Kebebasan Beragama: Hak
Universal yang Harus Diperjuangkan
(Antara
Manusia, Negara, dan Gereja Katolik)
Dilema Kebebasan
Beragama di Indonesia
Manusia tidak dapat lepas dari Sang
Pencipta. Oleh
karena itu, banyak manusia yang memeluk agama atau kepercayaan untuk semakin
mendekatkan diri kepada Ilahi. Negara
pun diharapkan dapat memberikan kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Hal ini dikarenakan
kebebasan beragama adalah hak universal bagi setiap insan manusia.
Indonesia yang telah memasuki usia 67 tahun
ternyata masih dilanda dilema kebebasan beragama. Konstitusi
Internasional maupun Undang- Undang Dasar 1945 telah memberikan dasar hukum
bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia. Kenyataan berkata lain,
konstitusi tidak dapat melindungi warga Negara yang memeluk agama tertentu dari
kekerasan yang terjadi. Agama- agama berbeda namun, tetap
membawa pesan perdamaian dan wahyu dari Allah tidak lagi dipandang
sebagai keberagaman yang patut dijaga melainkan dimanfaatkan oleh golongan-
golongan tertentu sebagai lawan yang seharusnya dimusnahkan.
Padahal, sikap- sikap dan tindakan-
tindakan keagamaan lahiriah seperti mengungkapkan pengakuan iman menurut
agamanya, ikut dalam ritus dan ibadat tertentu, menjalankan kewajiban-
kewajiban lahiriah agamanya, secara masuk akal dan wajar diterima sebagai
pengakuan imannya. Tanpa iman semua
sikap dan tindakan kepercayaan itu tidak bernilai sama sekali.
Pertanyaan mendasar yang dimiliki
setiap manusia dewasa ini yaitu: Apakah
makna kebebasan dewasa ini? Apakah kebebasan beragama itu? Bagaimana Gereja
Katolik memandang kebebasan beragama menurut Kitab Suci, Ajaran Sosial Gereja
(selanjutnya disingkat ASG), Katekismus Gereja Katolik, dan Dokumen Konsili
Vatikan II? Masih
relevankah kebebasan Beragama
tersebut dengan situasi hidup keagamaan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, Tanah Air tercinta ini.
Bertitik- tolak dari problematika dan pertanyaan mendasar terhadap
kebebasan beragama inilah yang menunjukkan secara jelas kemana tulisan ini
berangkat.
Menelusuri
Makna Kebebasan
Kebebasan
menjadi dasar bagi setiap tindakan manusia untuk mengurus diri sendiri lepas
dari paksaan. Menurut
kami, kebebasan berarti keadaan yang lepas dari paksaan dan manusia dapat
mengurus dirinya tanpa ada pembatasan yang merugikan haknya. Menurut Georg Wilhelm
Friedrich Hegel dalam filsafat hukumnya, hukum secara hakiki melindungi
kebebasan mereka yang ada di bawahnya.
Apa
yang menjadi inti universal nilai kebebasan itu? Dalam buku Etika Politik, Pater
Franz Magnis- Suseno, SJ menjelaskan
inti universal nilai kebebasan yaitu hak setiap orang dan kelompok untuk
mengurus diri sendiri lepas dari paksaan.
Bagi
kami makna kebebasan yang dipapar- jabarkan oleh Pater Franz Magnis- Suseno, SJ
merupakan hak asasi universal manusia di segala zaman dan dalam segala
kebudayaan. Maksudnya,
sejak manusia dilahirkan ke dunia maka manusia memiliki kebebasan sebagai hak
universalnya tanpa melihat zaman dan kebudayaan yang dianutnya. Dengan perkecualian
manusia tersebut
menolak, dengan kemungkinan adanya paksaan maupun kekuatan di luar dirinya
mengancam yang mencampuri. Namun,
loyalitas kepada kelompok kita atau karena tuntutan hukum atau adat- istiadat
yang mencampuri otonomi kita yang tidak kita akui itulah yang selalu tidak
wajar. Hukum
justru diadakan untuk melindungi kebebasan kita ini.
Gereja
telah hadir di tengah dunia sejak jemaat perdana yang dihimpun Yesus dan para
rasul- Nya pun mendukung adanya kebebasan manusia. Sebagai umat beriman,
kita tahu bahwa Allah telah
menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi
kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak diri
sendiri dan menguasai segala perbuatannya (Katekismus Gereja Katolik no.
1730).“ Allah bermaksud ‘menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri’ (Sir
15:14), supaya ia (manusia) dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan
mengabdi kepada- Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang
membahagiakan” ( Gaudium et Spes 17).
Dengan penjelasan tersebut kita
dapat memahami bahwa dari awal manusia diciptakan, Allah telah memberikan
kebebasan dan tanpa paksaan agar manusia mampu mencari Penciptanya dan secara
tulus mengabdi demi mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan manusia
tersebut.
Berdasarkan
dasar biblis tersebut maka Katekismus Gereja Katolik pun memberikan arti
kebebasan yaitu kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk
bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari
dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar (Katekismus Gereja Katolik no.
1731).Kebebasan berlaku dalam hubungan antar manusia tanpa terkecuali. Secara
kodrati, manusia memiliki hak untuk diakui sebagai makhluk yang bebas dan
bertanggungjawab, karena ia telah diciptakan menurut citra Allah (Katekismus
Gereja Katolik no. 1738). Maka, antara martabat manusia dan hak untuk melaksanakan
kebebasan diikat secara tidak terpisahkan dalam masalah kesusilaan dan agama
(menurut Konsili Vatikan II, Dignitas
Humanae art. 2). Hak ini harus diakui oleh
hukum Negara, dan dilindungi dalam batas- batas kepentingan bersama dan tata
tertib umum (menurut Konsili Vatikan II, Dignitas
Humanae art. 7).
Memahami
Makna Kebebasan Beragama
Manusia
sebagai ciptaan Allah dianugerahi akal budi dan suara hati.Secara singkat,
suara hati merupakan suara dalam setiap diri manusia yang mengarahkan manusia
kepada kebaikan. Suara hati pun akan memperingatkan apabila tindakan yang akan
kita lakukan itu salah. Manusia memiliki kebebasan suara hati, yang berarti
manusia bebas mencari dan memilih kebenaran berdasarkan suara hatinya. Setiap
manusia wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan
Gereja- Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan
mengamalkannya.
Kebebasan
beragama secara mudah dipahami sebagai suatu hak yang dimiliki setiap manusia
untuk menentukan agama yang dianutnya, terlepas dari paksaan apapun dalam
menjalankan praktik- praktik keagamaannya, baik dalam menunjukkan imannya, terlibat
dalam tradisi, dan melaksanakan ibadah . Dalam menjalankan kebebasan beragama
dijamin dan dijaga oleh para warganegara, kelompok- kelompok sosial,
pemerintah- pemerintah, Gereja dan jemaat- jemaat keagamaan lainnya.
Kebebasan beragama termuat langsung
dalam kebebasan suara hati. Sebagai makhluk yang berakal budi manusia tidak
dihormati dalam martabatnya apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu sebagai
benar yang dianggapnya tidak benar atau untuk tidak mengakui sesuatu yang
disadarinya sebagai benar. Percaya secara sesungguhnya merupakan sikap hati
yang mengandaikan kesadaran bahwa yang dipercayai itu ada, nyata dan pantas
untuk dipercayai.
Menurut
Pater Franz Magnis- Suseno, SJ, kebebasan beragama mengatakan bahwa setiap
orang berhak untuk menentukan sendiri apakah dan bagaimanakah ia beragama atau
tidak, untuk hidup sesuai dengan keyakinan keagamaannya sendiri, untuk mengamalkan
dan mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain yang ingin menerima komunikasi
itu, untuk meninggalkan agamanya yang lama dan memeluk agama baru yang
diyakininya, untuk tidak didiskriminasikan karena agama atau keyakinannya.
Dalam
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh
didasarkan pada martabat manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang
diwahyukan dengan akal budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus
diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi hak sipil.
Kebebasan Beragama dan Gereja Katolik
Dalam
hidup manusia dianugerahi suara hati yang mengarahkan kepada kebenaran. Adapun
kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia
serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui
pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Manusia menangkap dan
mengakui ketentuan- ketentuan hukum Ilahi melalui suara hatinya. Ia wajib
mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh kegiatannya, untuk mencapai
tujuannya, yakni Allah.
Manusia yang
memiliki kodrat sosial manusia menuntut supaya ia mengungkapkan tindakan-
tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama
dalam hal keagamaan, dan menyatakan agamanya
secara bersama- sama.
Menurut
Ensiklik Paus Yohanes XXIII, Pacem In
Terris (Perdamaian Dunia) art. 14, mengenai usaha mencapai perdamaian
semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan, manusia memiliki
hak untuk dapat beribadat kepada Allah mengikuti dorongan yang tepat
suarahatinya sendiri, dan mengakui agamanya secara privatmaupun di muka umum.
Laktansius
jelas mengajarkan: “Inilah persyaratan kelahiran kita sendiri, bahwa kepada
Allah yang menciptakan kita, kita lambungkan hormat- pujian yang layak bagi-
Nya, bahwa Ia kita akui sebagai Allah yang Esa, dan kita patuhi. Dari ikatan
ketakwaaan yang mengikat kita dan menambat kita pada Allah itulah dijabarkan
istilah ‘religio’” (agama).
Setelah mempelajari dokumen- dokumen
ajaran Gereja Katolik, kami pun mendapatkan tiga alasan pokok kebebasan
beragama:
·
Kodrat manusia:
Manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak bebas dan oleh
karenanya mempunyai tanggung jawab pribadi yang tidak dapat dipindahkan kepada
orang lain.
Maksudnya,
manusia tidak dapat menolak kewajiban- kewajiban yang telah diberikan Allah
karena kita memiliki akal budi dan berkehendak bebas. Manusia pun dituntut agar
mencari kebenaran sejati yaitu Allah sendiri dengan menggunakan akal budi dan
kehendak bebas. Seperti yang telah dipapar- jabarkan sebelumnya, suara hati
manusia akan menuntun manusia untuk mencari kebenaran sejati, memahami dan
mengamalkannya.
·
Sifat iman sejati:
Iman sejati bukanlah sekedar sikap menerima beberapa ajaran, tidak pula
terbatas pada upacara- upacara ibadah dan tidak cukup hanya melaksanakan
perintah- perintah Tuhan secara lahiriahatau legalistis tanpa menyetujuinya
dalam batin.
Yesus
sendiri menghendaki umat manusia agar menunjukkan imannya dalam perbuatan
sehari- hari ( Yak 2:17). Kita tidak dapat melihat secara kasat mata iman
seseorang, manusia menunjukkan imannya secara lahiriah. Namun bukanlah
perbuatan lahiriah saja yang dilihat sebagai perwujudan iman, namun bagaimana
kita melakukan perbuatan tersebut, apakah didasari bahwa perbuatan menunjukkan
kualitas sebagai ciptaan Allah yang memenuhi kodrat manusia. Biarlah suara hati
kita menuntun kita dan menyetujuinya dalam batin.
·
Di dalam bidang
kenegaraan: Negara didirikan untuk memenuhi kesejahteraan seluruh rakyat.
Tampak jelas
bahwa pemerintah maupun negara didirikan atas amanat dan kedaulatan rakyat agar
pemerintah tersebut mencerminkan suara dan kehendak rakyat yang mengarah kepada
kesejahteraan rakyat. Di dalam praktek hidup kenegaraan, masyarakat akan merasa
bahagia dan sejahtera apabila tidak mendapatkan paksaan yang mengekang dirinya.
Sebenarnya hukum diadakan bukan untuk mengekang kebebasan melainkan untuk
membatasi, melindungi, dan menjamin kebebasan itu sendiri. Hukum yang diberikan
oleh negara bukanlah hukum yang memaksa dan mendorong warganegara untuk
menganut agama tertentu melainkan untuk menjamin dan melindungi kebebasan warga
negara untuk melakukan praktek keagamaan.
Dalam
praktek hidup kenegaraan, hendaklah pemerintah yang berkuasa memperhatikan
praktek kebebasan beragama. Dalam Konsili Vatikan, Dignitas Humanae art. 4, pemerintah dihimbau memberikan kebebasan
terhadap pelaksanaan hak- hak jemaat- jemaat keagamaan dalam berkativitas baik
dalam pewartaan dan menjalankan ibadahnya. Para Bapa Konsili pun mengingatkan
jemaat- jemaat keagamaan agar tidak menyalahgunakan hak- hak kebebasan yang
diberikan dalam pewartaan dengan memberikan seolah- olah paksaan, dan dorongan
yang tidak pantas terutama terhadap sesama yang kurang berpendidikan dan kurang
mampu.
Kebebasan
beragama ini pun harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya kesejahteraan
maka manusia semakin mencapai kesempurnaan secara utuh dan mudah, terutama
terletak pada penegakkan hak- hak serta tugas- tugas pribadi manusia. Setiap
elemen dalam masyarakat baik sipil maupun keagamaan berperan aktif dalam
pertanggungjawaban kebebasan beragama ini demi memelihara kesejahteraan umum.
Seperti
makna kebebasan yang telah diberikan Allah kepada kita yaitu kebebasan yang
tidak mutlak, maka kebebasan beragama baik adanya untuk melihat batas- batasan
kaidah yang ada. Setiap orang atau jemaat tidak boleh egois. Karena, setiap
orang dan jemaat baiklah mempertimbangkan hak- hak orang lain maupun
kesejahteraan umum yang telah diatur hukum moral dalam diri manusia. Semua orang
harus diperlakukan sama dalam keadilan dan peri kemanusiaan.
Gereja Katolik Memandang Agama Islam
Sebelum membahas situasi konkret kebebasan beragama di
Indonesia, kami akan membahas pandangan Gereja Katolik terhadap agama Islam.
Karena, agama Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh seluruh warga
negara Indonesia. Dengan mengetahui pandangan Gereja Katolik maka kita akan
memahami dasar tindakan saling menghargai dengan agama lain yang non-kristiani.
Gereja
menghargai kaum Muslim , yang menyembah Allah yang tunggal, hidup dan ada,
rahim dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Gereja pun menghargai mereka
(kaum Muslim) yang berusaha dengan segenap hati tunduk kepada keputusannya yang
tersembunyi, seperti Abraham tunduk kepada Allah, seperti yang suka diacu iman
Islam (Konsili Vatikan II, Nostra Aetate,
art. 4). Adanya keyakinan yang sama akan Allah yang akan memberikan hari
pengadilan memberikan ruang yang baik untuk berdialog mengenai iman.
Gereja
pun menghimbau umat Katolik agar menghargai umat Islam yang menghargai hidup
moral dan Allah mereka hormati terutama
dalam doa, sedekah, dan puasa. Walau pada zaman ini sering sekali adanya
gesekan- gesekan yang memperpanas iklim hidup keagamaan, Gereja Katolik
mengajak semua untuk melupakan masa lalu, sejarah yang buruk di antara
keduanya, dengan tulus melaksanalan pengertian timbal- balik,dan bersama
melindungi dan memajukan keadlian sosial, nilai- nilai moral, perdamaian dan
kemerdekaan.
Situasi Konkret Kebebasan Beragama di Indonesia
Indonesia
telah berdiri sejak 67 tahun yang lalu dengan berabad- abad membangun kesadaran
akan kemerdekaan dan kesatuan. Para bapa pendiri bangsa yang notabene tidak berasal
dari satu golongan saja berhasil menyatukan hati untuk mendirikan suatu negara
yang merdeka.
Indonesia
memiliki keberagaman yang baik dalam
suku, budaya, dan agama. Semuanya saling memperkaya kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai negara yang menganut demokrasi, Indonesia telah memberikan
kebebasan bagi seluruh warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Hal
ini telah dilandaskan atas hukum yaitu Undang- Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat
2.
Namun
pada tahun 2012, Indonesia mendapat sorotan tajam dari dunia internasional.
Indonesia yang merupakan negara demokrasi mengantongi banyak kasus kekerasan
yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Seharusnya, Indonesia yang
berada dalam era reformasi ini dapat memberikan jaminan bagi berkembangnya
iklim kebebasan beragama. Pada sejarah yang lalu yaitu zaman Orde Baru, secara jelas bahwa negara
tidak memberikan hak- hak warga negara untuk memeluk agama tertentu bahkan
adanya diskriminasi. Secara jelas, hal ini nampak terjadi bagi warga negara
yang beretnis Tionghoa.
Dalam
penelitian dan pencatatan kasus serta pamantauan,The Wahid Institute melaporkan terjadinya 274 kasus pelanggaran
kebebasan beragama. The Wahid Institute merupakan yayasan yang
didirikan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kini The Wahid Institute dipimpin Zanubah
Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, putri almarhum Gus Dur.
Laporan
The Wahid Institute itu juga membuat kategorisasi pelanggaran, yakni
pelanggaran oleh aparatus negara dan oleh non-negara. Hasilnya, pelanggaran
yang dilakukan aparatus negara dicatat sebanyak 166 tindakan, sedangkan non-negara
sebanyak 197 tindakan.
Dalam kategori
pelanggaran oleh aparatus negara, aparat Kepolisian yang berada di garda depan
penjaga keamanan dan ketertiban justru menempati posisi tertinggi, yakni 57
tindakan. Disusul aparat Satpol PP sebanyak 34 tindakan, lalu pemerintah
kabupaten/kota sebanyak 32 tindakan, tentara 10 tindakan, bupati/wali kota 6
tindakan, dan aparat lainnya.Pemerintah Indonesia kurang cermat dalam
memberikan ruang bagi kebebasan beragama karena pemerintah selama ini melakukan
metode pengolahan hak- hak kebebasan beragama melalui pembatasan bukan
penjaminan (lihat Bab “Kebebasan Beragama dan Gereja Katolik, sebagai referensi).
Kasus yang cukup
mendapatkan perhatian besar pada tahun 2012 adalah kasus pengrusakkan dan
penganiyayaan umat Muslim Syiah, dan Ahmadiyah. Pelarangan beribadah terhadap
umat Gereja GKI Yasmin, Bogor dan Gereja HKBP, Bekasi. Dalam kasus tersebut
pemerintah melalui aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan
yaitu polisi menjadi penonton dan tidak dapat berbuat apa- apa saat terjadi
pengrusakkan dan penganiyayaan. Pemerintah daerah pun tidak dapat menghimbau
masyarakat setempat untuk saling menghargai kebebasan beragama.
Bahkan terdapat
kasus yang mleibatkan peran pemerintah daerah yaitu Pemerintah Daerah Bogor
yang tidak memberikan izin untuk beribadah bagi umat Gereja GKI Yasmin padahal
telah mendapat putusan untuk memberikan izin beribadah.
Kekerasan kebebasan
beragama yang terjadi di Indonesia merupakan andil dari beberapa organisasi masyarakat
yang berlandaskan agama maupun massa yang diprovokasi. Mudah saja kita
mengetahui dalang dari beberapa kasus kebebasan beragama yang mencolok dari
tahun 2008 sampai 2012 yaitu FPI ( Front Pembela Islam). Pada tahun 2008, AKKBB
( Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang mengalami
penganiyayaan oleh FPI saat menyampaikan pendapat di Monumen Nasional, Jakarta.
Korban yang terluka kebanyakan perempuan dan anak- anak.
Tampaknya,
pemerintah lemah, lenje, dan mudah
dibawa oleh kepentingan- kepentingan. Beberapa ormas yang berniat mengadili
masyarakat menurut syariah Islam menjadi menodai agama Islam sendiri. Padahal,
Indonesia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Pemerintah lemah dan
lambat untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama. Pemerintah tidak
dapat memberikan jaminan yang berarti. Pemerintah hanya menjadi penonton dan
tidak dapat bertindak apa- apa untuk melindungi hak- hak kebebasan beragama.
Secara hukum,
pemerintah seharusnya tegas terhadap siapa saja
yang melanggar kebebasan beragama dan menjatuhi hukuman pidana. Namun
pemerintah tampaknya takut untuk bertindak tegas dan hanya banyak bicara
mengenai penyelesaian permasalahan. Pemerintah tidak pernah serius untuk
memberikan jaminan. Pemerintah belum memahami bahwa dengan memberikan jaminan
kebebasan beragama maka akan memberikan pondasi yang baik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yaitu menjunjung persatuan.
Pemerintah tidak
dapat berefleksi dari pengalaman yang telah berlalu. Apabila disadari secara baik
dan benar, dengan adanya pelanggaran kebebasan beragama maka pemerintah tidak
menjalani tugas perutusan Allah yaitu memberikan kesejahteraan umum bagi seluruh
warganegara.
Pemerintah telah melanggar
Pancasila sila ke- 5 karena tidak dapat memberikan keadilan bagi seluruh warga
negara. Apakah pemerintah mau terus- menerus melanggar hak- hak warga negara
yaitu kebebasan beragama? Bagaimana solusi terhadap permasalah tersebut?
Pertanyaan mendasar tersebut yang mendasari pembahsan berikutnya.
Solusi Atas Situasi Konkret Kebebasan Beragama di
Indonesia
Semua masalah pastilah memiliki solusi. Menurut kami,
yang harus dibenahi adalah dalam pribadi setiap pemeluk agama sendiri. Di
dalam hal ini, pemimpin agama memiliki
peranan yang cukup besar. Pemimpin agama menghimbau agar setiap jemaat
memperdalam imannya dan memahami secara baik dan benar serta konteks zaman akan
ajaran- ajaran agamanya. Karena dengan memiliki iman yang kuat maka manusia
akan memahami bahwa dala hidup ini kita diciptakan untuk saling mengasihi.
Dengan sadar agar mengasihi sesama maka kita dapat menghargai kebebasan
beragama lain.
Pemimpin
agama pun menyadarkan umatnya bahwa
manusia diciptakan secara kodrati sama atau sederajat. Sehingga tidak
menimbulkan suatu persepsi miring bahwa agama tertentu lebih tinggi. Dengan
paham bahwa setiap manusia memiliki derajat
dan martabat yang sama maka manusia dapat saling menghargai satu sama
lain. Pemimpin agama juga harus menanamkan sikap rendah hati, rendah hati untuk
memaafkan sejarah lampau dalam konflik antar agama, dan rendah hati untuk
saling menerima perbedaan.
Dalam
memperjuangkan kebebasan beragama diperlukan adanya dialog. Dialog dimaksudkan
agar tercipta kehidupan kebebasan beragama yang baik dan tercipta pula suasana
pluralisme.
Sebuah
dialog yang bermakna, tulus dan memperkaya semua pihak yang terlibat di dalam
dialog, mengandaikan adanya suatu bentuk kedekatan, keterbukaan, saling percaya
dan saling menghargai satu sama lain- terutama menghargai perbedaan yang ada-
serta adanya kesiapan untuk mau berbagi. Sehingga terciptalah suasana
pluralisme yang ideal.
Namun
dialog yang lebih luas harus didahului dengan dialog internal dalam agama,
sehingga para hardliners dan the confronted dapat diajak bersama-
sama untuk menentukan sikap yang terbuka. Adanya keteladanan dari tokoh pun
tidak dapat dihilangkan karena keberanian merekalah maka para penganut akan
meneladani. Seperti Almarhum Paus Yohanes Paulus II yang sangat disegani dan dihormati
oleh pemimpin umat antar agama.Dialog yang bijaksana dan dewasa adalah dialog
yang yang sepakat untuk
menolak segala bentuk kekerasan dalam kehidupan
beragama. Sehingga semua agama dapat menjamin penghargaan satu sama lain atas
kebebasan beragama.
Dibutuhkan kerendahan hati dalam
hidup beranekaragam dalam keyakinan dan iman.Untuk menghentikan kekerasan dalam praktek kebebasan beragama,
setiap pemimpin agama harus duduk bersama dalam dialog dan saling memiliki
iklim saling percaya. Konsekuensinya adalah (a) setiap umat harus memiliki
tekad untuk arif dalam mendengarkan pandangan setiap agama; (b) harus memiliki
tekad untuk beradab dan membicarakan secara kekeluargaan;dan (c) setiap umat
dan pemimpinnya harus memiliki tekad untuk bersikap toleran karena toleransi
adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Menjadi tugas para
pendidik pula untuk menciptakan situasi yang baik bagi kebebasan beragama.
Dengan adanya pendidikan kebebasan beragama dalam pendidikan formal akan
memberikan wawasan yang baik bagi para murid yang juga calon pemimpin masa
depan.
Adanya peninjauan
kembali terhadap kasus kekerasan kebebasan beragama harus dilakukan pemerintah
agar pemerintah dapat memberikan keadilan bagi warga negara untuk menjalankan
praktek kebebasan beragama. Pemerintah menjadi fasilitator dalam penyelasaian konflik
kebebasan beragama yang melibatkan pihak- pihak jemaat keagamaan. Para penegak
hukum memberikan jaminan dan berkomitmen menjaga kebebasan bergama dan bukan
menjadi penonton saat terjadi aksi anarkis.
Pemerintah harus
dibimbing oleh warga negara agar pemerintah dapat menjamin kebebasan beragama.
Warga negara dapat beraspirasi baik melalui pers, petisi, dialog, kritik, dan
demonstrasi agar pemerintah dapat memperbaiki kesalahan dalam pengolahan hak-
hak kebebasan beragama.
Kesimpulan
Kebebasan merupakan hak universal yang telah dimiliki
manusia sejak manusia dilahirkan ke dunia bahwa manusia terlepas dari paksaan
untuk mengurus dirinya sendiri. Menurut ajaran Gereja Katolik, kita mengimani
sebagai manusia Allah telah menganugerahkan akal budi dan suara hati kepada
kita dan kita diberi kehendak bebas sesuai kehendak dirinya dan
mempertanggungjawabkannya. Manusia diberikan kebebasan agar ia dapat secara
sukarela mencari Penciptanya dan memperoleh kesempurnaan.
Kebebasan
beragama merupakan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk mengatur hal
keagamaannya termasuk di dalamnya hal mengenai jemaat keagamaan, ajaran, ritus
dan ibadah. Menurut Gereja Katolik, dengan dianugerahi suara hati maka manusia akan dituntun menuju pencarian
kebenaran sejati. Setelah memahami kebenaran tersebut maka akan diamalkan dalam
kehidupan sehari- hari. Kebenaran tersebut bersumber dari Allah. Kebenaran
tersebut dinyatakan dalam istilah agama.
Kebebasan
beragama harus diperjuangkan karena tiga alasan pokok yaitu (a) kodrat manusia,
setelah kita memahami kodrat manusia maka kita akan mencari kebenaran menurut
suara hati dan akan terarah kepada (b) sifat iman sejati, lalu dipraktekkan
dalam (c) kehidupan kenegaraan. Negara sebagai perwakilan kekuasaan Allah di
dunia dan wakil warganegara seharusnya dapat memberikan kesejahteraan umum.
Dengan memberikan kebebasan beragama, maka warganegara akan merasa bahagia dan
terpenuhi kebutuhan spiritualnya.
Situasi
konkret kebebasan beragama di Indonesia memang mengalami kemunduran karena
banyak sekali terjadi pelanggaran kebebasan beragama. Namun semua pihak
bertanggungjawab dalam menjaga kebebasan beragama. Kami yakin dengan duduk
bersama dalam dialog antar agama, pemerintah, dan dengan hati yang terbuka dan
rendah hati maka suasana kebebasan beragama akan tercipta. Sebagai warganegara
Indonesia kita sepatutnya menanamkan sikap toleransi karena toleransi adalah
sikap luhur yang dimiliki bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Departemen
Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2012. Dokumen Konsili Vatikan I Iterj. R.
Hardawiryana, SJ . Jakarta: Penerbit Obor.
Departemen
Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2007. Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan
terj. Piet Go O.Carm. Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Kepercayaan
Konferensi Waligereja Indonesia.
Departemen
Dokumentasi Dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia. 2005. Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun
1891- 1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus terj. R.
Hardawiryana, SJ. Bogor: Grafika Mardi Yuana.
Konferensi Waligereja Regio Nusa
Tenggara. 2007. Katekismus Gereja Katolik
terj. Herman Embuiru, SVD. Ende: Penerbit Nusa Indah.
Lembaga Alkitab Indonesia. 2007. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta:
Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Magnis- Suseno,
Franz. 1986. Etika Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Walker, D. F. 1994. Konkordansi Alkitab. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Majalah Mingguan
Katolik Hidup, Minggu, 13 Januari
2013.