Minggu, 16 September 2012

Remaja dan Globalisasi


Remaja dan Globalisasi: Mampukah Bersinergi Positif?
( Menyikapi secara Dewasa menurut Ajaran dan Nilai Agama Katolik)
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo

Remaja dalam Era Globalisasi
Lebih dari satu dasawarsa, isu- isu era globalisasi kerap kali terdengar dalam pembicaraan dan dialog secara global. Kita yang masih hidup di dunia yang telah memasuki abad ke- 21, telah memiliki identitas baru yaitu manusia dalam era globalisasi. Dengan mudahnya masyarakat berpendapat bahwa globalisasi menyangkut hal- hal yang global, luas, dan mendunia. Globalisasi dianggap tidak mengenal batas- batas seperti agama, ras, suku dan etnis.
Apakah kita berpendapat bahwa globalisasi itu selalu memberikan hal yang baik bagi diri kita? Jawabannya sangatlah relatif karena menurut pandangan setiap insan manusia. Namun kita harus dapat merefleksikan kembali pertanyaan tersebut. Apakah globalisasi juga memiliki kelemahan dan cenderung memberi hal- hal yang buruk?
Ada baiknya kita merefleksikan pertanyaan tersebut dan melihatnya sesuai dengan kenyataan dan fakta yang ada. Kita juga harus melihat kenyataan yang ada, bahwa globalisasi tidak mengenal batasan umur. Kita harus sadar bahwa generasi remajalah yang sangat rentan terhadap ‘pedang- pedang yang tersembunyi’ di balik globalisasi.
Tidak dapat dipungkiri walau dapat memberikan nilai- nilai yang positif, globalisasi memberikan kemunduran di berbagai aspek kehidupan. Mudahnya informasi keluar- masuk dan diterima masyarakat berkat teknologi. Semakin pesatnya teknologi dan segala sesuatu dapat dibuktikan dengan ilmu atau science  mengakibatkan manusia perlahan tapi pasti meninggalkan Tuhan.
Internet yang dapat merambah seluruh penjuru dunia pun dapat berdampak buruk karena dapat menyebarkan materi- materi pornografi. Bagi sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memahami nilai- nilai moral, materi pornografi yang mereka produksi maupun terima hanyalah dokumentasi, karya seni, bahkan yang lebih parah lagi menganggap itu sebagai ekspresi rasa cinta terhadap pasangannya. Padahal materi- materi pornografi tersebut mendorong remaja, yang cenderung ingin tahu hal baru dan tertantang untuk melakukan hal baru, untuk jatuh ke jurang kenikmatan sesaat- sesat, pergaulan bebas, dan dosa berat.
Remaja yang paling dikhawatirkan karena nasib dan masa depan dunia dipegang oleh remaja sebagai genereasi penerus. Kenyataannya banyak remaja yang mengalami disorientasi jati- diri. Dapatkah agama dengan segala ajaran- ajarannya menjadi benteng pertahanan dan filter bagi globalisai? Dapatkah nilai- nilai moral dan etika manusia berlaku lagi di era globalisasi ini? Seluruh problematika dan pertentangan dalam menyikapi remaja yang mengahadapi era globalisasiinilah yang menunjukkan secara jelas kemana tulisan ini ingin berangkat.
Menelusuri Makna Remaja dan Globalisasi
          Remaja bila dilihat dari kata teenager, yang dalam bahasa Inggris kb. berarti manusia berusia belasan tahun yang merupakan perkembangan untuk menjadi dewasa. Namun apabila kita merujuk akar bahasa dari remaja yaitu adolescensatau adulescens, yang dalam bahasa Latin kb. (- entis) pemuda- pemudi, -kkt adolesco, olevi, ultum, berarti tumbuh, menjadi dewasa, menjelang pertengahan. Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun.Maka dapat dipahami bahwa remaja adalah manusia ( baik laki- laki dan perempuan) yang dalam tahap tumbuh- kembang menuju tahap kedewasaan dalam rentang usia 10 tahun s.d. 18 tahun atau 12 tahun s.d.22 tahun.
            Apabila kita berbicara mengenai globalisasi, maka kita akan sadar bahwa globalisasi berasal dari kata global. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, global berarti secara umum dan keseluruhan; secara bulat; secara garis besar: memberikan penjelasan secara -- saja; 2 bersangkut paut, mengenai, meliputi seluruh dunia. Globalisasi pun berarti proses masuknya informasi secara menyeluruh atau mendunia.
            Dengan memahami akar bahasa dan makna dari remaja dan globalisasi maka kita dapat menganalisis dan berpendapat secara baik- benar dan tepat.Tanpa memahami terlebih dahulu maka akan terjadi pergeseran makna dalam menganalisis remaja dan globalisasi.
Kemajuan Teknologi Sekaligus Kemunduran Moral Remaja
            Globalisasi identik dengan kemajuan teknologi infomasi dan komunikasi. Jaringan internet dengan berbagai macam basis data telah masuk ke pelosok nusantara dan dunia. Segala macam informasi dari luar dapat tersaji dihadapan kita dalam hitungan detik. Tidak ada filter atau firewall bagi informasi itu sendiri. Walau ada penyaringan dari pemerintah tetap saja ada informasi yang tidak seharusnya diterima namun kita dapatkan.
            Dewasa ini, remaja pun keranjingan dengan segala informasi yang didapatkan dari internet. Fenomena media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Windows Live Messenger, Black Berry Messenger, dan masih banyak lagi. Remaja pun semakin mudah berkomunikasi dengan teman, bahkan orang asing dari penjuru dunia. Remaja semakin sering mengekspresikan diri dengan bersiul atau dalam bahasa pergaulan remaja, nge-tweet, atau mengganti status. Dengan adanya Black Berry Messenger dan semakin mudahnyaBlack Berry  dimiliki maka para remaja tetap dapat berhubungan dan berkomunikasi.
            Tapi apakah ini semua tidak memiliki pengaruh buruk? Jawabannya adalah iya. Segala bentuk media jejaring sosial memang baik bagi komunikasi dengan orang- orang yang tidak berada di sekitar kita. Tapi, itu semua menjauhkan diri remaja dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Kalau seperti ini apakah masih ada makna komunikasi yang baik, apabila keluarga dan lingkungan sendiri diabaikan. Bagaimana mungkin keluarga dapat menjadi tempat yang nyaman bagi remaja, apabila remaja sendiri sibuk dengan gadget- gadget- nya. Inilah yang dapat meruntuhkan kehidupan keluarga karena kurangnya komunikasi dua arah antara remaja dan keluarga.
            Secara moral, remaja seperti ini dinilai tidak baik karena mengesampingkan fungsi keluarga dan lingkungan hidup. Remaja pun cenderung kehilangan arah dalam mencari jati dirinya. Remaja lupa dengan jati dirinya karena terpengaruh dengan dunia luar dan kurang bijak dalam memilih yang baik dan benar. Tidak dapat dipungkiri bahwa remaja memiliki sifat yang labil dan mudah bergejolak.
            Perkembangan gadget- gadget mewah maupun fashionyang up to date secara tidak langsung membawa remaja kepada sifat hedonisme dan mengkotak- kotakan diri dengan orang lain berdasarkan gaya hidup, kemewahan, dan pergaulan. Dengan adanya kemewahan dan kekayaan maka remaja akan semakin menjauhkan diri dari Allah. Mungkin remaja akan membentuk sikap malas, tidak peduli, bahkan menyangkal imannya dan menganggap tidak perlu lagi pergi ke Ger­eja (bukan bangunan gereja melainkan persekutuan umat beriman) untuk merayakan perayaan ekaristi, sebagai puncak kehidupan umat kristiani,  karena menganggap lebih enak hidup di dalam daging. Dalam Surat Rasul Paulus ke­pada Jemaat di Roma secara jelas memperingatkan kita sebagai manusia untuk senantiasa hidup dalam roh karena hidup dalam daging tidak berguna (Roma 8: 5- 6). Tidak dapat disangkal banyak remaja yang mengarah kepada sekularisme dan menganggap kehidupannya sehari- hari hanyalah diatur oleh hukum yang berlaku. Remaja mulai menjauhkan Allah dan Kerahiman- Nya dari kehidupannya.
Tidak hanya itu dengan adanya gengsi dalam remaja, remaja membentuk kelompok bermain tersendiri yang mengeksklusifkan dirinya. Hal ini yang tidak baik karena kerap kali kelompok bermain ini yang mengintimidasi remaja lainnya bahkan membangkang terhadap nilai- nilai moral dan norma yang ada. Remaja laki- laki cenderung akan melakukan bullying secara fisik sedangkan remaja perempuan melakukan bullying secara non- fisik.
Saya berpendapat kelompok bermain ini tidak ada bedanya dengan kaum Farisi dan ahli taurat pada zaman Yesus.Saya berpendapat seperti itu karena kehidupan mereka dipenuhi topeng- topeng kemunafikan dan tidak memiliki jati diri sejati.
Globalisasi Pendorong Pelanggaran Melawan Kemurnian
            Kemurnian yang saya maksudkan adalah keadaan murni sebagai ciptaan Allah yang tidak pernah menodai keperawanan dan keperjakaannya sehingga tetap layak di hadapan Allah. Kemurnian, suatu hal yang rasanya tidak diperjuangkan lagi oleh remaja dewasa ini. Globalisasi- lah yang menjadi fakrot pendorong terjadinya pelanggaran dan dosa ini. Melalui jendela informasi dunia dalam era globalisasi, materi- materi yang kurang baik (melanggar moral) dari penjuru dunia dapat masuk dan diterima remaja, seperti materi pornografi.
            Remaja dimudahkan untuk mendapatkan materi tersebut karena jaringan internet yang dapat dinikamti di handphone, smartphone, dan notebook. Remaja pun akan penasaran untuk memuaskan nafsu birahinya melalui masturbasi, bersenggama, maupun free sex. Tampaknya kehidupan murni yang pada zaman dahulu sangatlah didambakan dan dijaga seperti Santa Maria Goretti yang rela menjadi martir demi mempertahankan kemurniannya, tidak lagi menjadi dambaan remaja dewasa ini. Secara gamblang, fenomena yang terjadi di lingkup pergaulan SMA di dunia barat bahkan Indonesia bahwa di dalam kelompok bermain perempuan akan menyindir anggotanya yang masih perawan dan begitu juga sebaliknya bagi laki- laki yang belum berhasil mengambil keperawanan teman perempuannya.
            Sangatlah miris fenomena seperti ini, padahal dalam Katekismus Gereja Katolik (selanjutnya disingkat KGK), No. 2531- 2352 dengan jelas membahas pelanggaran ketidakmurnian ini. Menurut KGK No. 2531, ketidakmurnian adalah satu kenikmatan yang tidak teratur dari keinginan seksual atau satu kerinduan yang tidak teratur kepadanya. Sedangkan kesimpulan dari KGK No. 2532, segala bentuk kenikamatan seksual yang dicari karena dirinya sendiri bertentangan dengan hakikat dan tujuannya. Sedangkan mengenai free sex apabila dicari padanannya yaitu percabulan dibahas pada KGK No. 2353 yaitu pelanggaran terhadap martabat manusia dan kodrat yang diarahkan kepada kebahagiaan suami istri, dsb.
Pada dasarnya remaja melakukan itu tindakan- tindakan seksualitas di atas karena tidak memahami arti cinta. Dokumen Gereja lainnya yaitu Familiaris Consortio 11, menyatakan “ Cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia dan sudah tertera dalam kodratnya”.
Kita Hidup di Era Globalisasi dan Tetap Mencintai Allah
Sebagai remaja kita tetap dapat mencintai Allah walau kita hidup di era globalisasi. Kita tetap dapat mendapatkan wawasan, informasi, dan hal- hal baik hasil globalisasi dan menyingkirkan yang kurang baik asal kita memiliki iman yang baik. Kita dapat hidup dengan baik sebagai 100% ( seratus persen) manusia apabila kita dapat hidup sebagai manusia bebas dan hati dan tindakan kita terarah kepada Allah. Kita bertanggung jawab terhadap Allah karena Allah- lah sumber kehidupan kita.
Kita harus mendengarkan suara hari kita karena suara hati- lah yang mengarahkan kita kepada kehidupan yang baik. Kita harus dapat mengetahui “ tindakan baik” dan “ tindakan buruk”. Santo Thomas Aquinas, Pujangga Gereja, mengajarkan tentang hukum kodrat, karena pada dasarnya manusia memiliki kodrat. Hukum kodrat melihat dari realitas yang ada dan keteraturannya.
            Kita juga dapat melihatnya dari etika dan moral yang ada dalam lingkungan kita. Kita harus kembali berefleksi kepada kisah penciptaan manusia yaitu pada Kejadian 1: 26- 28. Kita harus menyadari bahwa kita diciptakan segambar dengan- Nya dan juga secitra dengan Allah. Kita adalah ciptaan sempurna karena kita memiliki akal budi, dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan yang lain.
            Sebagai remaja, kita harus bijak dalam bertindak dan dapat menahan emosi dan gejolak. Kita dapat mengembangkan bakat dan talenta kita dengan bantuan kemajuan teknologi dan cepatnya arus komunikasi, bukan merusak diri kita dan membuat kita semakin berdosa. Sebagai remaja, kita harus mengingat bahwa sumber kehidupan berawal dan berakhir pada Allah. Kita tidak dapat melepaskan begitu saja Allah dalam hidup kita dan kita terus menerus dipanggil untuk dekat dan kembali kepada- Nya. Kehidupan kita seperti tanaman dalam pot, tanaman tersebut harus terus- menerus disiram sehingga dapat berbunga. Kehidupan remaja juga harus diimbangi dengan kehidupan rohani. Apabila kita menghidupi kehidupan rohani pun tidak dapat menyamai kesucian santo- santa, namun ada baiknya apabila kita memiliki niat dan kesadaran yang suci untuk mengarahkan hidup kepada Allah. Semoga dengan hal- hal yang dapat kita refleksikan bersama ini dapat menguatkan iman kita sebagai remaja dan tetap dapat hidup sebagai manusia yang baik dalam era globalisasi ini.

Daftar Pustaka

Lembaga Alkitab Indonesia. 2007. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.

Walker, D. F. 1994. Konkordansi Alkitab. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Prent, K, dkk. 1969. Kamus Latin- Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tjahjadi, Simon Petrus  L. 2008. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara. 2007. Katekismus Gereja Katolik terj. P. Herman Embuiru, SVD. Ende: Penerbit Nusa Indah.


0 komentar:

 
;