Gereja
adalah Komunitas Pengharapan
Dari
awal penciptaan, manusia menyadari atas kekuatan di luar dirinya yang melampaui
kemampuannya dan mempengaruhi kehidupannya. Kesadran tersebut mengalami
perkembangan berabad- abad sehingga manusia mencapai kesimpulan bahwa terdapat
realitas tertinggi yang berkuasa atas segala sesuatu di dunia yang sering
disebut sebagai Tuhan, Allah, God, Deus, Theos, dsb.
Agama
pun terus berkembang melintasi dimensi ruang dan waktu beriringan dengan
manusia. Agama saling bersentuhan dan berdialog dalam kehidupan sehari- hari
manusia, persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, mulai dari masalah ekonomi,
sosial, lingkungan hidup, kesehatan, kejahatan, perang, hingga kesejahteraan.
Agama pun hadir secara ‘merakyat’ melalui para pemuka agama. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa dalam masyarakat paternalistik, segala pencerahan dan arahan
umat dewasa ini berasal dari para pemimpin agama.
Berangkat
dari pemikiran tersebut buku The Catholic
Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita diterbitkan dan diharapkan menjadi
arahan bagi umat Katolik untuk menjalani hidup masa kini berpijak pada
pendapat, pandangan, sikap, dan pemikiran Gereja Katolik. Maka dipilihlah Mgr.
Ignatius Suharyo yang pada masa tersebut menjabat sebagai Uskup di Keuskupan
Agung Semarang. Beliau konsisten memberikan sumbangan pemikiran dan perhatian
terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan.
Pada
umumnya umat Katolik belum memahami secara mendalam mengenai keyakinan pada
Allah Tritunggal, inti ajaran Gereja Katolik, Gereja dengan sifat- sifatnya,
Kitab Suci, dosa, dan penghormatan terhadap Orang Kudus. Mgr. Suharyo
menjelaskan bahwa segala pembicaraan mengenai imam akan mengandung
ketidakjelasan. Banyak buku yang membahas Tritunggal Yang Mahakudus namun tidak
pernah dijelaskan secara tuntas karena berhadapan dengan Tritunggal Yang
Mahakudus berarti berhadapan dengan rahasia karya penyelamatan Allah. Sumber KS
pun memberikan pernyataan mengenai pendamaian dunia melalui Kristus dan kasih-
Nya dicurahkan dalam Roh Kudus. Pokok iman akan Allah Tritunggal Yang Mahakudus
adalah Allah Bapa yang menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.
Bahwa
ajaran Katolik- iman, kesusilaan, dan institusinya- merupakan buah dari
pekembangan wahyu yang termuat dalam KS dalam bimbingan Roh Kudus berupa
Tradisi dan Wewenang Mengajar Gereja (Magisterium).
Lalu, sifat Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik bukanlah sifat yang
sudah “jadi”. Namun, sifat- sifat Gereja inilah bersifat dinami, artinya
diharpkan selalu berkembang menuju ksempurnaannya. Dosa dapat didefinisikan
sebagai segala tindakan melawan Allah. Namun manusi atidak pernah putus asa
karena dosa- dosanya karena yakin akan karya penyelamatan- Nya. Maka,
dibutuhkan suatu pertobatan dalam diri manusia untuk memperoleh pengampunan dan
pendamaian dari Alah melalui Sakramen Tobat.
Dalam
hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, KWI memberikan beberap
aetika politik yaitu hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan,
solidaritas, subsidiaritas, fairness,
demokrasi, dan tanggung jawab. Politik Katolik adalah perjuangan bagi
kesejahteraan bersama, bonum commune.
Itulah visi dasar yang harus dipegang teguh bagi setiap umat Katolik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan agama lain, sejak
Konsili Vatikan II terlihat bahwa Gereja Katolik membuka diri sepenuhnya
terhadap pluralisme dan multikulturalisme karena Gereja meyakini hanya dengan
memberikan penghormatan satu sama lain maka kebaikan bersama akan dapat
diwujudkan.
Dalam
menyikapi globalisasi bagi kita orang Katolik, globalisasi itu bukan baik atau
buruk. Melainkan apakah kinerja globalisasi mewujudkan kesejahteraan bersama
atau tidak. Bila tidak maka kit aharus menemukan dengan cerdik apa yang
menyebabkan malapetaka itu. Salah satu pesan Paus Yohanes Paulus II pada hari
Perdamaian Sedunia tahun 1998, tepatnya 1 Januari 1998. Beliau menyampaikan
pesan yang sangat kaya makna dan perlu ditafsirkan dan dijabarkan. Beliau
mengatakan menolak globalisasi yang meminggirkan, tetapi ingin membangun
globalisasi solidaritas. Globalisasi meminggirkan itu tidak dikehendaki oleh
Gereja. Globalisasi solidaritas berlandaskan iman bahwa Allah itu Bapa semua
orang, semua orang dicintai oleh Bapa dengan kasih yang sama. Karena Allahnya
satu, Bapanysa satu, maka diharapkan semua orang menjadi saudara.
Pada
bagian akhir, Mgr. Suharyo menjawab suatu
pertanyaan sikap apa yang diharapkan dari
orang Kristiani, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga Gereja yang berhadapandengan
kenyataan dunia dewasa ini.
Seharusnya
seorang beriman tetap teguh dalam pengharapan Dengan landasan pengharapan ini,
orang beriman, baik sendiri- sendiri maupun sebagai warga Gereja bisa
melibatkan diri untuk terus berjuang membangun kehidupan yang lebih baik.
Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme bisa dengan mudah hilang kalau
perhitungan- perhitungan yang melandasi optimisme itu salah.Harapan tidak
pernah akan hilang karenadilandaskan pada janji Allah sendiri, yaitu bahwa Ia
yang telah memluai kaya yang baik ini akan menyelesaikannya juga (bdk. Flp
1:6). Dengan landasan itu, kita bisa bekerja keras tanpa putus asa.