus dapat bersikap rendah hati. Memang ketiga agama tersebut memiliki perbedaan mendasar mengenai bagaimana Allah menuntun, namun harus disadari bahwa ketiga agama tersebut memiliki persamaan fondasi keyakinan iman, yaitu iman akan Allah, yaitu bahwa (a) kita percaya akan Allah Yang Maha Esa yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya; (b) secara personal memperhatikan, mencintai ciptaanya; (c) menuntut tanggung jawab pribadi kita kepada kehendak- Nya; (d) dan akhirnya akan mengadili kita pada akhir zaman dan telah menyediakan tempat abadi bagi kita masing- masing sesudah kehidupan ini.
            Dengan sikap rendah hati maka kita dapat menghargai keyakinan dan agama orang lain. Rendah hati dan respek terhadap agama orang lain bukan berarti kita meyakini atau mengikuti agama tersebut. Sikap rendah hati dan toleran tersebut telah menjadi ciri agama Abrahamik. Namun sampai hari ini memang kita sulit untuk melaksanakannya dan cenderung melanggarnya karena kepicikan kita sebagai manusia. Sebagai konsekuensinya sikap tersebut tidak hanya dilakukan bagi ketiga agama Abrahamik tapi kita harus rendahhati dan toleran terhadap agama dan keyakinan lain seperti Shinto, Buddhisme, Kong Hu Chu, Sikh, dan lain- lain. Kita juga tidak boleh membeda- bedakan agama dengan sebutan “agama- agama langit” dan “agama- agama bumi”.
Kitab Suci dan Klaim Kebenaran
            Manusia hidup di dunia menuju suatu keselamatan. Manusia pun mencari tuntunan untuk mencapai keselamatan tersebut yang juga kita kenal sebagai hidayah. Sumber hidayah tersebut adalah Kitab Suci yang ada dalam ketiga agama Abrahamik maupun agama lainnya. Namun dewasa ini kekerasan yang dilakukan kelompok radikal dan ekstrimis menjadikan Kitab Suci sebagai sumber pembenaran  dan bukan sebagai proses mencari kebenaran.
Kelemahan manusia dalam mencari kebenaran adalah mencampurkan pandangan pribadinya, subyektifitas, tentang Allah dan tentang keselamatan Allah yang dirujuk pada teks- teks tertentu yang diasumsikan dengan pengetahuan mereka yang terbatas. Seperti dalam Al- Quran yang berisi ayat- ayat yang merujuk pada keselamatan Allah namun Allah juga menunjukkan keselamatan kepada bangsa- bangsa lain yang tercatat dalam kitab- kitab yang tertulis dalam berbagai bahasa ( Ibrani, Aram, Arab dan Yunani).
            Dimana ada monopoli klaim kebenaran maka menyebabkan terjadinya konflik. Konflik muncul karena menganggap pandangannya yang paling benar dan pandangan yang lain itu salah dan sesat. Seperti halnya saat Yesus hadir di dunia dan mengajarkan hukum cinta kasih dan melakukan mukjizat- mukjizat, Ia harus berhadapan dengan lembaga keagamaan yang sudah ada dan mapan seperti agama Yahudi. Islam pun yang merupakan agama wahyu yang terakhir pun harus menghadapi klaim- klaim kebenaran yang ada pada kelompok- kelompok agama Kristen dan Yahudi. Namun yang lebih baik dilakukan adalah para pemimpin agama Abrahamik duduk bersama dalam dialog membicarakan monopoli klaim kebenaran tersebut agar tidak menimbulkan konfik di antara kehidupan umat beragama.Klaim- klaim seperti khatamul anbiya wal mursalin pada dasarnya boleh- bolehsaja, tetapi klaim ini tidak berarti meniadakan yang lain.
            Argumentasi dasar untuk menerima dan merawat kemajemukan serta membangun perdamaian antarsesama manusia adalah perintah Al- Quran sendiri: “wa lau la daf’ull ahin-nasa ba’dahum bi ba’dil lahiddimat sawami’u wa biya’uw wa salawatuw wa masajidu yuzkara fihasmullahi kasira.” (Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah) (QS Al- Hajj 22:40) dan “Wa lau syallahu laj’alakum umataw wahidataw wa lakil li yabluwakum fi ma atakum fastabiqulkhariat”= sekiranya Allah mengehndaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al- Ma’idah [5]:48). Sesungguhnya perdamaian antarumat manusia akan langgeng apabila semua umat manusia, terlepas dari apa agama, suku dan kebudayaan, berlomba- lomba untuk melakukan kebaikan, menumbuhkan perilaku yang baik dan positif, mengembangkan kebenaran sebagai wujud memperkokoh akidah ketuhanan, menurut Prof. Dr. K. H. Said Aqiel Siradj, MA, Ketua Tanfidziyah PBNU.
            Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi dan semangat perdamaian, secara pastoral dikupas panjang lebar dalam Gaudium et Spes (GS) pada bab 5, no. 77-82 dengan sub judul “Usaha demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-Bangsa”. Latar belakang perumusan pastoral adalah tanda-tanda zaman bahwa dunia dilanda kesengsaraan dan kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk maupun karena ancaman perang yang selalu gampang terjadi di mana pun dan kapan pun (GS 77).Karenanya, teologi Katolik secara fundamental sangat menjunjung tinggi semangat perdamaian.
Dialog, Jalan Perdamaian Agama Abrahamik
            Untuk menyikapi berbagai perbedaan yang ada maka tindakan yang harus kita lakukan adalahmembuka dialog satu sama lain. Namun dialog yang dimaksudkan di sini tidak tentang aqidah masing- masing. Kita berdialog sambil tetap mengakui bahwa dalam hal aqidah setiap agama memiliki perbedaan- perbedaan yang bersifat hakiki.
            Sebuah dialog yang bermakna, tulus dan memperkaya semua pihak yang terlibat di dalam dialog, mengandaikan adanya suatu bentuk kedekatan, keterbukaan, saling percaya dan saling menghargai satu sama lain- terutama menghargai perbedaan yang ada- serta adanya kesiapan untuk mau berbagi. Sehingga terciptalah suasana pluralisme yang ideal.
            Namun dialog yang lebih luas harus didahului dengan dialog internal dalam agama, sehingga para hardliners dan the confronted dapat diajak bersama- sama untuk menentukan sikap yang terbuka. Adanya keteladanan dari tokoh pun tidak dapat dihilangkan karena keberanian merekalah maka para penganut akan meneladani. Seperti Almarhum Paus Yohanes Paulus II yang sangat dsegani dan dihormati oleh pemimpin umat antar agama. Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Raja Awab Saudi, juga memberikan contoh yang baikyang mengadakan dialog antar agama bahkan dapat mengundang Islam Syiah dan Sunni.Dialog yang bijaksana dan dewasa adalah dialog yang yang sepakat utnuk menolak segala bentuk kekerasan dalam agama baik mengatasnamakan suatu agama maupun menyerang agama lainnya.
Tanggapan dan Refleksi Pribadi atas Perdamaian Dunia
Memang tidak mudah untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Konflik internal dalam agama tersebut bahkan isu- isu penyerangan terhadap suatu agama yang dianggap sesat sering menjadi kendala dalam perdamaian di dunia bahkan di Indonesia.  Dibutuhkan kerendahan hati dalam hidup beranekaragam dalam keyakinan dan iman. Untuk menghentikan konflik antar agama yang berhubungan dengan perdamaian, setiap pemimpin agama harus duduk bersama dalam dialog dan saling memiliki iklim saling percaya. Konsekuensinya adalah (a) setiap umat harus memiliki tekad untuk arif dalam mendengarkan pandangan setiap agama; (b) harus memiliki tekad untuk beradab dan membicarakan secara kekeluargaan;dan (c) setiap umat dan pemimpinnya harus memiliki tekad uuntuk bersikap toleran karena toleransi adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Semua agama harus berjaga- jaga atas ancaman dari dalam yaitu adanya kelompok ekstrim- radikal dan ancaman tidak saling percaya. Dengan adanya perdamaian maka semua agama dapat menjadi rahmatan il alamin- berkat untuk semua orang.
Kepustakaan:
B. Bawolo, Robert. 2010. Menggugat Tanggung Jawab Agama- Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


 
;