Belajar Arti
Hidup dari Sebuah Kederhanaan Pedesaan
(Refleksi Live- in 2013 di Baturetno, Wonogiri)
Kehidupan remaja di Jakarta semakin individualis dan
tidak memiliki kepekaan dengan sesamanya. Setiap kolese menanamkan nilai compassion yang merupakan perwujudan
nilai- nilai untuk mengasah kepekaan para murid. Sebagai wujud menjalankan
nilai compassion, Kolese Gonzaga
mengadakan kegiatan live- in bagi
para murid kelas 11 setiap tahunnya. Oleh sebab itu, para murid Kolese Gonzaga
angkatan XXV mengikuti kegiatan live- in
di Baturetno, Wonogiri, Minggu s.d. Jumat, 10/3- 15/3- 2013.
Para
murid dibagi ke dalam 5 lingkungan yaitu Ngawu, Boto, Kedung Ombo, Sendangrejo,
dan Duren. Para seminaris Wacana Bhakti angkatan XXIV pada tahun ini mengikuti live- in menempati lingkungan Duren.
Lingkungan Duren yang ditempati para seminaris pun dibagi menjadi Dusun
Pringjowo dan Dusun Duren Kidul.
Para
penduduk Desa Duren bermatapencaharian sebagai petani sawah tadah hujan, buruh,
wiraswasta, dan guru. Namun yang pekerjaan yang paling dominan adalah petani.
Mayoritas penduduk telah berumur di atas 50 tahunan dengan anak- anaknya yang
merantau ke kota- kota besar setelah menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA. Adapun
para penduduk tersebut merawat pula cucu- cucu mereka. Sebagian besar mereka
yang menitipkan anak- anak mereka kepada orang tuanya bekerja sebagai buruh
maupun guru di daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Serang, maupun kota- kota
besar lainnya di Jawa Tengah.
Setelah
mengikuti briefing dari guru pendamping, saya dan teman- teman seminaris
diberangkatkan menuju desa Duren. Selama perjalanan pun saya merasa deg- degan
karena ini adalah kali pertamanya saya menjalankan live- in. Saya takut kalau keluarga angkat saya nantinya adalah
keluarga yang mapan dan saya tidak akan mendapatkan nilai- nilai kerja keras
seperti yang didengung- dengungkan banyak orang selama ini. Terlebih saya
mendengar banyak cerita dari kakak kelas saya. Walau berbeda dengan live- in yang dialami angkatan XXII
Wacana Bhakti, namun saya masih merasa tertantang untuk menjalankan live- in.
Saat
teman saya, Donmas, turun untuk pertama kalinya saya merasa terkejut karena
begitu cepat kami akan dipisahkan. Lalu saat mobil yang mengantar kami kembali
berhetni ternyata saya dan Endjiang harus berpisah dengan teman- teman yang
lain. Dengan diantarkan oleh Pak Katijo, kami pun sampai ke rumah Bp. Paulus
Tumino. Kami pun bertemu dengan Bu Sutini, isteri Bp. Paulus Tumino. Awal kegiatan
live- in pun dimulai.
Bapak
Tumino, 58, adalah pensiunan PT. KAI dan memiliki isteri yaitu Bu Sutini, 49,
yang berprofesi sebagai petani. Beliau memiliki 2 anak yaitu Mas Ary, 30, yang
sekarang bekerja di Solo sebagai pegawai PT. KAI dan Mbak Purwati, 23, yang
bekerja di Bogor sebagai karyawan konveksi. Sejenak saya pun merasa senang
karena mendapatkan sambutan yang hangat dari keluarga. Keluarga ini sangat
ramah sekali dengan kami bahkan cenderung memanjakan kami. Situasi ekonomi
keluarga dapat dibilang mampu dan keluarga ini cukup terpandang.
Bapak
Tumino pun mengisi hari tuanya dengan bertani dan berladang. Ia rutin pergi ke
sawah pada pukul 06.00 dan baru pulang pukul 16.00. Selama live- in pun saya dan Endjiang tidak diperbolehkan untuk ikut
bekerja di sawah dan lading padahal kami sudah sangat antusias untuk terlibat
dalam kegiatan bertani. Setelah saya refleksikan, ternyata alasan Bapak Tumino
tidak memperbolehkan kami karena beliau telah memperkerjakan orang lain untuk
menggarap lahannya yang baru saja panen.
Secara
lebih lanjut saya dan Endjiang pun membantu keluarga dengan mengoprek jagung
dan memberi pakan ternak. Kami pun berusaha untuk terlibat dalam masyarakat.
Kami berkunjung ke Dusun Duren Kidul untuk mengetahui masyarakat luas dan
berniat membantu masyarakat.
Dusun
Duren Kidul dan Dusun Pringjowo terpisahkan jarak sejauh 500 meter dan saya
setiap hari menempuhnya untuk sekedar melihat masyarakat, membantu teman, dan
pergi ke Kapel Santa Maria. Selama kami live-
in, kami pun mengikuti kegiatan lingkungan yaitu Novena Santo Yusuf.
Kegiatan ini dilakukan di Kapel Santa Maria pada pukul 19.30 dan dibawakan
dalam bahasa Jawa. Terbayang seberapa jauhnya utnuk menempuh perjalanan ke
kapel dengan medan yang cukup jelek karena jalanan berbatu dan tidak terdapat
penerangan yang memadai.
Saya
pun tidak terkendala dengan makanan karena makanan di sana lebih enak daripada
di seminari. Namun, yang cukup saya kagumi adalah suasana kekeluargaan yang
sangat dalam dan budaya toleransi yang baik. Hasil panenan dibagi- bagikan kepada
keluarga lain yang membutuhkan baik itu padi, jagung, maupun sayur- mayor.
Tidak ada harapan balas jasa karena semua saling mensyukuri dan mau saling
berbagi .
Bagaimana
dengan nilai- nilai yang saya dapatkan selama live- in? Setelah
merefleksikan lebih dalam pengalaman yang telah saya alami. Saya pun mengambil
nilai perjuangan. Penduduk pedesaan dari sebuah kesederhanaannya dapat
mengambil suatu sikap yang tulus yaitu perjuangan.
Perjuangan
yang saya maksud bukanlah perjuangan karena haknya dirampas orang lain. Perjuangan
yang dimiliki oleh penduduk desa merupakan wujud imannya. Karena saya melihat
dengan perjuangan yang dilakukan oleh penduduk desa, mereka dapat lebih
menghargai dan mensyukuri berkat dari Gusti Allah dan mengimaninya bahwa setiap
pemberiaan dari Allah adalah tanggung jawab dan bukan beban. Penduduk desa
berusaha untuk merawat sawahnyadan terus berbagi dengan sesamanya.
Penduduk
desa pun berjuang untuk menyirami iman mereka dengan mengiktui kegiatan
peribadatan maupun Ekaristi walau menempuh jarak 500 meter lebih. Dapat dilihat
penduduk desa mau berjuang demi kehidupan religious mereka. Padahal jarak yang
ditempuh tidak diimbangi dengan jalan yang mulus dan penerangan yang memadai.
Saya pun melihat buah dari perjuangan mereka bahwa mereka semakin dikuatkan
dalam iman dan tindakan mereka sehari – hari. Perjuang tersebut membuahkan
nilai keramahan, kejujuran, kerja keras, toleransi, dan kekeluargaan.
Sebagai
siswa kolese saya pun dapat menilai makna compassion
yaitu bagaimana seorang pribadi manusia menghayati hidupnya sehari- hari dengan
penuh ketulusan hati dan kerja keras yang diimbangi dengan kepedulian dengan
sesama dan lingkungan sekitar.
Hal
ini sangat baik untuk saya petik karena hal ini dapat memperkaya iman saya dan
menguatkan saya kelak untuk menjadi imam nanti, bahwa dalam hidup mengikuti
Yesus selalu saja ada perjuangan untuk mencapai kebahagiaan dengan memuji,
menghormati, dan mengabdi kepada Allah Tuhan kita.