Dalam rangka merayakan ulang tahun yang ke- 26,
Seminari Wacana Bhakti dan SMA Kolese Gonzaga mengadakan Gonzaga Day 2013,
Minggu, 3/11, di Sport Hall SMA Kolese Gonzaga, Pejaten Barat.
Gonzaga Day tahun ini merupakan acara yang diadakan
pertama kali dalam rangka ulang tahun Seminari Wacana Bhakti- SMA Kolese
Gonzaga selain rangkaian acara Lustrum. Gonzaga Day 2013 mengambil tema “Kebangsaan”.
Acara ini diawali dengan misa konselebrasi yang
dipimpin oleh selebran utama RP. Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ, Rektor
Seminari Wacana Bhakti, dan para konselebran yaitu RP. Leonardus E. B.
Winandoko, SJ, Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga, RP. Antonius Vico, SJ,
Moderator SMA Kolese Gonzaga, RP. Heru Hendarto, SJ, Kepala Sekolah SMA Kolese Kanisius,
Menteng, RD. Charles Agustino C. J, Pamong Umum Seminari SWB, RD. A. Ary
Dianto, Pamong ad extra SWB, dan RP.
Adrian Adiredjo, OP, alumnus Seminari Wacana Bhakti- SMA Kolese Gonzaga.
Dalam homilinya, RP. Sarjumunarsa, SJ, menyampaikan
agar para seminaris maupun para murid dapat menjadi pemimpin masa depan yang
cerdas, jujur, rendah hati, dan kreatif. Sebelum berkat penutup, panitia
memberikan penghargaan terhadap para guru maupun karyawan yang telah
mengabdikan diri pada Yayasan Wacana Bhakti selama 25 tahun, 15 tahun dan 10
tahun.
Setelah misa syukur, para tamu yang hadir diajak
untuk menyaksikan pentas drama kolaborasi yang terdiri dari pertunjukkan drama,
tarian, permainan angkulung, permainan gitar, paduan suara, dan diiringi oleh
orkestra Seminari Wacana Bhakti, Wacana Bhakti Symphony Orchestra (WBSO). Drama
tersebut mengisahkan seorang kakek, veteran perang kemerdekaan RI, yang terus
hidup sampai zaman sekarang. Perjuangan, dan penghargaan atas makna kemerdekaan
yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan merupakan nilai- nilai yang ingin
disampaikan Ireneus Mario, sutradara sekaligus siswa SMA Kolese Gonzaga, dalam
drama ini.
Akhirnya, rangkaian acara Gonzaga Day 2013 diakhiri
dengan menyanyikan lagu Mars Seminari Wacana Bhakti dan SMA Kolese Gonzaga.
“ Sungguh acara yang menarik, namun sebagai
seminaris saya merasa wujud syukur atas berdirinya seminari ini kurang
mendapatkan apresiasi“, tutur Henrikus Prasojo, Bidel Umum Seminari Wacana
Bhakti, saat diwawancarai setelah acara Gonzaga Day 2013 usai.
Carolus Budhi
Prasetyo
Kamis, 29 Agustus 2013
Review,
Seminari
0
komentar
Review Buku "The Catholic Way- Mgr. Ignatius Suharyo"
Gereja
adalah Komunitas Pengharapan
Dari
awal penciptaan, manusia menyadari atas kekuatan di luar dirinya yang melampaui
kemampuannya dan mempengaruhi kehidupannya. Kesadran tersebut mengalami
perkembangan berabad- abad sehingga manusia mencapai kesimpulan bahwa terdapat
realitas tertinggi yang berkuasa atas segala sesuatu di dunia yang sering
disebut sebagai Tuhan, Allah, God, Deus, Theos, dsb.
Agama
pun terus berkembang melintasi dimensi ruang dan waktu beriringan dengan
manusia. Agama saling bersentuhan dan berdialog dalam kehidupan sehari- hari
manusia, persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, mulai dari masalah ekonomi,
sosial, lingkungan hidup, kesehatan, kejahatan, perang, hingga kesejahteraan.
Agama pun hadir secara ‘merakyat’ melalui para pemuka agama. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa dalam masyarakat paternalistik, segala pencerahan dan arahan
umat dewasa ini berasal dari para pemimpin agama.
Berangkat
dari pemikiran tersebut buku The Catholic
Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita diterbitkan dan diharapkan menjadi
arahan bagi umat Katolik untuk menjalani hidup masa kini berpijak pada
pendapat, pandangan, sikap, dan pemikiran Gereja Katolik. Maka dipilihlah Mgr.
Ignatius Suharyo yang pada masa tersebut menjabat sebagai Uskup di Keuskupan
Agung Semarang. Beliau konsisten memberikan sumbangan pemikiran dan perhatian
terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan.
Pada
umumnya umat Katolik belum memahami secara mendalam mengenai keyakinan pada
Allah Tritunggal, inti ajaran Gereja Katolik, Gereja dengan sifat- sifatnya,
Kitab Suci, dosa, dan penghormatan terhadap Orang Kudus. Mgr. Suharyo
menjelaskan bahwa segala pembicaraan mengenai imam akan mengandung
ketidakjelasan. Banyak buku yang membahas Tritunggal Yang Mahakudus namun tidak
pernah dijelaskan secara tuntas karena berhadapan dengan Tritunggal Yang
Mahakudus berarti berhadapan dengan rahasia karya penyelamatan Allah. Sumber KS
pun memberikan pernyataan mengenai pendamaian dunia melalui Kristus dan kasih-
Nya dicurahkan dalam Roh Kudus. Pokok iman akan Allah Tritunggal Yang Mahakudus
adalah Allah Bapa yang menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.
Bahwa
ajaran Katolik- iman, kesusilaan, dan institusinya- merupakan buah dari
pekembangan wahyu yang termuat dalam KS dalam bimbingan Roh Kudus berupa
Tradisi dan Wewenang Mengajar Gereja (Magisterium).
Lalu, sifat Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik bukanlah sifat yang
sudah “jadi”. Namun, sifat- sifat Gereja inilah bersifat dinami, artinya
diharpkan selalu berkembang menuju ksempurnaannya. Dosa dapat didefinisikan
sebagai segala tindakan melawan Allah. Namun manusi atidak pernah putus asa
karena dosa- dosanya karena yakin akan karya penyelamatan- Nya. Maka,
dibutuhkan suatu pertobatan dalam diri manusia untuk memperoleh pengampunan dan
pendamaian dari Alah melalui Sakramen Tobat.
Dalam
hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, KWI memberikan beberap
aetika politik yaitu hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan,
solidaritas, subsidiaritas, fairness,
demokrasi, dan tanggung jawab. Politik Katolik adalah perjuangan bagi
kesejahteraan bersama, bonum commune.
Itulah visi dasar yang harus dipegang teguh bagi setiap umat Katolik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan agama lain, sejak
Konsili Vatikan II terlihat bahwa Gereja Katolik membuka diri sepenuhnya
terhadap pluralisme dan multikulturalisme karena Gereja meyakini hanya dengan
memberikan penghormatan satu sama lain maka kebaikan bersama akan dapat
diwujudkan.
Dalam
menyikapi globalisasi bagi kita orang Katolik, globalisasi itu bukan baik atau
buruk. Melainkan apakah kinerja globalisasi mewujudkan kesejahteraan bersama
atau tidak. Bila tidak maka kit aharus menemukan dengan cerdik apa yang
menyebabkan malapetaka itu. Salah satu pesan Paus Yohanes Paulus II pada hari
Perdamaian Sedunia tahun 1998, tepatnya 1 Januari 1998. Beliau menyampaikan
pesan yang sangat kaya makna dan perlu ditafsirkan dan dijabarkan. Beliau
mengatakan menolak globalisasi yang meminggirkan, tetapi ingin membangun
globalisasi solidaritas. Globalisasi meminggirkan itu tidak dikehendaki oleh
Gereja. Globalisasi solidaritas berlandaskan iman bahwa Allah itu Bapa semua
orang, semua orang dicintai oleh Bapa dengan kasih yang sama. Karena Allahnya
satu, Bapanysa satu, maka diharapkan semua orang menjadi saudara.
Pada
bagian akhir, Mgr. Suharyo menjawab suatu
pertanyaan sikap apa yang diharapkan dari
orang Kristiani, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga Gereja yang berhadapandengan
kenyataan dunia dewasa ini.
Seharusnya
seorang beriman tetap teguh dalam pengharapan Dengan landasan pengharapan ini,
orang beriman, baik sendiri- sendiri maupun sebagai warga Gereja bisa
melibatkan diri untuk terus berjuang membangun kehidupan yang lebih baik.
Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme bisa dengan mudah hilang kalau
perhitungan- perhitungan yang melandasi optimisme itu salah.Harapan tidak
pernah akan hilang karenadilandaskan pada janji Allah sendiri, yaitu bahwa Ia
yang telah memluai kaya yang baik ini akan menyelesaikannya juga (bdk. Flp
1:6). Dengan landasan itu, kita bisa bekerja keras tanpa putus asa.
“
Melayani Dengan Gembira dan Tulus Hati ( Kis 2: 46)”
(Sebuah Refleksi Mengikuti Tahbisan Imam)
Oleh:
Carolus Budhi Prasetyo, III/07
Misa pentahbisan selalu
ditunggu oleh umat karena membuka harapan baru bagi umat mengenai para
gembalanya. Bersama para umat yang terus menerus berdoa bagi panggilan calon
imam, Allah menghadirkan rahmat- Nya sebagai wujud cinta kepada umat- Nya yaitu
melalui upacara pentahbisan. Pada hari Kamis, 22/8, diadakan upaca pentahbisan
9 imam yang terdiri dari 8 imam diosesan dan satu imam tarekat CICM di Gereja
St. Arnoldus Janssen, Bekasi. Kami, komunitas Seminari Menengah Wacana Bhakti,
ikut ambil bagian dalam misa pentahbisan menjadi umat yang mendoakan.
Adapun para tertahbis
mengambil tema “ Melayani Dengan Gembira dan Tulus Hati ( Kis 2: 46)”. Terdapat
empat orang lulusan Wacana Bhakti diantara para tertahbis yaitu RD. Alberus
Yogo Prasetianto, RD. Rafael Yohanes Kristianto, RD. Reynaldo Antoni Haryanto,
dan RD. Yohanes Angga Sri Prasetyo. Terdapat tiga orang tahbisan yang pernah
berkarya di Wacana Bhati yaitu RD. Antonius Yakin Ciptamulya, RD. Paulus Dwi
Hardianto, dan RD. Antonius Prmanono Wahyu Nugroho. Misa tahbisan dipimpin oleh
Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo, RD. Tunjung Kesuma- Rektor SeminariTinggi
Yohanes Paulus II KAJ, RP. Kaitanus Saleky, CICM- Superior Distrik CICM
Indonesia- Singapura, RD. Yohanes Subagyo- Vikaris Jendral KAJ, RD. Hadi Sulistyo- Ketua UNIO KAJ, RP. Yakobus
Rudiyanto, SJ- Pastor Dekenat Bekasi, dan RP. Anselmus Selvus, SVD- Pastor
Kepala Paroki St. Arnoldus Janssen.
Selama perjalanan perasaan yang muncul
adalah perasaan bingung karena saya baru saja pulang dari sekolah dengan penuh
beban tugas dan ulangan dan besok akan menghadapi ulangan yang sulit.
Perjalanan ke gereja menghabiskan waktu satu jam sehingga saat sampai di sana
saya merasa agak capek dan letih. Di depan gereja saya bertemu dengan Br.
Ignatius Ulrig, SJ.
Selama perayaan ekaristi saya agak
terganggu dengan sound system dan lampu yang kurang bagus. Namun secara
keseluruhan yang saya rasakan adalah haru, bangga, ada perasaan tertantang, dan
bahagia. Mengapa haru? Karena dengan ditahbiskannya 9 imam saya merasakan Kasih
Allah di tengah manusia dengan memanggil para pekerja- Nya. Bangga pastinya
karena 4 imam tertahbis merupakan lulusan Seminari Menengah Wacana Bhakti. Ada
perasaan tertantang untuk melanjutkan masa formatio di Seminari Tinggi Yohanes
Paulus II KAJ dan apabila Allah berkenan ikut ditahbiskan. Saya merasa bahagia
karena mendapatkan banyak dukungan untuk melanjutkan masa formatio di Diosesan
KAJ dari RD. Vincentius Adi Prasojo, RD. Yustinus Kesaryanto, RD. Yohanes Angga Sri Prasetyo, RD.
Antonius Yakin Ciptamulya,
dan RD. Antonius Prmanono Wahyu
Nugroho.
Saya pun merasa senang dapat bertemu
dengan teman orang tua saya yaitu RP. Ignatius Sudaryanto, CICM- mantan Rektor
Skolastikat Tunas Verbist. Perjumpaan dengan beliau sungguh menyenangkan dan
menguatkan karena beliaulah yang menjadi salah satu imam teladan saya. Beliau
pun mendukung saya untuk menjadi imam diosesan walalu dulu dia berharap saya
menjadi imam misionaris sepertinya.
Nilai yang saya dapatkan dari pengalaman
ini adalah kesetiaan, kerendahan hati, kepasrahan, dan pengorbanan. Tanpa ada
kesetiaan para tertahbis dan yang menahbiskan tidak akan menjadi pekerja- Nya
karena panggilan imamat menuntut adanya kesetiaan yang mendalam karena harus
mengarahkan hati secara utuh kepada Allah. Kerendahan hati harus dimiliki oleh
para terpanggil karena selama masa formatio para terpanggil akan dipimpin
dibawah para formator agar sampai kepada pembentukan panggilan yang murni.
Mereka yang menjalankan masa formatio pun harus rendah hati karena di dalam
kerendahan hati dapat mendengarkan kehendak Allah apakah ini memang jalan
panggilannya atau bukan.
Kepasrahan, para terpanggil yang
berpasrah kepada kehendak Allah pasti akan menjalankan masa formatio maupun
masa pelayanannya dengan penuh suka cita. Pengorbanan, karena menjadi imam
begitu banyak yang harus dikorbankan. Bayangan akan tahbisan ada di dalam
pikiran saya dan saya merasa agak tidak pantas juga karena sebagai manusia saya
begitu berdosa. Namun biarlah itu menjadi rahasia Ilahi. Kalau di kemudian hari
saya ditahbiskan saya berkeinginan untuk ditahbsikan di Gereja Hati Santa
Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang- yang merupakan paroki asal saya.
Saya merasakan kehadiran Allah melalui
pengalaman pertemuan dengan para imam yang mendukung saya dalam panggilan. Saya
merasakan pertemuan dengan Allah Yang Memanggil, dan Menguatkan. Makna
keseluruhan pengalaman saya sebagai calon imam adalah semakin mendorong saya
untuk melanjtukan masa formatio di seminari tinggi dan apabila Allah berkenan
maka saya akan ditahbiskan. Sebagai calon imam saya ingin mengembangkan kemampuan
saya dalam mempelajari dokumen Gereja, pelayanan kepada orang yang tersingkir
dan menderita serta secara utuh memberikan diri saya kepada keuskupan.
100 % Seminaris dan 100% Indonesia
(Sebuah Refleksi dalam Mengisi Kemerdekaan)
Oleh: Carolus
Budhi Prasetyo
Perayaan HUT Republik Indonesia ke- 68
dirayakan dengan penuh gegap gempita di seluruh pelosok tanah air. Tidak
ketinggalan, para seminaris Wacana Bhakti pun mengisi perayaan HUT RI dengan
mengadakan acara komunitas. Acara komunitas ini dikoordinasi oleh Ofisi
Seminari. Acara 17- an ini
dilaksanakan selama dua hari yaitu Jumat- Sabtu, 16/8- 17/8. Pada Jumat sore
kami melaksanakan perlombaan dijiwai semangat kemerdekaan dengan diawali
upacara pembukaan oleh Pras, Bidel Umum.
Lomba- lomba yang diadakan yaitu estafet
sarung, joget balon, eatbulaga, panko mata, dan tarik tambang. Pada awal
perlombaan pun kami dituntut untuk kreatif dengan mengirimkan de ville setiap angkatan dengan kostum
dan gaya yang unik. Pada hari Sabtu kami menutup rangkaian acara dengan pesta
makan malam komunitas.
Selama menjalani rangkaian perayaan HUT
RI ini saya merasakan senang sekaligus haru. Mengapa saya dapat merasa senang
karena selama menjalani rangkaian acara kami semua menjalankannya dengan penuh
semangat yang membara, semangat berkompetisi, dan semangat melebur menjadi
komunitas yang solid. Haru karena rasa nasionalisme yang selama ini tidak
berkobar- kobar kembali berkobar apalagi setelah kembali mengenang jasa- jasa
para pahlawan. Hal yang begitu mengharukan adalah saat kami bersama- sama
menyanyikan lagu kebangsaan yaitu “ Indonesia Raya” setelah perayaan ekaristi
pada hari Sabtu.
Sesuai dengan judul refleksi saya “100%
Seminaris dan 100% Indonesia” ada beberapa nilai yang saya dapatkan yang
berguna bagi kehidupan saya sebagai seminaris dan warga negara. Nilai cinta
tanah air menjadi nilai yang sangat terasa dalam merayakan HUT RI ini. Cinta
tanah air memang tidak mudah dijalani dalam kehidupan sehari- hari namun sangat
penting bagi kita utnuk menanamkannya dalam diri. Kita harus cinta tanah air
karena di sinilah kita mengukir sejarah hidup kita.
Kita harus membalas segala jasa para
pahlawan yang telah membantu memerdekakan Indonesia karena tanpa mereka mungkin
sampai sekarang kita masih menjadi bangsa yang terjajah.
Persatuan, melalui perlombaan-
perlombaan yang ada saya memaknai tujuannya yaitu untuk mempersatukan semua
orang. Semangat perstuan dalam perlombaan tersebut untuk menyadarkan kita bahwa
dalam memerdekakan bangsa Indonesia tidak akan berhasil bila berusaha sendirian
melainkan harus bersatu padu untuk merdeka. Setelah kita bersatu maka kita
membutuhkan semangat untuk bekerja sama. Dalam bekerja sama dibutuhkan
keselarasan dna kesatuan niat dan tujuan yang jelas seperti dalam permainan
tarik tambang. Dengan bekerja sama maka permasalahan yang besar dapat ditangani
bersama.
Apabila dikaitkan dengan 4 pilar
seminari, dalam menjalaninya saya merasakan kedalaman dan penghayatan yang
cukup baik. Saya pun semakin diingatkan mengenai nilai sejarah dan nilai moral
yang didapatkan dari berbagai perlombaan. Perlombaan yang ada membantu kita
untuk semakin sehat karena terdapat unsur olah raga. Dalam hidup berkomunitas
kita pun dituntut untuk dapat bersatu, bekerja sama, dan berkreasi- berinovasi.
Selama merayakan HUT RI saya diingatkan akan Penyelenggaran Allah dalam
kemerdekaan Indonesia. Tanpa penyelenggaraan- Nya maka para pahlawan tidak akan
berhasil memerdekakan bangsa ini. Karena berkat dan perlindungan Allah, para
pahlawan dihindarkan dari mara bahaya dan semakin diarahkan kepada tujuan yang
mulia yaitu bebas dari penjajahan. Saya merasa Indonesia yang dapat mencapai
umur 68 tahun merupakan bentuk kasih dari Allah karena Indonesia terus diberi
kesempatan untuk berkembang dan bertobat dari segala kelaliman dan ketidak adilan
di seluruh Indonesia.
Ada dorongan bagi saya untuk terus
mengisi kemerdekaan Indonesia dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Saya yakin
dengan mencerdaskan bangsa Indonesia maka seluruh rakyat dapat merasakan
kemerdekaan, kesejahteraan, dan keadilan. Sehingga tidak ada lagi orang- orang
yang merasakan ketidak adilan.
Sebagai calon imam, makna keseluruhan
dari kegiatan ini adalah bahwa kita disadarkan untuk juga berbakti terhadap
negara dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai warga negara.
Kegiatan ini memantapkan panggilan saya karena salah satu tugas imam adalah
melayani agar semua manusia dapat merasakan kasih Allah dan memerdekakan dari
segala bentuk penjajahan. Yang ingin saya kembangkan sebagai calon imam adalah
semangat nasionalisme seperti Mgr. Soegija.
Pagi
yang cerah pada hari Minggu, 9/6, telah membakar semangat 900- an misdinar
untuk mengikuti perlombaan misdinar Keuskupan Agung Jakarta di Seminari
Menengah Wacana Bhakti, Jakarta.
Lomba
misdinar tersebut dikemas dalam John Paul II Cup 2013. Lomba ini merupakan
lomba yang pertama kali diadakan bagi para misdinar se-KAJ atas kerjasama
dengan Seminari Tinggi Yohanes Paulus II, Seminari Menengah Wacana Bhakti, dan
UNIO KAJ. JPII Cup ini diketuai oleh Fr. Diakon Angga Sri Prasetyo. JPII Cup 2013
mengambil tema “ Menjadi Imam Siapa Takut?”. Frater Pius Novrin dan Frater
Andreas Subekti memandu acara ini. Para misdinar dengan tingkat umur SD s.d.
SMP yang terlibat berasal dari 27 paroki di KAJ.
Setelah
ice-breaking dan
pengenalan theme song JPII
Cup, RP. Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ dan Fr. Diakon Angga Sri Prasetyo memberikan
sambutan lalu perlombaan dimulai. John Paul II Cup memiliki 7 jenis lomba yaitu
Free Throw, Free Kick, Cooking Adventure,
Misdinar Pintar, Mo’cil (Romo Cilik), Tata Gerak Liturgi, dan MMB ( Misdinar
Mencari Bakat). Tujuan John Paul II Cup
menjadi ajang kreatifitas dan persahabatan antar misdinar se-KAJ dan
mengenalkan panggilan hidup menjadi imam.
Setelah
perlombaan selesai dilaksanakan, para misdinar berkumpul di Aula Seminari
Wacana Bhakti untuk mengikuti talk show
bersama RD. Bambang Wiryo, RD. Charles Agustino, dan RD. Yustinus Ardianto. Talk Show membicarakan mengenai misdinar
yang baik dan pengalaman terpanggil menjadi imam oleh para narasumber.
John
Paul II Cup ditutup dengan misa akbar yang dipimpin oleh Mgr. Ignatius Suharyo
bersama para imam paroki, seminari
tinggi, seminari menengah, dan Komisi
KAJ.
Sebelum
berkat penutup diadakan penyerahan piala dan medali bagi para pemenang. Misdinar dari Paroki Bunda Teresa, Cikarang
keluar sebagai Juara Umum I dan
berhak membawa Piala Bergilir John Paul II Cup.
RP. Thomas
Salimun Sarjumunarsa, SJ sedang memberikan sambutan dalam John Paul II Cup 2013
di Aula Seminari WB.
Panitia sedang
memberikan pengarahan free kick di
lapangan mini soccer seminari.
Talk show dalam
John Paul II Cup 2013 di Aula Seminari WB (ki- ka: RD. Bambang Wiryo, RD.
Charles Agustino, Aris (seminaris), RD. Yustinus Ardianto).
Tim MMB
(Misdinar Mencari Bakat) dari Paroki Santo Matias, Kosambi.
Carolus Budhi Prasetyo.
Belajar Arti
Hidup dari Sebuah Kederhanaan Pedesaan
(Refleksi Live- in 2013 di Baturetno, Wonogiri)
Kehidupan remaja di Jakarta semakin individualis dan
tidak memiliki kepekaan dengan sesamanya. Setiap kolese menanamkan nilai compassion yang merupakan perwujudan
nilai- nilai untuk mengasah kepekaan para murid. Sebagai wujud menjalankan
nilai compassion, Kolese Gonzaga
mengadakan kegiatan live- in bagi
para murid kelas 11 setiap tahunnya. Oleh sebab itu, para murid Kolese Gonzaga
angkatan XXV mengikuti kegiatan live- in
di Baturetno, Wonogiri, Minggu s.d. Jumat, 10/3- 15/3- 2013.
Para
murid dibagi ke dalam 5 lingkungan yaitu Ngawu, Boto, Kedung Ombo, Sendangrejo,
dan Duren. Para seminaris Wacana Bhakti angkatan XXIV pada tahun ini mengikuti live- in menempati lingkungan Duren.
Lingkungan Duren yang ditempati para seminaris pun dibagi menjadi Dusun
Pringjowo dan Dusun Duren Kidul.
Para
penduduk Desa Duren bermatapencaharian sebagai petani sawah tadah hujan, buruh,
wiraswasta, dan guru. Namun yang pekerjaan yang paling dominan adalah petani.
Mayoritas penduduk telah berumur di atas 50 tahunan dengan anak- anaknya yang
merantau ke kota- kota besar setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA. Adapun
para penduduk tersebut merawat pula cucu- cucu mereka. Sebagian besar mereka
yang menitipkan anak- anak mereka kepada orang tuanya bekerja sebagai buruh
maupun guru di daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Serang, maupun kota- kota
besar lainnya di Jawa Tengah.
Setelah
mengikuti briefing dari guru pendamping, saya dan teman- teman seminaris
diberangkatkan menuju desa Duren. Selama perjalanan pun saya merasa deg- degan
karena ini adalah kali pertamanya saya menjalankan live- in. Saya takut kalau keluarga angkat saya nantinya adalah
keluarga yang mapan dan saya tidak akan mendapatkan nilai- nilai kerja keras
seperti yang didengung- dengungkan banyak orang selama ini. Terlebih saya
mendengar banyak cerita dari kakak kelas saya. Walau berbeda dengan live- in yang dialami angkatan XXII
Wacana Bhakti, namun saya masih merasa tertantang untuk menjalankan live- in.
Saat
teman saya, Donmas, turun untuk pertama kalinya saya merasa terkejut karena
begitu cepat kami akan dipisahkan. Lalu saat mobil yang mengantar kami kembali
berhetni ternyata saya dan Endjiang harus berpisah dengan teman- teman yang
lain. Dengan diantarkan oleh Pak Katijo, kami pun sampai ke rumah Bp. Paulus
Tumino. Kami pun bertemu dengan Bu Sutini, isteri Bp. Paulus Tumino. Awal kegiatan
live- in pun dimulai.
Bapak
Tumino, 58, adalah pensiunan PT. KAI dan memiliki isteri yaitu Bu Sutini, 49,
yang berprofesi sebagai petani. Beliau memiliki 2 anak yaitu Mas Ary, 30, yang
sekarang bekerja di Solo sebagai pegawai PT. KAI dan Mbak Purwati, 23, yang
bekerja di Bogor sebagai karyawan konveksi. Sejenak saya pun merasa senang
karena mendapatkan sambutan yang hangat dari keluarga. Keluarga ini sangat
ramah sekali dengan kami bahkan cenderung memanjakan kami. Situasi ekonomi
keluarga dapat dibilang mampu dan keluarga ini cukup terpandang.
Bapak
Tumino pun mengisi hari tuanya dengan bertani dan berladang. Ia rutin pergi ke
sawah pada pukul 06.00 dan baru pulang pukul 16.00. Selama live- in pun saya dan Endjiang tidak diperbolehkan untuk ikut
bekerja di sawah dan lading padahal kami sudah sangat antusias untuk terlibat
dalam kegiatan bertani. Setelah saya refleksikan, ternyata alasan Bapak Tumino
tidak memperbolehkan kami karena beliau telah memperkerjakan orang lain untuk
menggarap lahannya yang baru saja panen.
Secara
lebih lanjut saya dan Endjiang pun membantu keluarga dengan mengoprek jagung
dan memberi pakan ternak. Kami pun berusaha untuk terlibat dalam masyarakat.
Kami berkunjung ke Dusun Duren Kidul untuk mengetahui masyarakat luas dan
berniat membantu masyarakat.
Dusun
Duren Kidul dan Dusun Pringjowo terpisahkan jarak sejauh 500 meter dan saya
setiap hari menempuhnya untuk sekedar melihat masyarakat, membantu teman, dan
pergi ke Kapel Santa Maria. Selama kami live-
in, kami pun mengikuti kegiatan lingkungan yaitu Novena Santo Yusuf.
Kegiatan ini dilakukan di Kapel Santa Maria pada pukul 19.30 dan dibawakan
dalam bahasa Jawa. Terbayang seberapa jauhnya utnuk menempuh perjalanan ke
kapel dengan medan yang cukup jelek karena jalanan berbatu dan tidak terdapat
penerangan yang memadai.
Saya
pun tidak terkendala dengan makanan karena makanan di sana lebih enak daripada
di seminari. Namun, yang cukup saya kagumi adalah suasana kekeluargaan yang
sangat dalam dan budaya toleransi yang baik. Hasil panenan dibagi- bagikan kepada
keluarga lain yang membutuhkan baik itu padi, jagung, maupun sayur- mayor.
Tidak ada harapan balas jasa karena semua saling mensyukuri dan mau saling
berbagi .
Bagaimana
dengan nilai- nilai yang saya dapatkan selama live- in? Setelah
merefleksikan lebih dalam pengalaman yang telah saya alami. Saya pun mengambil
nilai perjuangan. Penduduk pedesaan dari sebuah kesederhanaannya dapat
mengambil suatu sikap yang tulus yaitu perjuangan.
Perjuangan
yang saya maksud bukanlah perjuangan karena haknya dirampas orang lain. Perjuangan
yang dimiliki oleh penduduk desa merupakan wujud imannya. Karena saya melihat
dengan perjuangan yang dilakukan oleh penduduk desa, mereka dapat lebih
menghargai dan mensyukuri berkat dari Gusti Allah dan mengimaninya bahwa setiap
pemberiaan dari Allah adalah tanggung jawab dan bukan beban. Penduduk desa
berusaha untuk merawat sawahnyadan terus berbagi dengan sesamanya.
Penduduk
desa pun berjuang untuk menyirami iman mereka dengan mengiktui kegiatan
peribadatan maupun Ekaristi walau menempuh jarak 500 meter lebih. Dapat dilihat
penduduk desa mau berjuang demi kehidupan religious mereka. Padahal jarak yang
ditempuh tidak diimbangi dengan jalan yang mulus dan penerangan yang memadai.
Saya pun melihat buah dari perjuangan mereka bahwa mereka semakin dikuatkan
dalam iman dan tindakan mereka sehari – hari. Perjuang tersebut membuahkan
nilai keramahan, kejujuran, kerja keras, toleransi, dan kekeluargaan.
Sebagai
siswa kolese saya pun dapat menilai makna compassion
yaitu bagaimana seorang pribadi manusia menghayati hidupnya sehari- hari dengan
penuh ketulusan hati dan kerja keras yang diimbangi dengan kepedulian dengan
sesama dan lingkungan sekitar.
Hal
ini sangat baik untuk saya petik karena hal ini dapat memperkaya iman saya dan
menguatkan saya kelak untuk menjadi imam nanti, bahwa dalam hidup mengikuti
Yesus selalu saja ada perjuangan untuk mencapai kebahagiaan dengan memuji,
menghormati, dan mengabdi kepada Allah Tuhan kita.
Kebebasan Beragama: Hak
Universal yang Harus Diperjuangkan
(Antara
Manusia, Negara, dan Gereja Katolik)
Dilema Kebebasan
Beragama di Indonesia
Manusia tidak dapat lepas dari Sang
Pencipta. Oleh
karena itu, banyak manusia yang memeluk agama atau kepercayaan untuk semakin
mendekatkan diri kepada Ilahi. Negara
pun diharapkan dapat memberikan kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Hal ini dikarenakan
kebebasan beragama adalah hak universal bagi setiap insan manusia.
Indonesia yang telah memasuki usia 67 tahun
ternyata masih dilanda dilema kebebasan beragama. Konstitusi
Internasional maupun Undang- Undang Dasar 1945 telah memberikan dasar hukum
bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia. Kenyataan berkata lain,
konstitusi tidak dapat melindungi warga Negara yang memeluk agama tertentu dari
kekerasan yang terjadi. Agama- agama berbeda namun, tetap
membawa pesan perdamaian dan wahyu dari Allah tidak lagi dipandang
sebagai keberagaman yang patut dijaga melainkan dimanfaatkan oleh golongan-
golongan tertentu sebagai lawan yang seharusnya dimusnahkan.
Padahal, sikap- sikap dan tindakan-
tindakan keagamaan lahiriah seperti mengungkapkan pengakuan iman menurut
agamanya, ikut dalam ritus dan ibadat tertentu, menjalankan kewajiban-
kewajiban lahiriah agamanya, secara masuk akal dan wajar diterima sebagai
pengakuan imannya. Tanpa iman semua
sikap dan tindakan kepercayaan itu tidak bernilai sama sekali.
Pertanyaan mendasar yang dimiliki
setiap manusia dewasa ini yaitu: Apakah
makna kebebasan dewasa ini? Apakah kebebasan beragama itu? Bagaimana Gereja
Katolik memandang kebebasan beragama menurut Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja
(selanjutnya disingkat ASG), Katekismus Gereja Katolik, dan Dokumen Konsili
Vatikan II? Masih
relevankah kebebasan Beragama
tersebut dengan situasi hidup keagamaan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, Tanah Air tercinta ini.
Bertitik- tolak dari problematika dan pertanyaan mendasar terhadap
kebebasan beragama inilah yang menunjukkan secara jelas kemana tulisan ini
berangkat.
Menelusuri
Makna Kebebasan
Kebebasan
menjadi dasar bagi setiap tindakan manusia untuk mengurus diri sendiri lepas
dari paksaan. Menurut
kami, kebebasan berarti keadaan yang lepas dari paksaan dan manusia dapat
mengurus dirinya tanpa ada pembatasan yang merugikan haknya. Menurut Georg Wilhelm
Friedrich Hegel dalam filsafat hukumnya, hukum secara hakiki melindungi
kebebasan mereka yang ada di bawahnya.
Apa
yang menjadi inti universal nilai kebebasan itu? Dalam buku Etika Politik, Pater
Franz Magnis- Suseno, SJ menjelaskan
inti universal nilai kebebasan yaitu hak setiap orang dan kelompok untuk
mengurus diri sendiri lepas dari paksaan.
Bagi
kami makna kebebasan yang dipapar- jabarkan oleh Pater Franz Magnis- Suseno, SJ
merupakan hak asasi universal manusia di segala zaman dan dalam segala
kebudayaan. Maksudnya,
sejak manusia dilahirkan ke dunia maka manusia memiliki kebebasan sebagai hak
universalnya tanpa melihat zaman dan kebudayaan yang dianutnya. Dengan perkecualian
manusia tersebut
menolak, dengan kemungkinan adanya paksaan maupun kekuatan di luar dirinya
mengancam yang mencampuri. Namun,
loyalitas kepada kelompok kita atau karena tuntutan hukum atau adat- istiadat
yang mencampuri otonomi kita yang tidak kita akui itulah yang selalu tidak
wajar. Hukum
justru diadakan untuk melindungi kebebasan kita ini.
Gereja
telah hadir di tengah dunia sejak jemaat perdana yang dihimpun Yesus dan para
rasul- Nya pun mendukung adanya kebebasan manusia. Sebagai umat beriman,
kita tahu bahwa Allah telah
menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi
kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak diri
sendiri dan menguasai segala perbuatannya (Katekismus Gereja Katolik no.
1730).“ Allah bermaksud ‘menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri’ (Sir
15:14), supaya ia (manusia) dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan
mengabdi kepada- Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang
membahagiakan” ( Gaudium et Spes 17).
Dengan penjelasan tersebut kita
dapat memahami bahwa dari awal manusia diciptakan, Allah telah memberikan
kebebasan dan tanpa paksaan agar manusia mampu mencari Penciptanya dan secara
tulus mengabdi demi mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan manusia
tersebut.
Berdasarkan
dasar biblis tersebut maka Katekismus Gereja Katolik pun memberikan arti
kebebasan yaitu kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk
bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari
dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar (Katekismus Gereja Katolik no.
1731).Kebebasan berlaku dalam hubungan antar manusia tanpa terkecuali. Secara
kodrati, manusia memiliki hak untuk diakui sebagai makhluk yang bebas dan
bertanggungjawab, karena ia telah diciptakan menurut citra Allah (Katekismus
Gereja Katolik no. 1738). Maka, antara martabat manusia dan hak untuk melaksanakan
kebebasan diikat secara tidak terpisahkan dalam masalah kesusilaan dan agama
(menurut Konsili Vatikan II, Dignitas
Humanae art. 2). Hak ini harus diakui oleh
hukum Negara, dan dilindungi dalam batas- batas kepentingan bersama dan tata
tertib umum (menurut Konsili Vatikan II, Dignitas
Humanae art. 7).
Memahami
Makna Kebebasan Beragama
Manusia
sebagai ciptaan Allah dianugerahi akal budi dan suara hati.Secara singkat,
suara hati merupakan suara dalam setiap diri manusia yang mengarahkan manusia
kepada kebaikan. Suara hati pun akan memperingatkan apabila tindakan yang akan
kita lakukan itu salah. Manusia memiliki kebebasan suara hati, yang berarti
manusia bebas mencari dan memilih kebenaran berdasarkan suara hatinya. Setiap
manusia wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan
Gereja- Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan
mengamalkannya.
Kebebasan
beragama secara mudah dipahami sebagai suatu hak yang dimiliki setiap manusia
untuk menentukan agama yang dianutnya, terlepas dari paksaan apapun dalam
menjalankan praktik- praktik keagamaannya, baik dalam menunjukkan imannya, terlibat
dalam tradisi, dan melaksanakan ibadah . Dalam menjalankan kebebasan beragama
dijamin dan dijaga oleh para warganegara, kelompok- kelompok sosial,
pemerintah- pemerintah, Gereja dan jemaat- jemaat keagamaan lainnya.
Kebebasan beragama termuat langsung
dalam kebebasan suara hati. Sebagai makhluk yang berakal budi manusia tidak
dihormati dalam martabatnya apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu sebagai
benar yang dianggapnya tidak benar atau untuk tidak mengakui sesuatu yang
disadarinya sebagai benar. Percaya secara sesungguhnya merupakan sikap hati
yang mengandaikan kesadaran bahwa yang dipercayai itu ada, nyata dan pantas
untuk dipercayai.
Menurut
Pater Franz Magnis- Suseno, SJ, kebebasan beragama mengatakan bahwa setiap
orang berhak untuk menentukan sendiri apakah dan bagaimanakah ia beragama atau
tidak, untuk hidup sesuai dengan keyakinan keagamaannya sendiri, untuk mengamalkan
dan mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain yang ingin menerima komunikasi
itu, untuk meninggalkan agamanya yang lama dan memeluk agama baru yang
diyakininya, untuk tidak didiskriminasikan karena agama atau keyakinannya.
Dalam
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh
didasarkan pada martabat manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang
diwahyukan dengan akal budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus
diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi hak sipil.
Kebebasan Beragama dan Gereja Katolik
Dalam
hidup manusia dianugerahi suara hati yang mengarahkan kepada kebenaran. Adapun
kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia
serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui
pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Manusia menangkap dan
mengakui ketentuan- ketentuan hukum Ilahi melalui suara hatinya. Ia wajib
mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh kegiatannya, untuk mencapai
tujuannya, yakni Allah.
Manusia yang
memiliki kodrat sosial manusia menuntut supaya ia mengungkapkan tindakan-
tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama
dalam hal keagamaan, dan menyatakan agamanya
secara bersama- sama.
Menurut
Ensiklik Paus Yohanes XXIII, Pacem In
Terris (Perdamaian Dunia) art. 14, mengenai usaha mencapai perdamaian
semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan, manusia memiliki
hak untuk dapat beribadat kepada Allah mengikuti dorongan yang tepat
suarahatinya sendiri, dan mengakui agamanya secara privatmaupun di muka umum.
Laktansius
jelas mengajarkan: “Inilah persyaratan kelahiran kita sendiri, bahwa kepada
Allah yang menciptakan kita, kita lambungkan hormat- pujian yang layak bagi-
Nya, bahwa Ia kita akui sebagai Allah yang Esa, dan kita patuhi. Dari ikatan
ketakwaaan yang mengikat kita dan menambat kita pada Allah itulah dijabarkan
istilah ‘religio’” (agama).
Setelah mempelajari dokumen- dokumen
ajaran Gereja Katolik, kami pun mendapatkan tiga alasan pokok kebebasan
beragama:
·
Kodrat manusia:
Manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak bebas dan oleh
karenanya mempunyai tanggung jawab pribadi yang tidak dapat dipindahkan kepada
orang lain.
Maksudnya,
manusia tidak dapat menolak kewajiban- kewajiban yang telah diberikan Allah
karena kita memiliki akal budi dan berkehendak bebas. Manusia pun dituntut agar
mencari kebenaran sejati yaitu Allah sendiri dengan menggunakan akal budi dan
kehendak bebas. Seperti yang telah dipapar- jabarkan sebelumnya, suara hati
manusia akan menuntun manusia untuk mencari kebenaran sejati, memahami dan
mengamalkannya.
·
Sifat iman sejati:
Iman sejati bukanlah sekedar sikap menerima beberapa ajaran, tidak pula
terbatas pada upacara- upacara ibadah dan tidak cukup hanya melaksanakan
perintah- perintah Tuhan secara lahiriahatau legalistis tanpa menyetujuinya
dalam batin.
Yesus
sendiri menghendaki umat manusia agar menunjukkan imannya dalam perbuatan
sehari- hari ( Yak 2:17). Kita tidak dapat melihat secara kasat mata iman
seseorang, manusia menunjukkan imannya secara lahiriah. Namun bukanlah
perbuatan lahiriah saja yang dilihat sebagai perwujudan iman, namun bagaimana
kita melakukan perbuatan tersebut, apakah didasari bahwa perbuatan menunjukkan
kualitas sebagai ciptaan Allah yang memenuhi kodrat manusia. Biarlah suara hati
kita menuntun kita dan menyetujuinya dalam batin.
·
Di dalam bidang
kenegaraan: Negara didirikan untuk memenuhi kesejahteraan seluruh rakyat.
Tampak jelas
bahwa pemerintah maupun negara didirikan atas amanat dan kedaulatan rakyat agar
pemerintah tersebut mencerminkan suara dan kehendak rakyat yang mengarah kepada
kesejahteraan rakyat. Di dalam praktek hidup kenegaraan, masyarakat akan merasa
bahagia dan sejahtera apabila tidak mendapatkan paksaan yang mengekang dirinya.
Sebenarnya hukum diadakan bukan untuk mengekang kebebasan melainkan untuk
membatasi, melindungi, dan menjamin kebebasan itu sendiri. Hukum yang diberikan
oleh negara bukanlah hukum yang memaksa dan mendorong warganegara untuk
menganut agama tertentu melainkan untuk menjamin dan melindungi kebebasan warga
negara untuk melakukan praktek keagamaan.
Dalam
praktek hidup kenegaraan, hendaklah pemerintah yang berkuasa memperhatikan
praktek kebebasan beragama. Dalam Konsili Vatikan, Dignitas Humanae art. 4, pemerintah dihimbau memberikan kebebasan
terhadap pelaksanaan hak- hak jemaat- jemaat keagamaan dalam berkativitas baik
dalam pewartaan dan menjalankan ibadahnya. Para Bapa Konsili pun mengingatkan
jemaat- jemaat keagamaan agar tidak menyalahgunakan hak- hak kebebasan yang
diberikan dalam pewartaan dengan memberikan seolah- olah paksaan, dan dorongan
yang tidak pantas terutama terhadap sesama yang kurang berpendidikan dan kurang
mampu.
Kebebasan
beragama ini pun harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya kesejahteraan
maka manusia semakin mencapai kesempurnaan secara utuh dan mudah, terutama
terletak pada penegakkan hak- hak serta tugas- tugas pribadi manusia. Setiap
elemen dalam masyarakat baik sipil maupun keagamaan berperan aktif dalam
pertanggungjawaban kebebasan beragama ini demi memelihara kesejahteraan umum.
Seperti
makna kebebasan yang telah diberikan Allah kepada kita yaitu kebebasan yang
tidak mutlak, maka kebebasan beragama baik adanya untuk melihat batas- batasan
kaidah yang ada. Setiap orang atau jemaat tidak boleh egois. Karena, setiap
orang dan jemaat baiklah mempertimbangkan hak- hak orang lain maupun
kesejahteraan umum yang telah diatur hukum moral dalam diri manusia. Semua orang
harus diperlakukan sama dalam keadilan dan peri kemanusiaan.
Gereja Katolik Memandang Agama Islam
Sebelum membahas situasi konkret kebebasan beragama di
Indonesia, kami akan membahas pandangan Gereja Katolik terhadap agama Islam.
Karena, agama Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh seluruh warga
negara Indonesia. Dengan mengetahui pandangan Gereja Katolik maka kita akan
memahami dasar tindakan saling menghargai dengan agama lain yang non-kristiani.
Gereja
menghargai kaum Muslim , yang menyembah Allah yang tunggal, hidup dan ada,
rahim dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Gereja pun menghargai mereka
(kaum Muslim) yang berusaha dengan segenap hati tunduk kepada keputusannya yang
tersembunyi, seperti Abraham tunduk kepada Allah, seperti yang suka diacu iman
Islam (Konsili Vatikan II, Nostra Aetate,
art. 4). Adanya keyakinan yang sama akan Allah yang akan memberikan hari
pengadilan memberikan ruang yang baik untuk berdialog mengenai iman.
Gereja
pun menghimbau umat Katolik agar menghargai umat Islam yang menghargai hidup
moral dan Allah mereka hormati terutama
dalam doa, sedekah, dan puasa. Walau pada zaman ini sering sekali adanya
gesekan- gesekan yang memperpanas iklim hidup keagamaan, Gereja Katolik
mengajak semua untuk melupakan masa lalu, sejarah yang buruk di antara
keduanya, dengan tulus melaksanalan pengertian timbal- balik,dan bersama
melindungi dan memajukan keadlian sosial, nilai- nilai moral, perdamaian dan
kemerdekaan.
Situasi Konkret Kebebasan Beragama di Indonesia
Indonesia
telah berdiri sejak 67 tahun yang lalu dengan berabad- abad membangun kesadaran
akan kemerdekaan dan kesatuan. Para bapa pendiri bangsa yang notabene tidak berasal
dari satu golongan saja berhasil menyatukan hati untuk mendirikan suatu negara
yang merdeka.
Indonesia
memiliki keberagaman yang baik dalam
suku, budaya, dan agama. Semuanya saling memperkaya kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai negara yang menganut demokrasi, Indonesia telah memberikan
kebebasan bagi seluruh warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Hal
ini telah dilandaskan atas hukum yaitu Undang- Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat
2.
Namun
pada tahun 2012, Indonesia mendapat sorotan tajam dari dunia internasional.
Indonesia yang merupakan negara demokrasi mengantongi banyak kasus kekerasan
yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Seharusnya, Indonesia yang
berada dalam era reformasi ini dapat memberikan jaminan bagi berkembangnya
iklim kebebasan beragama. Pada sejarah yang lalu yaitu zaman Orde Baru, secara jelas bahwa negara
tidak memberikan hak- hak warga negara untuk memeluk agama tertentu bahkan
adanya diskriminasi. Secara jelas, hal ini nampak terjadi bagi warga negara
yang beretnis Tionghoa.
Dalam
penelitian dan pencatatan kasus serta pamantauan,The Wahid Institute melaporkan terjadinya 274 kasus pelanggaran
kebebasan beragama. The Wahid Institute merupakan yayasan yang
didirikan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kini The Wahid Institute dipimpin Zanubah
Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, putri almarhum Gus Dur.
Laporan
The Wahid Institute itu juga membuat kategorisasi pelanggaran, yakni
pelanggaran oleh aparatus negara dan oleh non-negara. Hasilnya, pelanggaran
yang dilakukan aparatus negara dicatat sebanyak 166 tindakan, sedangkan non-negara
sebanyak 197 tindakan.
Dalam kategori
pelanggaran oleh aparatus negara, aparat Kepolisian yang berada di garda depan
penjaga keamanan dan ketertiban justru menempati posisi tertinggi, yakni 57
tindakan. Disusul aparat Satpol PP sebanyak 34 tindakan, lalu pemerintah
kabupaten/kota sebanyak 32 tindakan, tentara 10 tindakan, bupati/wali kota 6
tindakan, dan aparat lainnya.Pemerintah Indonesia kurang cermat dalam
memberikan ruang bagi kebebasan beragama karena pemerintah selama ini melakukan
metode pengolahan hak- hak kebebasan beragama melalui pembatasan bukan
penjaminan (lihat Bab “Kebebasan Beragama dan Gereja Katolik, sebagai referensi).
Kasus yang cukup
mendapatkan perhatian besar pada tahun 2012 adalah kasus pengrusakkan dan
penganiyayaan umat Muslim Syiah, dan Ahmadiyah. Pelarangan beribadah terhadap
umat Gereja GKI Yasmin, Bogor dan Gereja HKBP, Bekasi. Dalam kasus tersebut
pemerintah melalui aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan
yaitu polisi menjadi penonton dan tidak dapat berbuat apa- apa saat terjadi
pengrusakkan dan penganiyayaan. Pemerintah daerah pun tidak dapat menghimbau
masyarakat setempat untuk saling menghargai kebebasan beragama.
Bahkan terdapat
kasus yang mleibatkan peran pemerintah daerah yaitu Pemerintah Daerah Bogor
yang tidak memberikan izin untuk beribadah bagi umat Gereja GKI Yasmin padahal
telah mendapat putusan untuk memberikan izin beribadah.
Kekerasan kebebasan
beragama yang terjadi di Indonesia merupakan andil dari beberapa organisasi masyarakat
yang berlandaskan agama maupun massa yang diprovokasi. Mudah saja kita
mengetahui dalang dari beberapa kasus kebebasan beragama yang mencolok dari
tahun 2008 sampai 2012 yaitu FPI ( Front Pembela Islam). Pada tahun 2008, AKKBB
( Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang mengalami
penganiyayaan oleh FPI saat menyampaikan pendapat di Monumen Nasional, Jakarta.
Korban yang terluka kebanyakan perempuan dan anak- anak.
Tampaknya,
pemerintah lemah, lenje, dan mudah
dibawa oleh kepentingan- kepentingan. Beberapa ormas yang berniat mengadili
masyarakat menurut syariah Islam menjadi menodai agama Islam sendiri. Padahal,
Indonesia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Pemerintah lemah dan
lambat untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama. Pemerintah tidak
dapat memberikan jaminan yang berarti. Pemerintah hanya menjadi penonton dan
tidak dapat bertindak apa- apa untuk melindungi hak- hak kebebasan beragama.
Secara hukum,
pemerintah seharusnya tegas terhadap siapa saja
yang melanggar kebebasan beragama dan menjatuhi hukuman pidana. Namun
pemerintah tampaknya takut untuk bertindak tegas dan hanya banyak bicara
mengenai penyelesaian permasalahan. Pemerintah tidak pernah serius untuk
memberikan jaminan. Pemerintah belum memahami bahwa dengan memberikan jaminan
kebebasan beragama maka akan memberikan pondasi yang baik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yaitu menjunjung persatuan.
Pemerintah tidak
dapat berefleksi dari pengalaman yang telah berlalu. Apabila disadari secara baik
dan benar, dengan adanya pelanggaran kebebasan beragama maka pemerintah tidak
menjalani tugas perutusan Allah yaitu memberikan kesejahteraan umum bagi seluruh
warganegara.
Pemerintah telah melanggar
Pancasila sila ke- 5 karena tidak dapat memberikan keadilan bagi seluruh warga
negara. Apakah pemerintah mau terus- menerus melanggar hak- hak warga negara
yaitu kebebasan beragama? Bagaimana solusi terhadap permasalah tersebut?
Pertanyaan mendasar tersebut yang mendasari pembahsan berikutnya.
Solusi Atas Situasi Konkret Kebebasan Beragama di
Indonesia
Semua masalah pastilah memiliki solusi. Menurut kami,
yang harus dibenahi adalah dalam pribadi setiap pemeluk agama sendiri. Di
dalam hal ini, pemimpin agama memiliki
peranan yang cukup besar. Pemimpin agama menghimbau agar setiap jemaat
memperdalam imannya dan memahami secara baik dan benar serta konteks zaman akan
ajaran- ajaran agamanya. Karena dengan memiliki iman yang kuat maka manusia
akan memahami bahwa dala hidup ini kita diciptakan untuk saling mengasihi.
Dengan sadar agar mengasihi sesama maka kita dapat menghargai kebebasan
beragama lain.
Pemimpin
agama pun menyadarkan umatnya bahwa
manusia diciptakan secara kodrati sama atau sederajat. Sehingga tidak
menimbulkan suatu persepsi miring bahwa agama tertentu lebih tinggi. Dengan
paham bahwa setiap manusia memiliki derajat
dan martabat yang sama maka manusia dapat saling menghargai satu sama
lain. Pemimpin agama juga harus menanamkan sikap rendah hati, rendah hati untuk
memaafkan sejarah lampau dalam konflik antar agama, dan rendah hati untuk
saling menerima perbedaan.
Dalam
memperjuangkan kebebasan beragama diperlukan adanya dialog. Dialog dimaksudkan
agar tercipta kehidupan kebebasan beragama yang baik dan tercipta pula suasana
pluralisme.
Sebuah
dialog yang bermakna, tulus dan memperkaya semua pihak yang terlibat di dalam
dialog, mengandaikan adanya suatu bentuk kedekatan, keterbukaan, saling percaya
dan saling menghargai satu sama lain- terutama menghargai perbedaan yang ada-
serta adanya kesiapan untuk mau berbagi. Sehingga terciptalah suasana
pluralisme yang ideal.
Namun
dialog yang lebih luas harus didahului dengan dialog internal dalam agama,
sehingga para hardliners dan the confronted dapat diajak bersama-
sama untuk menentukan sikap yang terbuka. Adanya keteladanan dari tokoh pun
tidak dapat dihilangkan karena keberanian merekalah maka para penganut akan
meneladani. Seperti Almarhum Paus Yohanes Paulus II yang sangat disegani dan dihormati
oleh pemimpin umat antar agama.Dialog yang bijaksana dan dewasa adalah dialog
yang yang sepakat untuk
menolak segala bentuk kekerasan dalam kehidupan
beragama. Sehingga semua agama dapat menjamin penghargaan satu sama lain atas
kebebasan beragama.
Dibutuhkan kerendahan hati dalam
hidup beranekaragam dalam keyakinan dan iman.Untuk menghentikan kekerasan dalam praktek kebebasan beragama,
setiap pemimpin agama harus duduk bersama dalam dialog dan saling memiliki
iklim saling percaya. Konsekuensinya adalah (a) setiap umat harus memiliki
tekad untuk arif dalam mendengarkan pandangan setiap agama; (b) harus memiliki
tekad untuk beradab dan membicarakan secara kekeluargaan;dan (c) setiap umat
dan pemimpinnya harus memiliki tekad untuk bersikap toleran karena toleransi
adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Menjadi tugas para
pendidik pula untuk menciptakan situasi yang baik bagi kebebasan beragama.
Dengan adanya pendidikan kebebasan beragama dalam pendidikan formal akan
memberikan wawasan yang baik bagi para murid yang juga calon pemimpin masa
depan.
Adanya peninjauan
kembali terhadap kasus kekerasan kebebasan beragama harus dilakukan pemerintah
agar pemerintah dapat memberikan keadilan bagi warga negara untuk menjalankan
praktek kebebasan beragama. Pemerintah menjadi fasilitator dalam penyelasaian konflik
kebebasan beragama yang melibatkan pihak- pihak jemaat keagamaan. Para penegak
hukum memberikan jaminan dan berkomitmen menjaga kebebasan bergama dan bukan
menjadi penonton saat terjadi aksi anarkis.
Pemerintah harus
dibimbing oleh warga negara agar pemerintah dapat menjamin kebebasan beragama.
Warga negara dapat beraspirasi baik melalui pers, petisi, dialog, kritik, dan
demonstrasi agar pemerintah dapat memperbaiki kesalahan dalam pengolahan hak-
hak kebebasan beragama.
Kesimpulan
Kebebasan merupakan hak universal yang telah dimiliki
manusia sejak manusia dilahirkan ke dunia bahwa manusia terlepas dari paksaan
untuk mengurus dirinya sendiri. Menurut ajaran Gereja Katolik, kita mengimani
sebagai manusia Allah telah menganugerahkan akal budi dan suara hati kepada
kita dan kita diberi kehendak bebas sesuai kehendak dirinya dan
mempertanggungjawabkannya. Manusia diberikan kebebasan agar ia dapat secara
sukarela mencari Penciptanya dan memperoleh kesempurnaan.
Kebebasan
beragama merupakan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk mengatur hal
keagamaannya termasuk di dalamnya hal mengenai jemaat keagamaan, ajaran, ritus
dan ibadah. Menurut Gereja Katolik, dengan dianugerahi suara hati maka manusia akan dituntun menuju pencarian
kebenaran sejati. Setelah memahami kebenaran tersebut maka akan diamalkan dalam
kehidupan sehari- hari. Kebenaran tersebut bersumber dari Allah. Kebenaran
tersebut dinyatakan dalam istilah agama.
Kebebasan
beragama harus diperjuangkan karena tiga alasan pokok yaitu (a) kodrat manusia,
setelah kita memahami kodrat manusia maka kita akan mencari kebenaran menurut
suara hati dan akan terarah kepada (b) sifat iman sejati, lalu dipraktekkan
dalam (c) kehidupan kenegaraan. Negara sebagai perwakilan kekuasaan Allah di
dunia dan wakil warganegara seharusnya dapat memberikan kesejahteraan umum.
Dengan memberikan kebebasan beragama, maka warganegara akan merasa bahagia dan
terpenuhi kebutuhan spiritualnya.
Situasi
konkret kebebasan beragama di Indonesia memang mengalami kemunduran karena
banyak sekali terjadi pelanggaran kebebasan beragama. Namun semua pihak
bertanggungjawab dalam menjaga kebebasan beragama. Kami yakin dengan duduk
bersama dalam dialog antar agama, pemerintah, dan dengan hati yang terbuka dan
rendah hati maka suasana kebebasan beragama akan tercipta. Sebagai warganegara
Indonesia kita sepatutnya menanamkan sikap toleransi karena toleransi adalah
sikap luhur yang dimiliki bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Departemen
Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2012. Dokumen Konsili Vatikan I Iterj. R.
Hardawiryana, SJ . Jakarta: Penerbit Obor.
Departemen
Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2007. Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan
terj. Piet Go O.Carm. Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Kepercayaan
Konferensi Waligereja Indonesia.
Departemen
Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2005. Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun
1891- 1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus terj. R.
Hardawiryana, SJ. Bogor: Grafika Mardi Yuana.
Konferensi Waligereja Regio Nusa
Tenggara. 2007. Katekismus Gereja Katolik
terj. Herman Embuiru, SVD. Ende: Penerbit Nusa Indah.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2007. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta:
Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Magnis- Suseno,
Franz. 1986. Etika Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Walker, D. F. 1994. Konkordansi Alkitab. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Majalah Mingguan
Katolik Hidup, Minggu, 13 Januari
2013.
Langganan:
Postingan (Atom)