Aku,
Dulu, dan Kini
Aku
dulu,
dan
aku kini.
Demikianlah
aku akan hidup hingga akhir waktu,
Karena
ada- ku tanpa akhir.
Telah
aku arungi samudera luas tak berujung, terbang ke dunia fantasi, dan
mengikatkan diriku dengan bintang pada ketinggian
Namun
lihatlah diriku sang tawanan kehidupan
Telah
aku refleksikan hidupku dulu dan kini, menidurkan kebahagiaanku bersama
kelamnya bayang- bayangku
Namun
inilah aku tawanan kebahagiaan
Relung
jiwa ini sadar bahwa aku terkekang, merangsang daya karsa -ku yang riskan
Menggores tinta- tinta dalam syair-
syair impian
Telah
terkekang oleh tembok- tembok p-enjara, ada- ku terbelenggu jeruji besi,
kemerdekaanku terbang bersama debu jalanan
Mencoba
keluar dari kegelapan, membuka mata dari kebutaan
Jangan
pernah salahkan diriku
Aku
kesepian dan kedinginan
Takut
dan kertak gigi menghampiriku
Di
pojok ini aku termenung
Melihat
diriku hampa- kosong . . .
Jeruji-
jeruji besi itu membatasiku
Memenjarakan
kemerdekaanku
Janji-
janji dan perintah dari para petinggi kudengarkan
Tak
putus aku lakukan
Tapi
mereka mengekangku
Bak
kuda liar dalam kandang
Aku
adalah aku,
Aku
bukan dirimu
Aku
ciptaan bebas- merdeka
Tapi
apa ! Itu semua omong kosong
Sampah
tak berguna . . .
Hidup
di tengah dunia fana
Bak
hidup di tengah serigala- serigala bengis
Mereka
merasa lebih hebat dan tinggi
Dengan
segala kata dan perbuatan
Telah
merendahkanku, jauh lebih rendah, lebih rendah lagi
Kemerdekaanku
pun diinjak
Segala
dalam diriku dihancurkan
Padahal
aku adalah aku . . .
Aku
mundur bukan kar’na takut, aku termenung tuk merangsang batinku
Aku
bangkit lagi dan maju ke depan, aku yakin dan sungguh yakin. Mereka setara
denganku
Kubuka batas- batas ini
Bukan
dengan otot, melainkan dengan karya
Sastra
yang bangkit, sastra yang hidup
Seperti
diriku dan bukan dirimu . . .