Bullying:
Selubung yang Harus Disingkap
(Antara Pendidikan, Pemerintah dan Hak
Asasi Manusia)
Oleh:
Carolus Budhi Prasetyo
Dilema Bullying dalam Pendidikan Indonesia
Akhir- akhir ini, bullying kerap kali terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Bullying dalam dunia pendidikan
Indonesia tidak hanya dilakukan oleh sesama peserta didik, namun juga meluas
sampai ke pemerintah. Kekerasan yang terjadi dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung dan telah merenggut hak atas pendidikan. Peserta didik ditindas
dan diintimidasi dalam Masa Orientasasi
Peserta Didik (MOPD) oleh senior dan kebiasaan turun- temurun yang tidak
memiliki maksud memberikan wawasan tentang sekolah. Tawuran antar pelajar
sekolah menengah yang akhir- akhir ini kembali hangat telah mencoreng dunia
pendidikan.
Keputusan drop
out (selanjutnya disingkat DO) maupun tidak naik kelas diputuskan oleh
sekolah secara tidak adil. Dasar keputusan sekolah adalah peraturan bersama.
Padahal, sekolah terkesan hanya menjaga gengsi, eksistensi dan melindungi nama
baik sekolah tanpa memerhatikan hak atas pendidikan siswa . Pelanggaran asusila
yang dilakukan pendidik merusak martabat peserta didik yang telah dilecehkan.
Dampak psikis yang ada membuat korban menjadi trauma, tidak mau pergi ke
sekolah dan hilang hak atas pendidikannya.
Pemerintah pun ikut ambil peran melakukan bullying secara tidak langsung dengan melakukan penyetaraan standar
pendidikan nasional dengan melaksanakan Ujian Nasional (selanjutnya disingkat
UN) dan kurikulum yang membebani peserta didik. Presentase kelulusan menurun
karena penetapan UN sebagai syarat kelulusan. Terjadi manipulasi dan kecurangan
dari pengambilan naskah soal sampai pemeriksaan. Peserta didik pun terbebani secara
psikis dan jiwa karena harus mengejar target UN yang tidak merata. Pengetahuan
tidak lagi bernilai penting melainkan mengejar nilai dalam ijazah, dan tak bisa
dipungkiri apakah itu berasal dari intelektual atau kecurangan. Generasi
penerus bangsa yang memiliki potensi tinggi dan berintelektual memilih mengakhiri hidupnya karena dinyatakan
tidak lulus UN. Kurikulum pun membebani peserta didik karena tidak lagi
memanusiakan peserta didik. Bertitik-tolak dari problematika dan fenomena bullying dalam dunia pendidikan
Indonesia inilah yang menunjukkan secara jelas kemana tulisan ini ingin
berangkat.
Menelusuri Makna Bullying, Pendidikan, dan Hak Asasi
Manusia (HAM)
Bullying
berasal
dari kata bully, yang dalam bahasa
Inggris kb. (j.- lies) penggertak, orang yang mengganggu orang lemah, -kkt (bullied)
menggertak, mengganggu (Echols dan Hassan, 1992:87). Kata bullying sulit dicari padanan kata yang sesuai dalam bahasa
Indonesia. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, bullying dapat diartikan sebagai suatu
tindakan untuk menyakiti orang lain yang dilakukan oleh pihak yang kuat
terhadap pihak yang lemah secara berulang- ulang, sehingga korban merasa
tertekan.
Apabila
kita berbicara mengenai pendidikan, kita
sadar bahwa pendidikan itu ada karena hak asasi manusia (HAM). Lalu, apa
yang dimaksud dengan hak asasi manusia? Dengan paham ini dimaksud hak- hak yang
dimiliki manusia bukan karena pemberian oleh masyarakat, yang bukan berdasarkan
hukum positif yang berlaku, melainkan martabatnya sebagai manusia.
Hak
asasi manusia tidak dapat dinyatakan tidak berlaku bahkan dihilangkan oleh
negara. Apabila tidak mengakui hak- hak yang dimiliki manusia sebagai manusia,
itu menunjukkan bahwa dalam negara tersebut martabat manusia belum diakui
sepenuhnya. Maka dari itu, hak asasi manusia bersifat universal dan absolut. Menurut
sifat dan arahnya masing- masing, hak- hak asasi biasasnya dibagi dalam empat
kelompok yang dapat dihubungkan dengan salah satu aliran ideologis.Empat
kelompok itu ialah hak asasi negatif atau Liberal, hak asasi aktif atau
Demokratis, hak asasi positif, dan hak asasi sosial. Hak asasi manusia dalam
hubungannya dengan pelayanan negara sangat penting dihubungkan dengan hak asasi
positif. Hak asasi positif (hak yang menuntut prestasi dan pelayanan negara)
dapat ditampung dalam suatu kerangka yang mengoperasionalisasikan
tuntutan- tuntutan martabat manusia dalam dua bentuk: sebagai hak hukum atau sebagai kewajiban politik. Hak
asasi atas pendidikan lantas berarti kewajiban (politik) negara untuk
mengusahakan segala daya upaya untuk menjamin sarana yang memadai bagi segenap
anggota masyarakat.
Pendidikan, menurut
Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ dalam buku Karya Lengkap Driyarkara, secara
filosofis adalah hidup bersama dalam
kesatuan tri- tunggal bapak- ibu- anak, di mana terjadi pemanusiaan anak,
dengan mana dia berproses untuk akhirnya memanusia sendiri sebagai purnawan.
Pemanusiaan yang dimaksud adalah proses. Selain itu terdapat rumusan bahwa
pendidikan berarti pemasukan anak ke dalam alam budaya, dan terjadinya
pelaksanaan nilai. Pelaksanaan di sini adalah perjumpaan antara aktivitas
pendidik dan aktivitas anak didik.
Hubungan
Pendidikan dengan Hak dan Kewajiban
Pendidikan memiliki
model humanisasi dan dehumanisasi. Dehumanisasi adalah bentuk ungkapan nyata
dari proses alienasi dan dominasi. Pendidikan ini menjalankan praktik- praktik
yag digunakan orang untuk ‘menjinakkan’ kesadaran manusia,
mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Sedangkan, dalam pendidikan
yang humanis, ketika kita sudah menindaklanjuti rasa keingintahuan kita sebagai
peneliti dan penyelidik, dan ketika sudah berhasil mengakses ilmu pengetahuan,
kita otomatis mengetahui dengan pasti kapasitas kita untuk dapat mengenali atau
menciptakan ilmu pengetahuan baru.
Seperti
penjelasan bab sebelumnya, hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada
manusia karena martabat sebagai manusia. Hak atas pendidikan tercantum dan
dijamin oleh dunia internasional dan diterima oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa- Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Pasal 26 ayat 1 dan 2
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan, Pendidikan dasar harus
bersifat wajib dan menjadi tanggung jawab negara. Pendidikan harus diarahkan
kepada pengembangan diri sehingga terjamin kebebasannya sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki. Pendidikan menjadi sarana manusia untuk berekpresi dan
mengungkapkan pendapat. Hak asasi tidak dapat berdiri sendiri maka hak atas
pendidikan dapat ditunjang oleh Pasal I dan 2 yang menyatakan bahwa setiap
orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan tanpa adanya diskriminasi.
Pendidikan pada
sekolah lanjutan ialah membantu manusia muda dalam menyelami dunianya dan
dengan demikian membantu dalam menjadi manusia. Dalil X, naskah Capita Selecta
Filsafat Pendidikan, oleh Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ menjelaskan bahwa manusia
muda itu manusia yang masih harus menjadi manusia. Maka pertumbuhan yang berlangsung
harus dibimbing agar memenuhi aspek kesusilaan sehingga disebut mendidik.
Memang, sudah menjadi hak dan kewajiban bapak- ibu untuk mendidik, namun orang
tua berhak mempercayakan pendidikan terhadap negara, dan negara menanggapi
dengan pelaksanaan pendidikan dengan struktur yang jelas.
Bullying, Kekerasan yang Nyata dan Terselubung
dalam Pendidikan Indonesia
Bullying
dalam
pelaksanaannya mempunyai motivasi yang kuat. Kekerasan dilakukan untuk mengintimidasi
hak yang dimiliki korban bahkan melecehkan martabat korban sebagai manusia.
Praktek bullying dalam dunia
pendidikan Indonesia mencakup hal yang
luas. Mencakup hal yang luas diartikan bahwa bullying dilakukan dalam berbagai segi, pelaku yang beragam, dan
dampak yang luas walau intinya merenggut hak atas pendidikan.
Pemerintah
sebagai badan atau lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat turut melakukan bullying dengan berbagai kebijakannya.
Pelaksanaan UN dimaksudkan pemerintah untuk pemerataan standar pendidikan dalam
skala nasional. Pemerataan standar pendidikan yang dimaksud digunakan untuk
mencari perbandingan dengan negara lain dari segi ‘nilai eksak’ bukan dari
nilai pengetahuan yang dapat diambil. Dalam UN dapat terjadi pemutarbalikan
fakta, siswa yang baik secara akademik dapat tidak lulus sedangkan siswa yang
kurang dalam akademik dapat lulus dengan mudah. Ketidaklulusan menyebabkan
peniadaan hak atas pendidikan siswa. Ketidaklulusan membayang- banyangi masa
depan pendidikan siswa, begitu juga
dalam persiapan UN, sekolah menekan siswa- siswi untuk mencapai target materi
maupun kelulusan.
Kurikulum
yang ditetapkan pemerintah membebani peserta didik dan proses pembangunan
pengetahuan tidak berjalan. Inilah yang dimaksud mengintimidasi hak atas
pendidikan yaitu, peserta didik tidak dapat mengembangkan pengetahuannya.
Pengadaan buku ajar baik di sekolah negeri maupun swasta menjadi salah satu
aspek penting dalam pengajaran yang mendukung pendidikan. Harga yang ditetapkan
seharusnya murah namun tetap berkualitas tinggi.
Bullying
juga dilakukan oleh sekolah, sebagai
pihak pengontrol sosial peserta didik. Keputusan drop out maupun tinggal kelas yang dijatuhkan sekolah dapat dilihat
kurang adil karena hak seorang siswa dikurangi. Paradigma yang melekat bagi
siswa DO maupun tinggal kelas adalah siswa yang bodoh, nakal, dan memalukan.
Sanksi negatif inilah yang menjadi beban psikis siswa DO dan membuatnya stress,
trauma bahkan tidak mau melanjutkan sekolah. Bila disimak ke belakang banyak
terjadi kasus DO karena tawuran antar pelajar.
Tawuran yang terjadi
di DKI Jakarta ini dilihat oleh sekolah sebagai aib, merusak gengsi,
integritas, dan citra. Memang benar, sebagai siswa harus menjaga nama baik
instansi pendidikan tempat dia menuntut ilmu. Namun, sekolah seharusnya lebih
bijak dalam memberikan keputusan. Tawuran terjadi karena doktrinisasi senior
dan juga berangkat dari solidaritas sebagai sesama siswa. Tawuran dapat terjadi
karena pemalakan maupun perampasan siswa sekolah lain yang mungkin bila
ditelusuri berasal dari faktor keluarga tidak harmonis, ekonomi,dan lingkungan
sosial. Bila sekolah men- drop out
siswanya maka konflik tidak akan pernah selesai. Seharusnya sekolah memberikan
pendidikan sosial dengan menanamkan moral dan pendidikan kewarganegaraan yang
baik dan fungsi bimbingan konseling sekolah dijalankan dengan baik.
Pendidikan
yang Memanusiakan Manusia
Pada akhir bab ini,
saya ingin memberikan opini bagi pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia
harus melakukan refleksi. Refleksi dilakukan dengan melihat ke masa lalu
pendidikan di Indonesia, refleksi tidak hanya melihat ke masa lalu namun
refleksi yang baik adalah dapat memberikan buah- buah perubahan yang lebih baik
di kemudian hari. Buah refleksi itu diwujudkan dalam perbuatan konkret. Semua
aspek pendidikan yaitu, pemerintah sebagai pengatur kehidupan negara, sekolah
sebagai instansi yang dipercaya oleh orang tua dalam mendidik anaknya, dan juga
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang dididik untuk berkembang.
Bila semua aspek berefleksi maka tidak akan ada bullying dalam sistem pendidikan
Indonesia, dan pendidikan akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan
tujuan pendidikan sendiri yaitu memanusiakan manusia.
Daftar Pustaka
Magnis- Suseno, Franz.
(1986). Etika Poltik. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Freire, Paulo. (1999). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan,
dan Pembebasan terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyantono. REäD (Research, Education and Dialogue)
bekerja sama dengan Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Nickel, James W. (1996). Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terj. Titis Eddy Arini. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Perpustakaan Universitas Pendidikan
Indonesia. (2011). Perlakuan Bullying dan
Konsep Diri (on- line) http://repository.upi.edu/operator/upload/s_psi_0606087_chapter2.pdf.
(diunduh 16 November 2011).
Sudiarjo, A, dkk. (2006). Karya Lengkap Driyarkara: Esai- Esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT
Gramedia Pustaka Utama atas kerja sama: PT Kompas Media Nusantara, Penerbit-
Percetakan Kanisius, Ordo Sarikat Jesus Provinsi Indonesia: Jakarta.