Selasa, 26 Maret 2013

Refleksi Live- In 2013


Belajar Arti Hidup dari Sebuah Kederhanaan Pedesaan
(Refleksi Live- in 2013 di Baturetno, Wonogiri)

Kehidupan remaja di Jakarta semakin individualis dan tidak memiliki kepekaan dengan sesamanya. Setiap kolese menanamkan nilai compassion yang merupakan perwujudan nilai- nilai untuk mengasah kepekaan para murid. Sebagai wujud menjalankan nilai compassion, Kolese Gonzaga mengadakan kegiatan live- in bagi para murid kelas 11 setiap tahunnya. Oleh sebab itu, para murid Kolese Gonzaga angkatan XXV mengikuti kegiatan live- in di Baturetno, Wonogiri, Minggu s.d. Jumat, 10/3- 15/3- 2013.
            Para murid dibagi ke dalam 5 lingkungan yaitu Ngawu, Boto, Kedung Ombo, Sendangrejo, dan Duren. Para seminaris Wacana Bhakti angkatan XXIV pada tahun ini mengikuti live- in menempati lingkungan Duren. Lingkungan Duren yang ditempati para seminaris pun dibagi menjadi Dusun Pringjowo dan Dusun Duren Kidul.
            Para penduduk Desa Duren bermatapencaharian sebagai petani sawah tadah hujan, buruh, wiraswasta, dan guru. Namun yang pekerjaan yang paling dominan adalah petani. Mayoritas penduduk telah berumur di atas 50 tahunan dengan anak- anaknya yang merantau ke kota- kota besar setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA. Adapun para penduduk tersebut merawat pula cucu- cucu mereka. Sebagian besar mereka yang menitipkan anak- anak mereka kepada orang tuanya bekerja sebagai buruh maupun guru di daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Serang, maupun kota- kota besar lainnya di Jawa Tengah.
            Setelah mengikuti briefing dari guru pendamping, saya dan teman- teman seminaris diberangkatkan menuju desa Duren. Selama perjalanan pun saya merasa deg- degan karena ini adalah kali pertamanya saya menjalankan live- in. Saya takut kalau keluarga angkat saya nantinya adalah keluarga yang mapan dan saya tidak akan mendapatkan nilai- nilai kerja keras seperti yang didengung- dengungkan banyak orang selama ini. Terlebih saya mendengar banyak cerita dari kakak kelas saya. Walau berbeda dengan live- in yang dialami angkatan XXII Wacana Bhakti, namun saya masih merasa tertantang untuk menjalankan live- in.
            Saat teman saya, Donmas, turun untuk pertama kalinya saya merasa terkejut karena begitu cepat kami akan dipisahkan. Lalu saat mobil yang mengantar kami kembali berhetni ternyata saya dan Endjiang harus berpisah dengan teman- teman yang lain. Dengan diantarkan oleh Pak Katijo, kami pun sampai ke rumah Bp. Paulus Tumino. Kami pun bertemu dengan Bu Sutini, isteri Bp. Paulus Tumino. Awal kegiatan live- in pun dimulai.
            Bapak Tumino, 58, adalah pensiunan PT. KAI dan memiliki isteri yaitu Bu Sutini, 49, yang berprofesi sebagai petani. Beliau memiliki 2 anak yaitu Mas Ary, 30, yang sekarang bekerja di Solo sebagai pegawai PT. KAI dan Mbak Purwati, 23, yang bekerja di Bogor sebagai karyawan konveksi. Sejenak saya pun merasa senang karena mendapatkan sambutan yang hangat dari keluarga. Keluarga ini sangat ramah sekali dengan kami bahkan cenderung memanjakan kami. Situasi ekonomi keluarga dapat dibilang mampu dan keluarga ini cukup terpandang.
            Bapak Tumino pun mengisi hari tuanya dengan bertani dan berladang. Ia rutin pergi ke sawah pada pukul 06.00 dan baru pulang pukul 16.00. Selama live- in pun saya dan Endjiang tidak diperbolehkan untuk ikut bekerja di sawah dan lading padahal kami sudah sangat antusias untuk terlibat dalam kegiatan bertani. Setelah saya refleksikan, ternyata alasan Bapak Tumino tidak memperbolehkan kami karena beliau telah memperkerjakan orang lain untuk menggarap lahannya yang baru saja panen.
            Secara lebih lanjut saya dan Endjiang pun membantu keluarga dengan mengoprek jagung dan memberi pakan ternak. Kami pun berusaha untuk terlibat dalam masyarakat. Kami berkunjung ke Dusun Duren Kidul untuk mengetahui masyarakat luas dan berniat membantu masyarakat.
            Dusun Duren Kidul dan Dusun Pringjowo terpisahkan jarak sejauh 500 meter dan saya setiap hari menempuhnya untuk sekedar melihat masyarakat, membantu teman, dan pergi ke Kapel Santa Maria. Selama kami live- in, kami pun mengikuti kegiatan lingkungan yaitu Novena Santo Yusuf. Kegiatan ini dilakukan di Kapel Santa Maria pada pukul 19.30 dan dibawakan dalam bahasa Jawa. Terbayang seberapa jauhnya utnuk menempuh perjalanan ke kapel dengan medan yang cukup jelek karena jalanan berbatu dan tidak terdapat penerangan yang memadai.
            Saya pun tidak terkendala dengan makanan karena makanan di sana lebih enak daripada di seminari. Namun, yang cukup saya kagumi adalah suasana kekeluargaan yang sangat dalam dan budaya toleransi yang baik. Hasil panenan dibagi- bagikan kepada keluarga lain yang membutuhkan baik itu padi, jagung, maupun sayur- mayor. Tidak ada harapan balas jasa karena semua saling mensyukuri dan mau saling berbagi .
            Bagaimana dengan nilai- nilai yang saya dapatkan selama live- in? Setelah merefleksikan lebih dalam pengalaman yang telah saya alami. Saya pun mengambil nilai perjuangan. Penduduk pedesaan dari sebuah kesederhanaannya dapat mengambil suatu sikap yang tulus yaitu perjuangan.
            Perjuangan yang saya maksud bukanlah perjuangan karena haknya dirampas orang lain. Perjuangan yang dimiliki oleh penduduk desa merupakan wujud imannya. Karena saya melihat dengan perjuangan yang dilakukan oleh penduduk desa, mereka dapat lebih menghargai dan mensyukuri berkat dari Gusti Allah dan mengimaninya bahwa setiap pemberiaan dari Allah adalah tanggung jawab dan bukan beban. Penduduk desa berusaha untuk merawat sawahnyadan terus berbagi dengan sesamanya.
            Penduduk desa pun berjuang untuk menyirami iman mereka dengan mengiktui kegiatan peribadatan maupun Ekaristi walau menempuh jarak 500 meter lebih. Dapat dilihat penduduk desa mau berjuang demi kehidupan religious mereka. Padahal jarak yang ditempuh tidak diimbangi dengan jalan yang mulus dan penerangan yang memadai. Saya pun melihat buah dari perjuangan mereka bahwa mereka semakin dikuatkan dalam iman dan tindakan mereka sehari – hari. Perjuang tersebut membuahkan nilai keramahan, kejujuran, kerja keras, toleransi, dan kekeluargaan.
            Sebagai siswa kolese saya pun dapat menilai makna compassion yaitu bagaimana seorang pribadi manusia menghayati hidupnya sehari- hari dengan penuh ketulusan hati dan kerja keras yang diimbangi dengan kepedulian dengan sesama dan lingkungan sekitar.
            Hal ini sangat baik untuk saya petik karena hal ini dapat memperkaya iman saya dan menguatkan saya kelak untuk menjadi imam nanti, bahwa dalam hidup mengikuti Yesus selalu saja ada perjuangan untuk mencapai kebahagiaan dengan memuji, menghormati, dan mengabdi kepada Allah Tuhan kita.


0 komentar:

 
;