Dialog: Jalan Pemersatu Agama-
Agama
Menuju Perdamaian Dunia yang Sejati
Di abad ke- 21 ini permasalahan
perdamaian sangatlah kompleks. Terjadinya aksi terorisme, larangan beribadah,
bahkan pembantaian umat di dunia dan Indonesia sangatlah riil. Agama sebagai sesuatu yang melekat pada setiap insan manusia
sangatlah bersinergi dalam membuat perdamaian dunia. Setiap agama yang mengajarkan
kebenaran dan kebaikan pastilah dapat memberikan pedoman bagi para pemeluknya.
Peristiwa 11 September 2001
menunjukkan penyimpangan nilai- nilai rohani yang dimiliki pelaku terorisme
untuk memusnahkan bangsa- bangsa yang bagi mereka kafir dan murtad. Peristiwa ini sungguh menggores luka peradaban
yang mendalam sehingga orang mulai meragukan dan mempertanyakan kapabilitas
agama sebagai peace agency yang pada tempat pertama
bertugas membawa pesan perdamaian sebagia inti dari pesan Rencana Keselamatan
Allah kepada umat manusia dan membawa kepada Allah.
Hubungan antar- agama, khususnya
antara Islam dan Kristianitas, sudah mencapai kemajuan- kemajuan yang berarti
dalam 20 tahun terakhir. Namun kemajuan yang telah dicapai itu menghadapai
ancaman dari dua sisi sekaligus. Pertama,
dari kelompok- kelompok garis keras dan ekstrem; kedua, kecenderungan sebagian pemimpin dan pembina umat di
lingkungan internal agama masing- masing untuk tetap bersikap negative terhadap mereka yang berbeda
keyakinan. Itulah pernyataan Prof. Dr. Franz Magnis- Suseno SJ, dosen STF
Driyarkara, Jakarta dalam dialog dengan para pemuka agama di Indonesia.
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah,
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, terjerumusnya agama- agama ke dalam
berbagai tindak kekerasan untuk dan atas nama agama lebih disebabkan oleh cara
pandang dan klaim kebenaran mutlak dan keterkungkungan dalam tempurung
pemahaman teologis yang eksklusif. Maka dari itu di abad ini para pemuka agama
saling bertemu untuk berdialog membahas tindakan- tindakan yang dapat diambil
untuk mencapai suatu perdamaina abadi.
Dialog sendiri dipandang Gereja
Katolik sebagai ungkapan positif terhadap misi dialogis Gereja. Para tokoh dialog antar- agama harus sabar dalam
menjalani proses dialog karena dialog mempertemukan pandangan yang eksklusif
menjadi universal. Menurut trilogi perdamian Hans Kűng mencakup tuntutan semua
agama di dunia untuk memulai babak baru membagun perdamaian dunia berdasarkan
sebuah etos bersama.
Menurut saya dialog yang terjadi di
dunia tak dapat disangkal bahwa memiliki baying- baying kelam yaitu Perang
Salib, dan konflik- konflik SARA( Suku, Agama, dan Ras) yang terjadi di dunia.
Demikian pula kalau kita lihat di Indonesia, upaya- upaya dialog antar-agama
masih dibayang- bayangi oleh iklim prasangka dan kebencian antarkelompok yang
amat tinggi, terutama tentang isu kristenisasi atau islamisasi yang berasal dari masa- masa pra-kemerdekaan Indonesia;
juga fakta konflik berdarah yang terjadi di Maluku dan Poso, serta kekerasan
yang terkait dengan sejumlah kasus ‘aliran sesat’.
Agar dialog dapat berjalan dengan
baik harus dilakukan dialog internal. Dialog internal dilakukan dalam setiap
agama agar ditemukan satu platform tentang
perdamaian khususnya dengan agama lain. Dialog membutuhkan keberanian,
kematangan, dan kesepian. Maksudnya keberanian dalam dialog dibutuhkan keberanian
untuk menghancurkan tembok- tembok pemisah yang ada dalam setiap agama;
kematangan maksudnya memiliki niat yang satu dalam mewujudkan perdamaian dunia;
dan kesiapan maksudnya para pelaku dialog siap untuk saling mendengarkan
argument masing- masing agama untuk tercapainya perdamian dunia.
Banyak tokoh- tokoh agama seperti
Paus Yohanes Paulus II, Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Chatami, yang menyuarakan
perdamaian bagi umat dunia. Keteladanan para tokoh agama sangatlah dibutuhkan
karena dengan adanya kerendahan hati para tokoh agama untuk berdialog dan
memberikan teladan dalam menyikapi perbedaan maka para pengikutnya akan
mengikutinya.
Tantangan yang dihadapi oleh agama-
agama besar lainnya di dunia ini, dalam membangun dialog untuk mencapai
masyarakat madani yang pluralis dan egalitarian adalah gejala fundamentalisme
yang mengarah kepada radikalisme dan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan
agama. Sesungguhnya perdamaian antarumat manusia akan langgeng apabilasemua
umat manusia, terlepas dari apa agama, suku dan kebudayaannya, berlomba- lomba
untuk melakukan kebaikan, menumbuhkan perilaku yang baik dan positif,
mengembangkan kebenaran sebagai wujud memperkukuh akidah ketuhanan.
Memang
proses berdiskursus dalam demokrasi deliberative itu memang sangat melelahkan.
Namun orang harus bersabar, bahkan memiliki kesabaran ekstra untuk mengajak
smeua orang utnuk duduk bersama dan saling mendengarkan, bersama- sama mencari
apa yang menjadi kesamaan dan perbedaan, bersama- sama menguji apakah perbedaan
itu bersifat prinsip dan sebagainya.
Dialog tidak akan berjalan mudah dan
singkat, melainkan berjalan lama dan relatif
sulit. Karena orang tidak mudah mendengarkan pendapat orang lain, saran
bahkan kritik. Orang hanya mampu mempertahankan argumennya dan menyanggah
setiap masukan. Sejarah dialog tidak dimulai akhir- akhir ini namun mulai ada
semenjak Santo Fransiskus dari Asisi berdialog demi perdamaian dengan umat
Muslim di Arab. Dialog yang diadakan para teolog pada tahun 1960-an pun belum
mencapai hasil yang signifikan karena saat dipertemukan secara langsung maka
segala konsep perdamaian yang ada akan pudar.
Sumber
Bacaan:
Menggugat Tanggung Jawab: Agama-
Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia, Kanisisus, Robert B.
Baowollo.