Agama- Agama Abrahamik yang
Bertanggung Jawab :
Mampukah Bersinergi Secara Positif
Bagi Perdamaian Dunia?
Oleh: Carolus Budhi Prasetyo
Pengantar
Dapatkah
agama- agama dunia memberi nilai positif bagi perdamaian dunia dan mengakhiri
konflik yang terjadi di seluruh belahan dunia? Mungkin dengan tanpa berpikir
panjang, spontanitas, enteng, dan normative seperti berikut: “Kenapa tidak? Bukankah semua agama
mengajarkan perdamaian dan cinta kasih?” Namun pandangan tersebut tidak akan spontan, enteng, dan normative apabila
konflik yang dimaksud adalah konflik yangterjadi di Maluku, Poso, Palestina
atau di berbagai belahan bumi lainnya. Siapakah yang dapat mendamaikan dunia
ini? Kemanakah Allah akan berpihak di saat seluruh agama menyatakan perang untuk
dan atas nama Allah.
Pada
esei yang memiliki tema: Agama dan Perdamaian Dunia ini saya akan membahas
agama Abhramik yang merupakan tiga agama monoteisme terbesar di dunia. Agama
Abrahamik adalah agama- agama yangberasal dari keturunan Abraham dan merupakan
agama wahyu Allah. Agama Abrahamik yang dimaksud adalah Yahudi, Kristianitas,
dan Islam. Realita yang ada Kristianitas dan Islam yang memiliki penganut
terbanyak di dunia yang tersebar di semua benua walau pada nyatanya iman mereka
(penganut pasif dan cenderung mengarah pada sekuler) wajib dipertanyakan. Namun
diam- diam Yahudi pun kembali membangun agamanya dengan sekitar 600 juta
penganut Yahudi.
Apabila
melihat keadaan di Indonesia banyak sekali terror- terror yang mengancam agama
dan menyatakan perang kepada agama tersebut dan menyatakan berperang atas nama
Allah. Banyak sekali ancaman yang ditebarkan oleh kelompok- kelompok yang
ekstrimis dan radikalisme. Terkadang di dalam internal agama tersebut mereka
saling menyerang dan menyatakan agama di luar agamanya murtad, kafir, dan tidak
akan diselamatkan Allah. Padahal di antara ketiga agama monoteisme tersebut
sama- sama mempunyai klaim yang kuat mengenai Penyelamatan Allah.
Tak
jarang para kelompok garis keras dan ekstrem dalam melakukan tindakannya
menyatakan berdasarkan Kitab Suci. Kitab Suci tidak diyakini sebagai sumber
kebenaran lagi melainkan sumber pembenaran.
Sejarah
yang Buruk
Agama-
agama Yahudi, Kristianitas dan Islam – sebagai tiga agama yang merujuk kepada
iman monetistik agama Abraham dari dahulu telah memiliki sejarah kebersamaan
yang buruk. Apabila kita mau menerima kenyataan yang pahit yaitu sejarah awal
yang buruk tersebut maka kita dapat saling menghargai dan menghormati semua
agama Abrahamik. Kristen dan Islam yang dari awal telah memiliki sikap
missioner yang tinggi sedangkan Yahudi sudah tidak missioner lagi setelah
zaman raja Romawi Titus.
Agama
Yahudi
Agama
yahudi sejak tercerai- berai mampu bertahan dan menunjukan identitasnya. Mereka
yang tersebar di beberapa negara sekuler Eropa tetap menunjukan Yahudi. Walau
dewasa ini mereka tidak banyak menimbulkan konflik dan mustahil mereka nekat
melakukan apalagi sebagai agama
minoritas. Namun sejarah buruk dengan Islam terutama Palestina 3.000
tahun yang lalu banyak sekali teks- teks dan kitab- kitab menceriterakan
peristiwa berdarah akan perebutan Palestina.
Sekarang
ini, bangsa Israel (Yahudi) yang memiliki permasalahan dengan Palestina
didasari oleh trauma shoa- yaitu
persepsi yang datang mengenai adanya ancaman dari dunia Arab atas eksistensi
Israel. Karen ahal tersebut Israel tidak hanya bertindak keras namun tidak
dapat menerima realitas politik.
Kristianitas
Antara
Kristen dan Yahudi pada 1000 tahun pertama tidak mengalami permasalahan yang
berarti hanya saja sempat beberapa kali terjadi permusuhan orang Yahudi
terhadap jemaat Kristen Perdana. Setelah terjadi perang salib Yahudi hanya
terusir dan terdiskriminasi. Yahudi pun menyingkir ke Polandia dan Uni Sovyet (
Rusia). Pada abad ke- 18 memang praktek diskriminasi menghilang namun langsung
digantikan oleh diskriminasi yang lebih jahat yaitu rasisme. Praktek rasisme
yang paling terlihat adalah sikap anti- semitisme: suatu sikap yang menganggap
ras Yahudi adalah sebuah ras yang paling rendah dan jahat sehingga menyebabkan
berbagai permasalahan di masyarakat. Puncak
anti- semitisme adalah shoa: usaha
sistematis rezim Nazi, Jerman untuk meniadakan ( memusnahkan) semua orang
Yahudi. Dari 13 juta orang Yahudi di dunia, Nazi berhasil memusnahkan 6 juta orang-
yang berlangsung selama 3 tahun (1942- 1945).
Namun
Kristianitas merasa melakukan kesalahan yang besar yaitu tidak melakukan protes
yang berarti bagi tindakan tersebut karena Nazi juga menganggap bahwa Yahudi
adalah ras pembunuh Tuhan, Yesus Kristus. Usaha rekonsiliasi terjadi pada
Konsili Vatikan II (1965) menegaskan bahwa bangsa Yahudi bukanlah ras pembunuh
Tuhan namun menyebutkan sebagai “saudara- saudara tua”. Maka dari itu di
teologi Kristen menyebutkan bahwa semua manusia- sebagai makhluk yang berdosa
adalah pembunuh Allah.
Sedangkan
antara Kristianitas dengan Islam mengalami sejarah yang buruk dan sampai
sekarang masih diusahakan penyelesaian dari kedua belah pihak. Reconqista yang
dilakukan untuk mengusir dan meniadakan Islam dari Portugal dan Spanyol telah
meluputkan peran Islam yang telah membangun kebudayaan yang tinggi dan toleran.
Perang salib telah menciptakan persepsi yang buruk bagi kedua belah pihak .
Situasi diperburuk dengan persepsi mengenai bahaya Turki dan serangan
Sarazen ( Sarazen adalah kaum yang disebut terbuang oleh Sarah, isteri Abraham,
atau keturunan Hagar). Konsili Vatikan II ( Nostra
Aetate, 1965) kepicikan teologis yaitu menjelek- jelekan Islam karena dianggap masih muncul agama Abrahamik
yang besar diatasi sebagai dasar dialog teologi yang positif dan konstruktif.
Islam
Antara Islam dan Yahudi hanya
mengalami gesekan pada zaman Piagam Madina yaitu tiga suku Yahudi di Madina
dilenyapkan. Lalu dewasa ini sejak 1948 yaitu pengakuan eksistensi Israel
sebagai negara di wilayah Palestina dan
sejuta penduduk Arab diusir dari tanah airnya. Hal itu berimbas pada Perang
Tujuh Hari pada 1967. Yang menjadi dasar
permasalahan antara Islam dan Kristianitas adalah trauma atas Perang Salib yang
terjadi pada abad ke- 11 sampai dengan abad ke- 13. Invansi dan kolonialisme
yang dilakukan Napoleon ke Mesir pada abad ke- 17 juga menjadi sumber
permasalahan konflik.
Perang Salib telah menimbulkan luka yang tidak mudah dilupakan oleh tiga
agama tersebut baik Yahudi, Kristianitas, dan Islam. Sampai hari ini
permasalahan Palestina yang belum terselesaikan masih menjadi polemic di antara
ketiga agama tersebut. Namun apabila orang dengan lapang dada mampu menerima
dan mengakui sejarah hitam tersebut maka terpenuhilah syarat perdamaian. Memang
penyelesaian masalah tersbut tidak cukup hanya menyangkut teologis dan historis
namun dari sisi politis maka permasalahan akan diselesaikan dengan efektif.
Sikap
Rendah Hati
Sebagai umat beriman seharusnya
kita sadar bahwa kita berada di bawah Allah, maka sebagai konsekuensinya kita
harus dapat bersikap rendah hati. Memang ketiga agama tersebut memiliki
perbedaan mendasar mengenai bagaimana Allah menuntun, namun harus disadari
bahwa ketiga agama tersebut memiliki persamaan fondasi keyakinan iman, yaitu
iman akan Allah, yaitu bahwa (a) kita percaya akan Allah Yang Maha Esa yang
menciptakan langit dan bumi serta segala isinya; (b) secara personal
memperhatikan, mencintai ciptaanya; (c) menuntut tanggung jawab pribadi kita
kepada kehendak- Nya; (d) dan akhirnya akan mengadili kita pada akhir zaman dan
telah menyediakan tempat abadi bagi kita masing- masing sesudah kehidupan ini.
Dengan
sikap rendah hati maka kita dapat menghargai keyakinan dan agama orang lain.
Rendah hati dan respek terhadap agama orang lain bukan berarti kita meyakini
atau mengikuti agama tersebut. Sikap rendah hati dan toleran tersebut telah
menjadi ciri agama Abrahamik. Namun sampai hari ini memang kita sulit untuk
melaksanakannya dan cenderung melanggarnya karena kepicikan kita sebagai
manusia. Sebagai konsekuensinya sikap tersebut tidak hanya dilakukan bagi
ketiga agama Abrahamik tapi kita harus rendahhati dan toleran terhadap agama
dan keyakinan lain seperti Shinto, Buddhisme, Kong Hu Chu, Sikh, dan lain-
lain. Kita juga tidak boleh membeda- bedakan agama dengan sebutan “agama- agama
langit” dan “agama- agama bumi”.
Kitab
Suci dan Klaim Kebenaran
Manusia
hidup di dunia menuju suatu keselamatan. Manusia pun mencari tuntunan untuk
mencapai keselamatan tersebut yang juga kita kenal sebagai hidayah. Sumber hidayah
tersebut adalah Kitab Suci yang ada dalam ketiga agama Abrahamik maupun agama
lainnya. Namun dewasa ini kekerasan yang dilakukan kelompok radikal dan
ekstrimis menjadikan Kitab Suci sebagai sumber
pembenaran dan bukan sebagai proses mencari kebenaran.
Kelemahan manusia dalam mencari
kebenaran adalah mencampurkan pandangan pribadinya, subyektifitas, tentang
Allah dan tentang keselamatan Allah yang dirujuk pada teks- teks tertentu yang
diasumsikan dengan pengetahuan mereka yang terbatas. Seperti dalam Al- Quran
yang berisi ayat- ayat yang merujuk pada keselamatan Allah namun Allah juga
menunjukkan keselamatan kepada bangsa- bangsa lain yang tercatat dalam kitab-
kitab yang tertulis dalam berbagai bahasa ( Ibrani, Aram, Arab dan Yunani).
Dimana
ada monopoli klaim kebenaran maka menyebabkan terjadinya konflik. Konflik
muncul karena menganggap pandangannya yang paling benar dan pandangan yang lain
itu salah dan sesat. Seperti halnya saat Yesus hadir di dunia dan mengajarkan
hukum cinta kasih dan melakukan mukjizat- mukjizat, Ia harus berhadapan dengan
lembaga keagamaan yang sudah ada dan mapan seperti agama Yahudi. Islam pun yang
merupakan agama wahyu yang terakhir pun harus menghadapi klaim- klaim kebenaran
yang ada pada kelompok- kelompok agama Kristen dan Yahudi. Namun yang lebih
baik dilakukan adalah para pemimpin agama Abrahamik duduk bersama dalam dialog
membicarakan monopoli klaim kebenaran tersebut agar tidak menimbulkan konfik di
antara kehidupan umat beragama.Klaim- klaim seperti khatamul anbiya wal mursalin pada dasarnya boleh- bolehsaja, tetapi
klaim ini tidak berarti meniadakan yang lain.
Argumentasi
dasar untuk menerima dan merawat kemajemukan serta membangun perdamaian
antarsesama manusia adalah perintah Al- Quran sendiri: “wa lau la daf’ull ahin-nasa ba’dahum bi ba’dil lahiddimat sawami’u wa
biya’uw wa salawatuw wa masajidu yuzkara fihasmullahi kasira.” (Dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah) (QS Al- Hajj
22:40) dan “Wa lau syallahu laj’alakum
umataw wahidataw wa lakil li yabluwakum fi ma atakum fastabiqulkhariat”=
sekiranya Allah mengehndaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al- Ma’idah [5]:48). Sesungguhnya
perdamaian antarumat manusia akan langgeng apabila semua umat manusia, terlepas
dari apa agama, suku dan kebudayaan, berlomba- lomba untuk melakukan kebaikan,
menumbuhkan perilaku yang baik dan positif, mengembangkan kebenaran sebagai
wujud memperkokoh akidah ketuhanan, menurut Prof. Dr. K. H. Said Aqiel Siradj,
MA, Ketua Tanfidziyah PBNU.
Dalam
pandangan Gereja Katolik, teologi dan semangat perdamaian, secara pastoral
dikupas panjang lebar dalam Gaudium et
Spes (GS) pada bab 5, no. 77-82 dengan sub judul “Usaha demi Perdamaian dan
Pembentukan Persekutuan Bangsa-Bangsa”. Latar belakang perumusan pastoral
adalah tanda-tanda zaman bahwa dunia dilanda kesengsaraan dan kesukaran akibat
perang yang sedang berkecamuk maupun karena ancaman perang yang selalu gampang
terjadi di mana pun dan kapan pun (GS 77).Karenanya, teologi Katolik secara
fundamental sangat menjunjung tinggi semangat perdamaian.
Dialog,
Jalan Perdamaian Agama Abrahamik
Untuk
menyikapi berbagai perbedaan yang ada maka tindakan yang harus kita lakukan
adalahmembuka dialog satu sama lain. Namun dialog yang dimaksudkan di sini
tidak tentang aqidah masing- masing. Kita berdialog sambil tetap mengakui bahwa
dalam hal aqidah setiap agama
memiliki perbedaan- perbedaan yang bersifat hakiki.
Sebuah
dialog yang bermakna, tulus dan memperkaya semua pihak yang terlibat di dalam
dialog, mengandaikan adanya suatu bentuk kedekatan, keterbukaan, saling percaya
dan saling menghargai satu sama lain- terutama menghargai perbedaan yang ada-
serta adanya kesiapan untuk mau berbagi. Sehingga terciptalah suasana pluralisme
yang ideal.
Namun
dialog yang lebih luas harus didahului dengan dialog internal dalam agama,
sehingga para hardliners dan the confronted dapat diajak bersama-
sama untuk menentukan sikap yang terbuka. Adanya keteladanan dari tokoh pun
tidak dapat dihilangkan karena keberanian merekalah maka para penganut akan
meneladani. Seperti Almarhum Paus Yohanes Paulus II yang sangat dsegani dan
dihormati oleh pemimpin umat antar agama. Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Raja
Awab Saudi, juga memberikan contoh yang baikyang mengadakan dialog antar agama
bahkan dapat mengundang Islam Syiah dan Sunni.Dialog yang bijaksana dan dewasa
adalah dialog yang yang sepakat utnuk menolak segala bentuk kekerasan dalam
agama baik mengatasnamakan suatu agama maupun menyerang agama lainnya.
Tanggapan
dan Refleksi Pribadi atas Perdamaian Dunia
Memang tidak mudah untuk hidup
berdampingan dengan agama lain. Konflik internal dalam agama tersebut bahkan isu-
isu penyerangan terhadap suatu agama yang dianggap sesat sering menjadi kendala
dalam perdamaian di dunia bahkan di Indonesia.
Dibutuhkan kerendahan hati dalam hidup beranekaragam dalam keyakinan dan
iman. Untuk menghentikan konflik antar agama yang berhubungan dengan
perdamaian, setiap pemimpin agama harus duduk bersama dalam dialog dan saling
memiliki iklim saling percaya. Konsekuensinya adalah (a) setiap umat harus
memiliki tekad untuk arif dalam mendengarkan pandangan setiap agama; (b) harus
memiliki tekad untuk beradab dan membicarakan secara kekeluargaan;dan (c)
setiap umat dan pemimpinnya harus memiliki tekad uuntuk bersikap toleran karena
toleransi adalah nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Semua agama harus
berjaga- jaga atas ancaman dari dalam yaitu adanya kelompok ekstrim- radikal
dan ancaman tidak saling percaya. Dengan adanya perdamaian maka semua agama
dapat menjadi rahmatan il alamin-
berkat untuk semua orang.
Kepustakaan:
B. Bawolo, Robert. 2010. Menggugat Tanggung Jawab Agama- Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.